Katakan Kalau Kamu Mencintaiku
Empat tahun bukan waktu yang singkat. Empat tahun cukup lama untuk mengubah arah hidup seseorang, membangun jarak, dan menutupi luka-luka yang tak bisa disembuhkan dengan kata maaf atau waktu. Namun, tak satu pun dari itu berhasil pada Aruna Adikerta.
Langit Jakarta sore itu tampak murung, seperti menahan hujan yang enggan turun. Mobil yang ditumpanginya meluncur pelan memasuki gerbang besar rumah keluarga Adikerta—tempat yang dulu disebutnya rumah, tapi kini terasa asing, seolah menyimpan sesuatu yang ditinggalkan dengan tergesa.
Aruna memandang ke luar jendela. Pohon kamboja di sudut taman masih berdiri seperti dulu, tapi sudah lebih tinggi, lebih lebat. Langit-langit balkon di lantai dua yang dulu biasa ia pakai untuk menyendiri, kini tampak lebih tua, berlumut di beberapa bagian. Tapi semuanya tetap rapi. Tetap mewah. Tetap tenang. Seperti hidup yang tak terusik.
Yang terusik justru dirinya.
Ia menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Seorang asisten rumah tangga yang dulu sering ia panggil "Mbak Narti" menyambutnya dengan senyum haru.
“Aruna… Ya Tuhan, kamu tambah cantik. Udah lama banget ya…,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Aruna tersenyum kecil. “Halo, Mbak. Aku juga kangen rumah.”
Kata "rumah" itu terasa aneh di lidahnya.
Ia menjejakkan kaki ke dalam rumah dan aroma kayu jati yang familiar langsung menyergap. Hidungnya mencium wangi bunga sedap malam, seperti biasa. Tapi langkahnya terhenti saat ia melihat sosok yang berdiri di ambang ruang tamu.
Tegap. Dingin. Tak tersenyum.
Adrian Raharjo.
Ia tidak banyak berubah—mungkin sedikit lebih dewasa, sedikit lebih kurus, tapi mata itu… mata itu masih sama. Ditambah kacamata bertengger dihidungnya, mata indah yang selalu membuatnya terhipnotis. Wajah itu selalu menjadi kabut terakhir yang ia lihat sebelum ia meninggalkan Indonesia.
Mereka saling memandang. Sunyi. Seolah dunia mengecil, menyisakan hanya detak jantung yang tak teratur dan napas yang tertahan.
“Selamat datang kembali,” suara Adrian terdengar datar, tapi tak kasar.
“Terima kasih,” jawab Aruna, singkat.
Ia ingin mengatakan banyak hal. Tentang betapa aneh rasanya kembali. Tentang betapa ia berharap Adrian tidak menyambutnya duluan. Tentang kenangan yang ia coba kubur dengan keras kepala selama empat tahun terakhir. Tapi tak ada kata yang keluar. Hanya jeda, dan jantung yang berdebar lebih keras daripada biasanya.
“Papa di kantor. Mama lagi ke spa. Mereka minta maaf nggak bisa sambut kamu langsung,” lanjut Adrian sambil menoleh sedikit, memberi isyarat agar Aruna ikut masuk lebih jauh.
Aruna mengangguk. “Aku tahu. Papa nelpon tadi.”
Ruang makan terlihat seperti biasanya. Tertata sempurna, steril, dan sedikit terlalu sunyi. Ia duduk di ujung meja, tempat yang selalu jadi favoritnya karena bisa melihat seluruh ruangan.
Adrian berdiri di seberangnya, tidak duduk, seolah tak betah berlama-lama di ruangan yang sama.
“Aku dengar kamu jadi COO sekarang,” ucap Aruna akhirnya.
Adrian menoleh. “Sementara.”
“Papa percaya kamu.”
“Dia butuh seseorang yang bisa dia andalkan.”
“Dan itu kamu.”
“Untuk saat ini.”
Jawaban-jawaban Adrian tajam dan pendek, seperti garis-garis yang tak mau disambungkan. Tapi Aruna mengenalnya. Ia tahu di balik sikap dingin itu, ada sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, lebih takut untuk disentuh. Ia pernah melihatnya. Pernah memeluknya. Pernah mencium sisa-sisa itu di kening pria itu, di malam yang seharusnya tidak pernah terjadi.
Aruna berdiri. Ia tidak tahan duduk di bawah tatapan kosong yang terasa terlalu familiar itu.
“Bagaimana keadaan perusahaan?” tanyanya, mengalihkan topik ke sesuatu yang lebih netral.
Adrian menarik napas. “Berantakan. Dua proyek besar dibatalkan karena investor mundur. Beberapa kontrak merger sedang dibicarakan ulang.”
Aruna mengangguk, meski sebenarnya ia sudah tahu semua itu. Papa meneleponnya dua minggu lalu, suara tua itu terdengar lebih lelah dari biasanya. Katanya, hanya Aruna yang bisa menyelamatkan nama keluarga ini.
“Dan aku dibutuhkan untuk… menyelamatkan keadaan?” tanyanya, sedikit sinis.
“Begitu kata Papa.”
“Dan menurut kamu?”
Adrian terdiam lama, lalu akhirnya berkata pelan, “Aku tidak tahu.”
Jawaban itu mengiris lebih dalam daripada yang Aruna harapkan.
Ia ingin bertanya: Kamu tidak tahu karena kamu tidak percaya padaku? Atau karena kamu takut aku kembali? Tapi lidahnya kelu.
“Baiklah,” gumam Aruna, “aku akan coba pelajari semua laporan malam ini.”
“Data lengkapnya ada di kamar kamu. Aku minta sekretaris susun rapi sesuai urutan timeline.”
“Kamu tahu aku suka urutannya begitu?”
Adrian tak menjawab. Ia hanya menatap Aruna sebentar, lalu berbalik meninggalkan ruangan.
Langkah-langkahnya tenang, tapi meninggalkan jejak yang bergema di hati Aruna lebih keras dari suara sepatu di lantai marmer.
---
Di kamar lamanya, Aruna mendapati semua barang miliknya masih sama. Bahkan seprai tempat tidurnya masih bermotif biru langit yang ia pilih sendiri saat SMA. Tapi di atas meja kerjanya, segalanya sudah berubah. Dokumen. Laptop baru. Sticky notes dengan tulisan Adrian.
Rapi. Teliti. Jaraknya pas.
Seperti bagaimana ia mengatur segalanya. Seperti bagaimana Adrian selalu menjaga jarak dari dirinya, bahkan ketika mereka hanya berjarak satu helaan napas malam itu, empat tahun lalu.
Tangannya gemetar sedikit saat menyentuh secarik kertas kecil yang tertempel di folder:
“Kalau ada yang perlu ditanyakan, kamu tahu ke mana harus mencariku.”
— A.
Bukan "hubungiku", bukan "telepon aku". Tapi “mencariku.”
Seolah Adrian tahu Aruna akan mencarinya. Dan bagian paling menyakitkan adalah—ya, itu benar.
---
Malam datang cepat di Jakarta. Hujan akhirnya turun, seperti beban yang tak sanggup lagi ditahan langit. Aruna berdiri di balkon kamarnya, memandang taman yang basah oleh rintik.
Di kamar sebelah, lampu menyala. Cahaya kuning temaram menyelinap di antara tirai. Ia tahu itu kamar Adrian. Masih sama. Masih dekat. Tapi terasa lebih jauh dari sebelumnya.
Aruna memejamkan mata.
Empat tahun lalu, di balkon ini, ia pernah mengatakan satu hal yang mengubah segalanya.
"Kalau aku bukan adikmu, Adrian, kamu akan memilihku?"
Dan Adrian tak menjawab. Hanya mencium keningnya, lalu masuk ke kamar tanpa sepatah kata.
Keesokan harinya, Aruna terbang ke London. Ia tak menoleh ke belakang. Tak berani.
Tapi sekarang ia di sini. Dan pertanyaan itu belum pernah benar-benar hilang.
---
Karena beberapa cinta tidak pernah mati. Hanya tertunda. Hanya disangkal. Hanya menunggu waktu yang cukup kelam untuk kembali muncul ke permukaan.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 28 Episodes
Comments