Bab 17: Luka yang Tak Terlihat

Tiga hari setelah kecelakaan, Aruna diperbolehkan pulang ke rumah. Kepalanya masih dibalut, luka memar menghiasi lengan dan bahunya, tapi dokter bilang tak ada cedera serius pada organ vital. Hanya trauma ringan dan kebutuhan istirahat total. Mengetahui Aruna baik-baik saja orangtuanya melanjutkan perjalanan bisnis yang menentukan nasib perusahaan, perjalanan ini awalnya Adrian yang berangkat namun Adrian menolak dengan berbagai alasan. Ia hanya mau bersama Aruna walau Aruna terlihat baik-baik saja.

Rumah kembali sunyi seperti dulu. Tapi ada yang berbeda: Aruna yang lebih diam, dan Adrian yang semakin tak terlihat—tapi sebenarnya selalu ada.

Ia tidak menampakkan diri di ruang terbuka. Tidak ikut dalam obrolan makan malam keluarga. Tapi entah bagaimana, segelas air putih selalu tersedia di meja samping tempat tidur Aruna sebelum ia bangun. Handuk hangat untuk kompres dahi muncul tanpa suara. Kadang bahkan buku bacaan favorit Aruna berpindah dari rak ke nakasnya, dibuka di halaman terakhir yang ia baca.

Adrian melakukannya semua… tanpa kata.

Ia merawat Aruna dari jauh, dari balik bayangan, dari sudut-sudut rumah yang sepi.

Aruna tahu.

Ia tidak menanyakannya, tidak membahasnya pada Mama atau Papa. Tapi ia tahu tangan siapa yang menyiapkan vitamin dengan cermat di pagi hari, siapa yang mengganti gelas air begitu tenang sampai tak terdengar langkahnya, siapa yang diam-diam memeriksa suhu tubuhnya saat ia pura-pura tidur.

Dan itu justru membuat hatinya lebih nyeri dari luka di pelipisnya.

Karena Adrian ada… tapi juga tidak.

---

Suatu malam, saat Aruna sulit tidur karena nyeri di bahu, ia berjalan pelan ke dapur. Rumah sudah gelap. Semua kamar tertutup. Namun cahaya samar dari jendela pantry menyiratkan bahwa seseorang masih terjaga.

Ia melangkah pelan, berharap bisa mengambil teh hangat sendiri tanpa membuat suara. Tapi langkahnya terhenti saat melihat sosok itu duduk membelakangi meja makan.

Adrian.

Masih mengenakan kemeja abu gelap, lengan digulung, rambutnya berantakan. Di depannya, secangkir kopi yang sepertinya sudah dingin. Ia menatap kosong ke dinding, seperti seseorang yang sudah terlalu lama memendam sesuatu tapi tak pernah tahu harus bicara pada siapa.

Aruna nyaris mundur. Tapi tubuhnya terasa tertambat.

Dan seolah merasakan kehadirannya, Adrian menoleh perlahan.

“Maaf,” katanya cepat. “Aku kira kamu tidur.”

Aruna hanya mengangguk. “Aku... nggak bisa tidur.”

Mereka terdiam. Lalu Aruna berjalan ke arah termos air panas, membuat teh, mencoba bersikap biasa.

“Terima kasih untuk... semuanya,” katanya sambil menatap cangkirnya sendiri. “Air putihnya. Buku. Handuk.”

Adrian menunduk. “Kamu butuh istirahat.”

“Dan kamu butuh tidur.”

Adrian tersenyum kecil, lelah. “Aku nggak bisa tidur.”

Ada banyak hal yang bisa mereka katakan malam itu. Tapi keduanya memilih diam.

Karena dalam sunyi itu, semuanya sudah terlalu jelas.

---

Hari-hari berikutnya berjalan lambat. Aruna mulai bisa berjalan lebih stabil, meski tubuhnya masih sering terasa lelah. Ia menghabiskan lebih banyak waktu di taman belakang rumah—tempat yang dulu sering ia kunjungi saat butuh sendiri. Dan kini, tempat itu menjadi pelarian yang sunyi tapi menenangkan.

Adrian tetap tidak banyak bicara.

Ia akan muncul sebentar untuk menyodorkan obat, atau mengingatkan agar Aruna tidak terlalu lama duduk di luar saat angin sore mulai menusuk. Tapi ia tidak pernah bertanya bagaimana perasaan Aruna. Tidak pernah menyebut malam saat Aruna bertanya, “Apakah kamu menyukaiku?” yang tak pernah dijawab. Tak pernah dijelaskan.

Dan itu justru yang membuat Aruna ingin menjerit.

Terkadang, ia ingin memaksa Adrian duduk dan berkata: “Katamu kamu tak bisa bicara. Tapi kenapa kamu masih tetap di sini?”

Namun lidahnya terlalu letih.

---

Suatu siang, saat Aruna duduk di kursi rotan taman dengan selimut di pangkuannya, Adrian datang membawa segelas jus jeruk dan sepiring buah potong.

“Katanya kamu belum makan siang,” ucapnya singkat.

Aruna menatapnya dari balik silau matahari.

“Kamu akan terus begini?” tanyanya pelan.

Adrian menoleh sekilas. “Maksudmu?”

“Memberiku perhatian yang... setengah. Hadir tapi nggak pernah benar-benar ada.”

Adrian meletakkan nampan di meja kecil di samping kursinya.

“Aku cuma… nggak tahu harus di mana.”

“Kenapa?” Aruna mengusap pelipisnya, letih. “Kamu bukan orang asing, Adrian.”

“Tapi aku nggak pernah yakin… apakah aku boleh jadi lebih dari itu.”

Ada jeda panjang di antara mereka.

Aruna menatap langit yang berawan. “Kamu tahu nggak… lebih menyakitkan dari ditinggal itu… ditunggu oleh seseorang yang bahkan nggak pernah bilang dia akan datang.”

Adrian diam. Matanya menatap tanah, seolah menyusun kata yang tak pernah cukup kuat untuk keluar.

“Aku nggak pernah tahu cara untuk… menyampaikan,” katanya akhirnya, suara rendah.

Aruna mengangguk pelan. “Aku tahu. Dan itu yang paling menyakitkan. Bukan karena kamu menolak. Tapi karena kamu bahkan nggak cukup berani untuk menyakiti aku dengan kejujuran.”

Angin sore berembus pelan. Daun-daun jambu bergoyang ringan di atas mereka.

“Kadang aku pikir,” lanjut Aruna lirih, “kamu sebenarnya merasa sesuatu. Tapi kamu terlalu takut. Dan kamu berharap aku yang terus bertanya, menunggu, menebak.”

Adrian tak membantah.

Ia hanya berdiri di situ sebentar. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia melangkah kembali masuk ke dalam rumah.

Dan Aruna tetap di bangkunya. Sendiri. Tersapu angin yang dingin.

Seperti seseorang yang baru sadar: luka dari ketidakjelasan… jauh lebih lama sembuhnya.

---

Sore itu, suara bel gerbang rumah berbunyi pelan. Aruna sedang membaca di kursi rotan saat Mbak Narti datang ke taman dan berkata, “Mbak, tamu. Mas Kenzo.”

Aruna sedikit terkejut, tapi tidak menolak. Ia menyuruh Mbak Narti mengantarnya ke taman.

Tak lama, Kenzo muncul dari arah pintu belakang, membawa kotak kertas dibungkus kain abu-abu. Ia mengenakan sweater tipis warna olive dan celana kasual. Senyumnya seperti biasa: tenang, tidak mengganggu, tidak memaksa.

“Semangka dan puding susu,” katanya sambil mengangkat kotak. “Kamu suka dua-duanya, kan?”

Aruna tersenyum tipis. “Masih ingat aja.”

“Aku belajar dari yang sederhana,” jawab Kenzo sambil menarik kursi di seberangnya.

Mereka duduk dalam diam beberapa saat. Angin berembus pelan. Udara sore itu membawa bau tanah lembab dan suara burung kecil di kejauhan.

“Kamu kelihatan lebih baik,” kata Kenzo akhirnya.

“Fisiknya, ya. Yang lainnya… belum tentu,” Aruna membalas dengan jujur, tanpa senyum.

Kenzo mengangguk pelan, tidak menertawakan, tidak menanggapi dengan penghiburan murahan. Ia hanya menatap Aruna, lama.

“Aku nggak minta kamu buru-buru, Aruna. Tapi aku cuma pengin kamu tahu… aku tetap di sini.”

Aruna menoleh. “Di sini sebagai apa?”

Kenzo tersenyum, agak miring. “Sebagai apa pun yang kamu izinkan. Teman. Pendengar. Penjaga diam.”

Dan jawaban itu—justru karena tidak ambisius, justru karena tidak menekan—membuat mata Aruna terasa panas. Ia memalingkan wajah, menatap pohon jambu di depannya. Lalu berkata nyaris berbisik:

“Aku lelah, Kenzo.”

“Aku tahu,” jawab Kenzo. “Dan aku nggak akan tambah beban kamu.”

Mereka kembali diam. Tapi itu bukan diam yang menyesakkan. Bukan seperti diamnya Adrian yang penuh dinding tak terlihat. Ini diam yang terasa seperti tangan hangat di bahu. Seperti napas panjang yang akhirnya bisa keluar setelah ditahan terlalu lama.

Saat Kenzo pamit satu jam kemudian, Aruna tidak menahannya. Tapi juga tidak ingin dia cepat pergi.

Dan ketika pria itu berbalik, ia berkata, “Terima kasih, Kenzo…”

Kenzo menoleh, tersenyum. “Kapan pun.”

---

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download MangaToon APP on App Store and Google Play