NovelToon NovelToon
After The Fall

After The Fall

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: ARQ ween004

Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.

Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.

Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.

Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.

Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.

Dan dia adalah sosok itu...

Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

hari-hari di antara hidup dan mati

Waktu terasa kehilangan maknanya di ruang ICU bernomor 713.

Siang dan malam tak lagi punya batas; hanya suara mesin medis yang menjadi pengingat bahwa waktu masih bergerak — pelan, berat, tapi pasti.

Beep... beep... beep...

Suara monoton itu menjadi musik pengiring dalam perjuangan panjang Viora. Tubuhnya terbaring lemah, selang-selang medis terpasang di lengan, hidung, dan dadanya. Setiap napas yang keluar dari alat bantu pernapasan terdengar pelan, nyaris seperti desahan yang tertahan di antara hidup dan tiada.

Kepalanya masih diperban. Kulitnya pucat, seolah semua warna telah pergi meninggalkan wajahnya. Hanya detak jantung di monitor yang menjadi bukti bahwa ia masih berjuang — meski di tempat yang tak bisa dijangkau siapa pun.

---

Hari ke-3

Claretta duduk di kursi sebelah ranjang, masih mengenakan pakaian yang sama seperti tiga hari lalu. Rambutnya acak-acakan, mata bengkak karena menangis tanpa henti.

“Sayang… hari ini Mama bawain kamu lagu kesukaan kamu, ‘You Are the Reason’.” Suara Claretta bergetar, ia memutar musik dari ponsel kecil di samping tempat tidur.

Nada piano yang lembut memenuhi ruangan.

Ia menggenggam tangan putrinya erat, menatap wajah itu dengan tatapan yang penuh harap.

“Dengar, ya, Vi… Lagu ini dulu kamu yang nyanyiin waktu ulang tahun Mama. Sekarang Mama nyanyiin buat kamu.” Suaranya pecah di tengah lagu. “Tolong bangun, Nak. Tolong buka mata kamu…”

Tapi Viora tetap diam. Hanya mesin yang menjawab.

Beep... beep... beep...

---

Hari ke-7

Zevan dan Zegra datang bersamaan. Dua kakak kembar nya itu terlihat tak seperti biasanya — tak ada tawa, tak ada candaan seperti biasa.

Zegra menatap adiknya lama, lalu berbisik, “Lo tau gak, Vi, gue dulu paling kesel tiap lo rebutan remote TV.”

Zevan tersenyum miris. “Tapi sekarang, kita cuma pengen denger suara lo berisik lagi.”

Mereka berdua berdiri diam cukup lama, menatap tubuh adik yang dulu ceria kini terbaring tanpa daya.

“Lo kuat, kan?” suara Zevan pelan. “Karena kalau lo pergi… gak ada yang bisa nyembuhin Mama sama Papah dari luka ini.” Lo permata buat kita, Vi."

Beep... beep... beep...

Irama monitor seolah menjawab, tetap stabil, tapi tak memberi kejelasan.

---

Hari ke-20

Hari demi hari terus berlalu, namun di ruang ICU nomor 713, segalanya tetap sama—hampa, hanya diiringi gema suara monitor yang berulang, menjadi saksi atas kehidupan yang berjalan tanpa kepastian.

Elvatir berdiri di depan kaca ICU, matanya tajam tapi tersirat rasa lelah di sana. Sejak hari pertama, ia tak pernah tidur lebih dari dua jam. Luka kehilangan adiknya dulu di masa kecil masih menghantui — dan kini, rasa takut itu datang lagi.

Pintu itu terbuka perlahan, menimbulkan suara engsel yang nyaris tak terdengar. Ia melangkah masuk dengan hati-hati, seolah takut mengusik keheningan yang menggantung di udara.

“Vi…” panggilnya pelan, suaranya nyaris pecah. Pandangannya tertuju pada sosok yang terbaring diam di balik selimut putih itu.

“Lo inget, kan? Tiap kali gue sakit, lo selalu yang paling sibuk jagain gue. Paling cerewet nyuruh gue makan, istirahat, minum obat.” Senyum samar muncul di bibirnya — getir, tapi tulus.

“Sekarang gantian, ya. Sekarang giliran gue yang jagain lo.” Ia menunduk perlahan; jemarinya bergetar saat menyentuh tangan dingin adiknya di atas ranjang.

“Jadi, tolong… bangun, Vi. Jangan bikin Mama tambah sakit liat lo kayak gini.”

Suara monitor di sisi ranjang berdetak pelan, jadi satu-satunya saksi dari permohonan yang melayang di antara harapan dan keputusasaan.

---

Empat puluh hari kemudian.

Waktu berjalan begitu lambat, seolah enggan meninggalkan luka yang belum sembuh. Di ruang ICU nomor 713, segalanya masih sama—bau antiseptik yang menusuk, cahaya lampu putih yang tak pernah padam, dan suara monitor yang terus berdetak monoton, menandakan kehidupan yang rapuh tapi belum menyerah.

Viora masih di sana. Terbaring di ranjang yang sama selama lebih dari satu bulan. Tubuhnya tampak tenang, seolah sedang tidur panjang yang tak pernah benar-benar usai.

Pagi itu, sinar matahari menembus kaca jendela ruang ICU, jatuh lembut di lantai putih yang dingin. Aroma antiseptik masih sama, menusuk namun kini terasa akrab.

Dokter masuk perlahan, catatan medis di tangannya. Suaranya tenang, tapi membawa beban kenyataan yang sulit ditebak. “Perkembangannya stabil,” katanya sambil menatap layar monitor. “Tapi masih belum ada respon kesadaran. Hanya saja… tekanan darah dan detak jantungnya kuat. Itu tanda, dia masih berjuang.”

Claretta, yang pagi itu menggantikan kakak-kakak Viora untuk berjaga, menatap wajah putrinya yang terbaring dengan napas lemah. Jemarinya bergetar saat menggenggam tangan Leonard___suaminya, mencari kekuatan dari genggaman itu.

“Berarti… masih ada harapan, kan, Dok?” tanyanya dengan suara bergetar.

Dokter mengangkat pandangannya. Senyum lembut terbit di wajahnya, bukan karena kepastian, melainkan karena empati. “Selama jantungnya masih berdetak,” katanya pelan, “harapan itu tidak akan pernah benar-benar hilang.”

Hening sejenak. Hanya suara monitor yang berirama pelan, menjadi saksi antara hidup dan keajaiban yang masih digantungkan pada waktu.

---

Dua bulan kemudian.

Hujan deras mengguyur Jakarta malam itu. Petir menyambar langit, membelah gelap dengan cahaya putih menyilaukan. Di dalam ruang ICU nomor 713, hanya lampu redup dan suara mesin yang menemaninya—ritmis, monoton, seperti detak waktu yang enggan bergerak.

Viora masih diam. Namun untuk pertama kalinya, jari telunjuknya bergerak sedikit—halus, nyaris tak terlihat.

Monitor mendeteksi perubahan kecil; nadanya berubah.

Beep—beep—beep…

Perawat yang berjaga sontak menatap layar, matanya membesar. Ia berlari keluar ruangan.

“Dokter! Ada respon saraf halus!”

Dalam hitungan detik, ruangan itu berubah ramai. Langkah-langkah terburu, suara alat medis, dan napas cemas memenuhi udara. Leonard, Claretta, dan Elvatir segera datang. Mata mereka berkaca-kaca, seolah Tuhan baru saja menyalakan kembali seberkas cahaya di ujung gelap yang panjang.

“Sayang… Vi…” suara Claretta bergetar ketika ia menggenggam tangan putrinya. “Mama di sini, Nak… Kamu denger suara Mama, kan?”

Mata Viora tetap tertutup, tapi napasnya mulai teratur. Ada sesuatu yang berbeda—seolah tubuhnya perlahan menanggapi panggilan dunia.

Kelopak matanya bergetar pelan. Cahaya putih menembus pandangannya yang buram. Suara mesin, langkah dokter, dan isak ibunya berpadu menjadi harmoni aneh—antara kenyataan dan mimpi.

Lalu, dari sela bibirnya yang kering, keluar hembusan napas pelan. Kelopak mata itu akhirnya terbuka.

Buram. Siluet wajah ibunya muncul di antara cahaya.

“Vi… Tuhan… Vi, kamu sadar?!”

Viora hanya diam. Matanya bergerak pelan, menatap sekeliling dengan pandangan kosong. Bingung. Lemah.

Air mata Claretta jatuh deras, membasahi punggung tangan putrinya.

“Nak… kamu denger Mama, kan?”

Namun alih-alih menjawab, Viora hanya menatap ke langit-langit. Setetes air mata jatuh dari sudut matanya—bukan karena lega, tapi karena rasa asing yang tiba-tiba menguasai hatinya. Dunia yang baru ia masuki kembali terasa dingin, hampa, dan berat.

****

1
Mar lina
pasti Agler
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
Mar lina
siapa ya
sosok misterius itu???
Mar lina
bener Rafka ada main sama sahabat Viola
lanjut thor
Yunita Aristya
kok aku merasa friska ada main sama rafka🤭
ARQ ween004
Aku update tiap hari jam delapan ya! makasih yang udah mampir 🫶 tinggalkan jejak kalian di kolom komentar sini ya! biar aku tambah semangat nulisnya, hhe...

love u sekebon buat para readers ku🫶🫶
Madie 66
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
ARQ ween004: makasih kembali, makasih udah baca cerita ku dan aku juga senang kalau kalian suka🫶🫶
total 1 replies
Carlos Vazquez Hernandez
Dapat pelajaran berharga. 🧐
Kelestine Santoso
Menguras air mata
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!