Menikah? Yeah!
Berumah tangga? Nanti dulu.
Begitulah kisah Inara Nuha (21 tahun) dan Rui Naru (25 tahun). Setelah malam pertama pernikahan mereka, kedatangan Soora Naomi mengguncang segalanya. Menghancurkan ketenangan dan kepercayaan di hati Nuha.
Amarah dan luka yang tak tertahankan membuat gadis itu mengalami amnesia selektif. Ia melupakan segalanya tentang Naru dan Naomi.
Nama, kenangan, bahkan rasa cinta yang dulu begitu kuat semuanya lenyap, tersapu bersama rasa sakit yang mendalam.
Kini, Nuha berjuang menata hidupnya kembali, mengejar studi dan impiannya. Sementara Naru, di sisi ia harus memperjuangkan cintanya kembali, ia harus bekerja keras membangun istana surga impikan meski sang ratu telah melupakan dirinya.
Mampukah cinta yang patah itu bertaut kembali?
Ataukah takdir justru membawa mereka ke arah yang tak pernah terbayangkan?
Ikuti kisah penuh romansa, luka, dan penuh intrik ini bersama-sama 🤗😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10 Astagaaa...
“Astagaaa… ini tanda kenapa nggak mau hilang, hih!!” Nuha mengusap sebal bekas kiss mark hasil ulah Naru di leher jenjangnya. Kesal rasanya. Ia diperlakukan seperti kucing yang lagi birahi.
Dan bukan cuma tanda itu, jemarinya menyentuh sisi leher yang masih terasa perih. Luka jahitan samar yang pernah Naomi tinggalkan di sana.
“Masih sedikit sakit…” gumamnya lirih. Untungnya, berkat amnesia selektifnya, Nuha sudah lupa dari mana asal luka itu. Yang ia tahu, hanya rasa nyerinya yang masih tersisa.
“Arrrggghh!! Ini juga! Kenapa Naru harus bawain aku baju ganti segala! Aku kan punya sendiri!” keluhnya sambil menatap satu set pakaian rapi di atas ranjang. Semua label harga dan merek sudah digunting. Rapi sekali, seperti biasa.
“Dan ada… pesannya lagi?” ujarnya sinis, tapi tangannya tetap mengambil lipatan kecil di antara pakaian itu. Kertas mungil beraroma coklat itu bertuliskan rapi.
“Hari pertama kuliah, kan? Aku cuma bantu biar kamu nggak sibuk mikirin baju. Dunia mungkin terasa baru, tapi aku tahu kamu akan tetap jadi dirimu yang kuat. Pakai baju ini, bukan karena kamu butuh. Tapi karena aku cuma ingin jadi bagian kecil dari semangatmu hari ini."
-N.
Nuha terdiam.
Pandangannya jatuh pada tulisan terakhir itu. Sudut bibirnya terangkat sedikit, tapi buru-buru ia sembunyikan dengan mendecak pelan.
“Kenapa sih… selalu kayak gini,” gumamnya lirih. “Nggak bisa benci lama-lama juga jadinya.”
Ia menatap cermin di hadapannya, lalu menghela napas panjang. “Awas aja kalo nanti dia gangguin lagi di kampus. Aku sumpahin… aku sumpahin bakal jatuh cinta lagi.” Eh, "Aarrggg!! Lidahku terpeleset!!"
Sampai di Kampus...
Di halaman, Naru memilih tempat parkir yang teduh di bawah pohon flamboyan. Baru saja ia membuka sabuk pengamannya, matanya langsung menatap gadis di sampingnya.
“Kamu kelihatan can--”
Belum sempat kata cantik meluncur, tangan Nuha sudah menutup rapat mulut yang terkenal suka menggoda itu. “Diam!”
Alis Naru melengkung, wajahnya menampilkan ekspresi memelas yang terlalu menggemaskan untuk ukuran pria dewasa.
Akhirnya, Nuha melepaskan tangannya sambil menghela napas panjang. “Aku harap kamu nggak ada di kampus ini, huh!” gerutunya sambil meraih tas dan berbalik.
Baru saja ia hendak turun, Naru menahan pintu di sampingnya dan dengan cepat menekan tombol kunci otomatis. Klik!
Nuha menoleh dengan tatapan tajam. Dan sebelum sempat protes, bibirnya sudah dilumat oleh pria itu seperti permen manis yang meleleh di lidah.
“Kyaaa!!” Nuha langsung menjerit kecil, menutup mulutnya dengan dua tangan. “Sumpah ya! Sumpah!! Kamu nyebelin banget! Aku benci!”
Naru menarik bahunya perlahan, mendekatkan wajah hingga napasnya menyapu telinga gadis itu. “Aku juga ben... neran cinta.”
Deg.
Seketika jantung Nuha seperti kena listrik tegangan tinggi. Wajahnya seperti ketel menguap.
Dengan suara rendah tapi menggoda, Naru menambahkan, “Kalo aku dengar lagi nama yang kamu gumamin tadi malam pas tidur… aku bakal kasih kamu lebih dari kiss mark.”
“Aarggghh???” Nuha langsung meronta. Tangannya bergerak ke mana-mana, meninju udara menendang apapun yang ada di sana.
“Udah, udah… aku nggak akan gangguin kamu kok hari ini.” Naru bersandar santai sambil tersenyum lebar. “Mungkin seminggu ke depan juga nggak.”
“Apa?” Nuha spontan berhenti meronta.
“Kan kangen, kan?”
Urat di dahi Nuha langsung muncul. Berdenyut-denyut. Nyesel dia mudah terpancing. Ia mendengus, lalu-- BRAK!
Pintu mobil dibanting keras. Ia melangkah cepat dengan langkah besar-besar, seperti banteng kehilangan bendera merahnya.
Naru hanya tertawa pelan, menatap punggung istrinya yang menjauh sambil bergumam, “Ya ampun, bantengku makin lucu aja tiap hari.”
Kemudian, Naru memutar mobilnya perlahan, melewati barisan kendaraan yang mulai memenuhi area parkiran. Dan di detik yang sama, pandangannya terhenti...
Di sisi kanan, melintas seseorang dengan motor sport berwarna putih mengilap. Suara mesinnya dalam dan halus, seperti raungan tenang yang membawa wibawa.
Motor itu berhenti di area parkir, tak jauh dari gerbang utama. Gerakannya santai tapi mantap. Kaki kirinya menapak lantai dengan sempurna. Helm full-face berwarna matte silver dengan visor hitam kebiruan ia angkat perlahan.
Cahaya matahari pagi memantul di kaca helm, membuat momen itu tampak seperti adegan slow motion di film. Rambut hitamnya yang sedikit gondrong di bagian tengkuk terurai berantakan karena angin.
Dengan satu gerakan ringan, ia menyibakkannya menggunakan jemari. Tatapannya tajam, namun wajahnya tenang, seperti pria yang terbiasa menyimpan banyak hal di balik diamnya.
Wisnu Dewangga. Berjalan pelan. Pandangannya terangkat saat suara riuh mencuri perhatiannya dari arah taman kampus.
“Sifa!!”
Suara itu terdengar memanggil orang lain.
Nuha berlari kecil sambil melambaikan tangan, melihat sahabatnya menunggu di sebelah sana. Tapi roknya yang model midi pencil skirt membuat langkahnya terbatas. Gerakannya seperti anak kucing yang baru belajar jalan dengan sepatu baru.
Dan tentu saja…
Bruk!
“Aarrgghh!! Kenapa sih harus jatuh juga! Hari pertama kuliah, hari pertamaku harusnya berkesan, tapi kenapa yang terkesan malah lututku!!” serunya dramatis sambil menepuk tanah.
Suara itu sampai ke telinga Naru yang baru saja memutar mobil keluar area parkir.
Refleks, ia mengorek telinga dengan kelingking. “Aku harap rok itu cukup jadi pengingat buat nggak lari-lari lagi…” gumamnya, tersenyum kecil.
Dia tahu betul, Nuha dan sepatu boots itu adalah kombinasi maut. Makanya, dia sengaja memilihkan rok itu supaya Nuha tampak anggun dan tenang saat berjalan. Tapi nyatanya, bahkan rok pun tak bisa menenangkan badai kecil bernama Nuha.
Naru melajukan mobilnya menuju sebuah rumah sakit rehabilitasi mental di pinggiran kota. Dari luar, bangunannya tampak tenang dan bersih, tapi suasana di dalamnya menyimpan hawa dingin yang menusuk.
Ia sudah memerintahkan pengawalnya membawa Naomi ke tempat ini. Dan kini, perempuan itu berada di ruang observasi intensif, ruangan sunyi dengan pencahayaan temaram dan aroma obat yang menyengat.
Setelah melewati prosedur pemeriksaan ketat, Naru akhirnya diperbolehkan masuk. Langkahnya pelan namun pasti, bergema di lantai marmer yang terlalu mengilap untuk ruangan semuram itu.
Di balik pintu kaca tebal, Naomi terbaring di ranjang, kedua tangannya diikat dengan tali pengaman medis, gerakannya terbatas. Matanya terbuka, tapi pandangannya kosong, antara sadar dan tidak.
“Naomi…”
Suara itu terdengar berat dan tenang, tapi cukup untuk membangunkan adrenalin Naomi seketika. Matanya membelalak, seolah suara itu datang dari mimpi yang paling ia rindukan.
“Naru? Naru! Naru, tolong lepasin aku! Lepasin akuuu!” jeritnya, tubuhnya meronta sampai tali pengaman di tangannya berderit.
“Tenanglah.”
Langkah Naru perlahan mendekat, lalu berhenti di sisi ranjang. Jemarinya menyentuh bahu Naomi dengan hati-hati, tapi dingin.
Air mata mengalir deras di pipi wanita itu. “Kenapa kamu tega lakuin ini padaku? Kenapa…”
“Karna penjara pun nggak bisa bikin kamu jera,” jawab Naru datar. “Kalau Dilan nggak mencabut laporanku pakai uang, mungkin aku nggak akan ngelakuin ini.”
Naomi menggigit bibirnya, tubuhnya bergetar. “Lepasin aku, Naru… aku lagi hamil. Aku nggak mau stress lagi, kumohon…”
Naru menatapnya lama. “Kalau kamu bisa janji, buat hidup tanpa ngusik rumah tanggaku lagi… aku bakal lepasin kamu.”
“Jangan bicara kayak gitu…” Naomi tersenyum getir. “Apa kamu nggak sayang sama bayi yang aku kandung? Ini putramu... Ini putramu.”
Hening sejenak.
Suara jam dinding terdengar jelas di antara jarak mereka yang terasa begitu jauh.
Akhirnya Naru menunduk sedikit, menatap perut Naomi. “Ya,” katanya pelan, “aku bakal peduli sama kandunganmu. Tapi ingat…”
Tatapannya mengeras, suaranya serendah bisikan yang menampar jiwa. “Jangan lagi mengusik Nuha. Kamu sudah sangat melampaui batasmu sebagai seorang manusia."
"Naru... Itu karna aku sangat mencintaimu."
Naru tidak mempedulikan kata-kata itu, "Jika kamu ingin aku peduli denganmu, maka jagalah baik-baik kandunganmu sendiri sebelum aku bertindak lebih jauh lagi."
"Apa... Maksudmu?"
"Aku akan mengakhiri hidupmu."
Petugas rumah sakit jiwa segera datang membantu, dua perawat dan satu dokter jaga masuk tergesa melihat Naomi yang mulai tak terkendali.
Suara Naru terdengar tegas, “jangan sampai dia kehilangan akal sehatnya. Aku ingin dia tetap hidup… dan bisa melahirkan bayinya dengan selamat.”
“Baik, Pak,” jawab salah satu petugas sambil memberi isyarat pada rekannya untuk menenangkan pasien.
“Tidak! Naru! Jangan. Jangan tinggalin aku! Jangaaann!!” jerit Naomi, tubuhnya meronta, air mata bercucuran tanpa henti.
.
.
.
. ~Bersambung...
kanaya tau kebusukan suami & sahabatnya, gak ya?
itu baru emak singa betina yang classy banget!! Bicaranya lembut, tapi nancep kayak belati dari sutra.
“Aku ada bersama mereka.”
langsung pengen slow clap di meja makan
👏👏👏
Pas diserang dari segala penjuru masih bisa bilang “Aku percaya sama Naru.” Uuuuhh, emak langsung pengen peluk dia sambil bilang, “Nak, sabar ya… dunia emang keras, tapi jangan kasih Naomi menang!” 😤😤😤
chill naik sampe ubun-ubun, sumpah 🔥😱
“She said: don’t mess with my daughter-in-law,, mother-in-law supremacy era!!! 👊👊👊