Tidak semua kemarahan datang dalam bentuk teriakan.
Beberapa hadir dalam keheningan yang membatu, dalam senyum sopan yang tak lagi hangat, dan dalam langkah-langkah pelan yang menjauh tanpa suara.
Begitulah Aruna marah.
Ia tidak menghapus Adrian dari hidupnya. Ia masih menyapa di kantor, masih bekerja bersamanya, masih menghadiri rapat-rapat panjang di ruangan yang sama. Tapi tidak ada lagi percakapan di antara waktu. Tidak ada lagi jeda yang terisi dengan tatapan penuh tanya.
Ia tidak memusuhi. Ia hanya berhenti memperjuangkan.
---
Hari itu, Aruna memimpin presentasi di hadapan klien besar dari perusahaan FMCG yang tertarik beriklan bersama Adikerta Group. Ia tampil luar biasa: tenang, tajam, dan karismatik. Timnya memandang kagum. Klien tersenyum puas.
Tapi satu orang duduk diam di sudut ruangan, memperhatikan tanpa satu pun kata pujian.
Adrian.
Begitu rapat selesai, semua orang berdiri dan saling memberi selamat. Aruna merapikan berkasnya, lalu berbalik ke arah Adrian.
“Kalau kamu punya feedback, aku siap dengar.”
Adrian menatapnya sebentar, lalu berkata datar, “Sudah bagus.”
“Cuma itu?”
Adrian diam.
Dan itu cukup untuk membakar sesuatu dalam dada Aruna.
Ia berjalan keluar tanpa menoleh. Tapi di dalam hatinya, sebuah pintu tertutup rapat.
---
Malamnya, Aruna duduk di balkon rumah. Angin bertiup lembut, tapi dingin menusuk ke kulit. Ia menyelimuti dirinya dengan selimut tipis, memeluk lutut, dan memandangi langit Jakarta yang kelabu.
Mama datang membawa secangkir teh.
“Kamu kelihatan capek,” kata Mama pelan.
“Karena aku memang capek.”
Mama duduk di sebelahnya. Diam sejenak. Lalu bertanya, “Adrian?”
Aruna tidak menjawab. Tapi air matanya jatuh sebelum ia sempat mengangguk.
“Lucu ya, Ma…” katanya akhirnya. “Aku mencintai seseorang yang selalu bilang dia peduli, tapi nggak pernah cukup berani buat bertahan.”
Mama memeluknya, lembut. Tapi pelukan itu tidak bisa menutupi luka yang sudah terlanjur dalam.
---
Esok paginya, Aruna datang ke kantor lebih awal dari biasanya. Ia ingin menghindari kemungkinan bertemu Adrian di lobi, di lift, di mana pun. Tapi takdir memang suka bercanda.
Adrian sudah ada di pantry, menyeduh kopi.
Mereka saling pandang sejenak. Lalu Adrian memalingkan wajah, pura-pura sibuk dengan sendok dan gula.
Aruna tidak tahan.
“Kenapa kamu selalu begitu?” suaranya tenang, tapi nadanya tajam.
Adrian menoleh, bingung. “Begitu gimana?”
“Berpura-pura semuanya baik-baik aja, padahal jelas kamu yang mulai rusak semuanya.”
Adrian menghela napas. “Aku nggak ngerti kamu marah soal apa.”
“Itu dia masalahnya!” Aruna setengah tertawa. “Kamu nggak ngerti. Kamu pikir aku marah karena kamu nggak bilang sayang? Bukan, Adrian. Aku marah karena kamu bikin aku percaya, lalu kamu diam. Selalu diam.”
Adrian membuka mulut, tapi Aruna mengangkat tangan, menghentikannya.
“Aku nggak minta kamu miliki aku. Aku cuma minta kamu jujur. Tapi kamu bahkan nggak bisa kasih itu.”
Ia mengambil kopi yang belum diseduh, lalu pergi meninggalkan Adrian sendiri di ruangan yang tiba-tiba terasa sangat sunyi.
---
Hari-hari berikutnya, Aruna benar-benar menjaga jarak.
Ia bahkan menolak saat Adrian menawarkan diri untuk mendampingi presentasi regional ke Surabaya. “Saya sudah punya tim,” katanya singkat. “Nggak perlu repot.”
Dan saat Adrian memintanya meninjau strategi keuangan, Aruna cukup mengirimkan asisten manajer.
Tidak ada lagi ruang bagi Adrian untuk dekat.
Dan bagi Aruna, itu adalah satu-satunya cara untuk bertahan.
---
Satu malam, Kenzo menelepon.
“Hari Sabtu ada konser jazz di taman kota. Mau datang?”
Aruna ragu. Tapi akhirnya menjawab, “Aku akan coba.”
Malam konser itu, Aruna datang mengenakan dress biru tua dan scarf abu di leher. Kenzo menyambutnya dengan senyum hangat, lalu menyodorkan satu tiket tambahan.
“Aku tahu kamu mungkin pengin pulang cepat. Tapi kalau kamu mau duduk lebih lama... ini tempatnya.”
Mereka duduk bersebelahan di bangku taman. Musik mengalun dari panggung kecil di depan. Di sekeliling mereka, lampu-lampu taman berpendar redup, seperti bintang yang turun ke bumi.
Kenzo menoleh, matanya lembut. “Aku nggak tahu kamu masih simpan luka sebesar itu.”
Aruna tersenyum, kecut. “Aku juga nggak tahu sampai aku coba lepas.”
“Kalau kamu belum siap, aku bisa nunggu.”
“Kamu nggak harus nunggu,” kata Aruna pelan. “Aku hanya… butuh waktu buat ngerasa aku pantas dicintai, tanpa ragu.”
Kenzo mengangguk. “Kalau begitu, aku akan ada di sini. Bukan buat maksa. Tapi buat kamu tahu bahwa kamu selalu pantas.”
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Aruna membiarkan tangannya digenggam seseorang tanpa merasa bersalah.
---
Senin pagi, di kantor, Adrian melihat mereka turun dari mobil yang sama.
Kenzo membukakan pintu. Aruna tersenyum. Dan meski ia tidak menyentuhnya, jarak di antara mereka cukup dekat untuk memberi pesan yang jelas.
Adrian berdiri di balik tirai jendela, diam.
Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Bukan karena Aruna tersenyum pada orang lain. Tapi karena ia sadar, senyum itu bukan lagi miliknya.
Dan ia terlambat untuk menyadari, bahwa kehilangan seseorang tidak selalu dimulai saat orang itu pergi—tapi saat ia berhenti berharap kamu akan mengejarnya.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 28 Episodes
Comments