Hidup berputar aneh saat seseorang yang kau coba jauhi justru terus ada di sekitarmu. Seperti orbit yang tak pernah bisa lari dari pusat gravitasinya, Aruna mendapati dirinya tetap saja berputar dalam lingkaran Adrian Raharjo.
Mereka kuliah di universitas yang sama—kampus swasta prestisius di tengah kota. Aruna masuk dua tahun setelah Adrian, tapi dunia mereka seolah tetap saling bersinggungan. Tak peduli berapa banyak bangunan dan orang di antara mereka, entah kenapa langkah mereka selalu menuju arah yang sama.
Mereka bukan pasangan. Bukan juga kakak-adik. Tapi lebih dari sekadar teman. Dan kedekatan semacam itu adalah bencana yang menunggu meledak.
Aruna ingat betul hari pertama masa orientasi. Ia sedang sibuk mengisi formulir di bawah tenda pendaftaran saat suara yang tak asing itu memanggil namanya.
“Aruna.”
Ia menoleh. Adrian berdiri di bawah pohon palem, tangan dimasukkan ke saku celana, ekspresi netral seperti biasa. Tapi mata itu… tetap sama seperti yang ia ingat. Tajam dan dalam.
“Kamu ngapain di sini?” tanya Aruna sambil menyipitkan mata. “Kamu bukan panitia, kan?”
“Enggak,” katanya, lalu menunjuk coffee shop kecil di seberang lapangan. “Cuma lagi iseng lihat-lihat. Aku baru kelar sidang skripsi.”
“Oh.” Aruna sedikit gugup. “Kamu… sidang sekarang?”
Adrian mengangguk. “Diterima. Lulus.”
Sejenak mereka saling diam, lalu Adrian membuka mulut lagi, “Selamat datang di kampus.”
“Terima kasih,” jawab Aruna. Tapi hatinya tidak tenang.
Itulah awal dari segala kebetulan yang tidak pernah terasa kebetulan.
---
Selama dua tahun berikutnya, Aruna dan Adrian berjalan berdampingan seperti dua garis sejajar. Tidak bersentuhan, tapi terlalu dekat untuk pura-pura tidak saling tahu. Mereka tidak pernah kuliah di kelas yang sama, tapi sering bertemu di lorong, perpustakaan, bahkan kantin.
Adrian sering duduk di pojok ruang baca, dan entah kenapa, Aruna lebih suka belajar di sana juga. Ia sering mengatakan pada teman-temannya, “Di sana lebih tenang,” padahal ketenangan yang ia cari bukan tentang suasana, tapi tentang seseorang yang tidak bicara, tapi membuatnya merasa terlihat.
Lalu ada sore-sore ketika hujan turun mendadak dan Aruna lupa bawa payung. Seolah alam semesta tahu, Adrian muncul dengan jaket atau payung lipat, tanpa diminta.
“Sering banget ya kebetulan kita ketemu?” tanya Aruna suatu malam, saat mereka naik ojek online yang sama karena pulang dari kampus bersamaan.
Adrian hanya menoleh. “Kamu pikir ini kebetulan?”
Aruna terdiam. Tak tahu harus senang atau takut.
Tapi hubungan mereka tidak pernah melebihi batas yang mereka—atau mungkin dunia—telah tentukan. Tak ada genggaman tangan. Tak ada pelukan. Hanya kebersamaan yang tumbuh diam-diam, seperti benih di tanah yang tak pernah disiram, tapi tetap hidup karena embun dan waktu.
Sampai akhirnya datang satu masa ketika Aruna menyadari, bahwa ia mulai membandingkan semua lelaki yang mendekatinya dengan Adrian.
---
Ada seorang mahasiswa tahun akhir, Davin, yang mulai mendekati Aruna di tahun kedua kuliahnya. Cerdas, sopan, cukup lucu, dan berasal dari keluarga baik-baik. Semua orang di sekitarnya menyukai Davin.
Aruna mencoba membuka diri. Mencoba merasa “normal.”
Mereka sempat makan malam bersama. Menonton film. Bahkan Davin sempat mengantarnya pulang ke rumah. Tapi saat tangan Davin menyentuh tangannya, Aruna merasa ada yang salah. Bukan karena Davin kasar. Tapi karena sentuhan itu tidak membekas.
Berbeda dengan ketika jarinya bersenggolan dengan Adrian saat mengambil gelas di dapur. Sentuhan yang begitu singkat, tapi membuat dadanya sesak sepanjang hari.
Sampai akhirnya, di sebuah pesta ulang tahun teman sekelas, Davin bertanya padanya, “Kenapa kamu selalu kelihatan seperti kamu nunggu seseorang?”
Aruna tersentak. “Maksudnya?”
“Kamu baik. Ramah. Tapi kayak nggak sepenuhnya ada di sini. Kayak sebagian dirimu masih ada di tempat lain.”
Aruna tidak bisa menjawab. Ia hanya tersenyum, lalu meminta izin pulang lebih awal.
Malam itu ia tidak bisa tidur. Ia duduk di balkon apartemennya, menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin, memikirkan apa yang tak pernah ingin ia akui: bahwa sebagian dirinya memang selalu menunggu Adrian. Diam-diam. Dalam. Dan tak bisa dihapus.
---
Sementara itu, Adrian juga menjalani hidupnya. Ia tidak pernah menjalin hubungan serius. Pernah terlihat dengan seorang gadis dari jurusan hukum—Evelyn, yang cerdas dan ambisius. Tapi hanya sebentar. Lalu hilang begitu saja.
Aruna tidak pernah bertanya, dan Adrian tidak pernah bercerita. Tapi ketika mereka bertemu di koridor kampus, ada tatapan di mata Adrian yang membuat Aruna yakin: ia tahu. Ia tahu Aruna tahu.
Dan mereka berdua sama-sama pura-pura tidak tahu.
---
Hubungan mereka selalu seperti itu: saling mengerti tanpa perlu kata-kata. Tapi diam-diam, pengertian itu menyakitkan. Seperti luka yang disiram dengan air garam.
Satu malam, mereka pulang bersamaan dari acara seminar kampus. Hujan deras membuat mereka terjebak di bawah kanopi halte. Adrian mengeluarkan rokok, menyalakannya dengan tangan gemetar karena udara dingin.
“Kamu masih ngerokok?” tanya Aruna. Suaranya datar.
“Kadang,” jawab Adrian.
“Papa nggak suka kamu ngerokok.”
“Papa nggak benar-benar peduli,” balas Adrian, lalu meniup asap ke udara.
Aruna diam. Lalu berkata, “Kenapa kamu bisa sedekat ini sama keluargaku, tapi tetap ngerasa bukan bagian dari kami?”
Adrian memalingkan wajah. “Karena aku memang bukan bagian dari kalian.”
“Papa angkat kamu. Mama juga sayang.”
“Sayang seperti apa? Seperti memelihara kucing? Atau seperti… menambal kekosongan?”
Aruna menelan ludah. “Kamu tahu bukan itu maksudnya.”
Adrian mematikan rokoknya. “Kalau kamu jadi aku, kamu juga akan ngerasa sama.”
“Kamu tahu nggak, aku sering merasa… kamu bukan hanya bagian dari keluarga ini,” Aruna berbisik. “Tapi bagian dari aku.”
Adrian menoleh. Pandangannya menusuk. Hujan deras mengaburkan suara, tapi tatapan itu terlalu jelas untuk salah dimengerti.
“Kamu mabuk?” tanyanya, nyaris pelan.
“Enggak.”
“Lagi bingung?”
Aruna menggeleng.
“Lagi berani, mungkin,” tambahnya.
Adrian tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatapnya lama, sebelum akhirnya melangkah menjauh, memanggil taksi daring tanpa menoleh lagi.
Dan Aruna berdiri di sana, menggigil bukan karena hujan, tapi karena hatinya yang baru saja membuka satu pintu… dan tak tahu apakah itu akan disambut atau ditutup selamanya.
---
Beberapa minggu sebelum kelulusan Adrian, mereka tidak berbicara sama sekali. Bahkan saat bertemu di kampus, mereka hanya saling mengangguk kecil—saling sadar tapi tak saling sapa.
Namun malam sebelum wisuda, Adrian meninggalkan sesuatu di meja kerja Aruna di perpustakaan: sebuah buku tua, The Little Prince, dengan halaman yang ditandai.
Di sana tertulis:
“It is the time you have wasted for your rose that makes your rose so important.”
Dan di bawah kutipan itu, hanya ada inisial: —A
Aruna membaca kutipan itu berkali-kali, sampai hurufnya nyaris hapal di luar kepala.
Adrian tidak pernah menyatakan perasaannya. Tidak dengan kata-kata. Tapi mungkin, selama ini ia tidak perlu.
Dan Aruna… menyadari bahwa semua waktu yang ia habiskan bersama Adrian, semua yang tak pernah mereka ucapkan… telah membentuk ruang yang tak bisa diisi oleh siapa pun selain dia.
Mereka lulus. Adrian lebih dulu. Aruna menyusul dua tahun kemudian.
Di pagi hari saat Ia akan terbang ke London, Adrian mengantarnya ke bandara.
Aruna berdiri di gerbang masuk bandara, memberikan senyuman terbaiknya.
“Aku hanya punya satu pertanyaan." Akhirnya Aruna mengeluarkan suaranya.
"Apa?" tanya Adrian
"Kalau aku bukan adikmu, Adrian… kamu akan memilihku?”
Adrian hanya menatapnya. Lama. Lalu memeluknya dengan erat. Ia tak mengatakan apapun, mengusap pipinya dan memberi senyuman. "Hati-hati" Sahutnya setelah melepsakan pelukan hangat itu."
Dan itu cukup bagi Aruna untuk tahu… bahwa jawaban dari pertanyaannya adalah “ya”—jika dunia ini tidak sekejam itu.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 28 Episodes
Comments