Di bawah rembulan yang dingin, seorang jenderal berdiri tegak, pedangnya berkilauan memantulkan cahaya. Bukan hanya musuh di medan perang yang harus ia hadapi, tetapi juga takdir yang telah digariskan untuknya. Terjebak antara kehormatan dan cinta, antara tugas dan keinginan, ia harus memilih jalan yang akan menentukan nasibnya—dan mungkin juga seluruh kerajaannya. Siapakah sebenarnya sosok jenderal ini, dan pengorbanan apa yang bersedia ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syifa Fha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Senja merayap di langit desa Luo Yang, mewarnai lembah dengan gradasi jingga dan ungu. Setelah menderita di bawah cengkeraman Mo Hui, desa Luo Yang akhirnya bangkit dari abu. Rumah-rumah yang hancur telah dibangun kembali, ladang-ladang yang rusak kembali menghijau, dan senyum kembali menghiasi wajah para penduduk.
Di pusat desa, berdiri kokoh sebuah altar leluhur yang baru. Altar itu dibangun dengan kerja keras dan gotong royong seluruh warga, sebagai simbol penghormatan kepada para leluhur dan Para penduduk desa yang gugur dalam pertempuran melawan mo Hui saat itu. Aroma dupa memenuhi udara, bercampur dengan wangi bunga-bunga liar yang diletakkan di sekitar altar.
Para penduduk desa berkumpul di sekitar altar, mengenakan pakaian Duka mereka. Tua, muda, laki-laki, perempuan, semua bersatu dalam doa. Suara mereka menggema di lembah, memohon perlindungan dan keberkahan dari para leluhur.
Mereka juga meletakkan nama keluarga mereka yang telah gugur disana.
Mereka menundukkan kepala, merenungkan Kenangan yang begitu kelamnya dan berharap akan masa depan yang cerah.
Di antara kerumunan, Yu Zhang berdiri dengan tenang, mengamati pemandangan di sekitarnya. Ia merasakan kehangatan dan kedamaian yang terpancar dari para penduduk desa. Ia melihat harapan di mata mereka, harapan yang telah lama hilang.
Namun, pandangannya tertuju pada Xin Lan yang berdiri terpisah dari kerumunan. Xin Lan tertunduk dalam diam, wajahnya penuh penyesalan dan kesedihan yang mendalam. Ia tampak seperti jiwa yang tersesat,
Yu Zhang mendekati Xin Lan dengan langkah pelan. "Kau tidak ikut berdoa?" tanyanya lembut.
Xin Lan mengangkat wajahnya, menatap Yu Zhang dengan mata berkaca-kaca. "Aku... Aku adalah bagian dari organisasi yang telah menghancurkan desa ini. Aku tidak pantas mendapatkan pengampunan."
Yu Zhang meraih tangan Xin Lan, menggenggamnya erat. "Kau sudah berubah, Xin Lan," katanya dengan tulus. "Kau sudah membuktikan bahwa kau menyesali perbuatanmu dan ingin menebus kesalahanmu. Kau pantas mendapatkan kesempatan untuk memulai hidup baru."
"Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua yang telah kulakukan?" tanya Xin Lan dengan suara bergetar. "Bagaimana aku bisa hidup dengan rasa bersalah ini?"
"Kau tidak perlu melupakannya," jawab Yu Zhang. "Kau bisa menjadikannya sebagai pelajaran untuk menjadi orang yang lebih baik. Kau bisa menggunakan pengalamanmu untuk membantu orang lain dan mencegah tragedi serupa terjadi lagi."
Yu Zhang tersenyum lembut pada Xin Lan. "Lihatlah para penduduk desa ini," katanya, menunjuk ke arah kerumunan yang sedang berdoa. "Mereka telah memaafkanmu. Mereka melihat bahwa kau benar-benar menyesal dan ingin berubah. Jangan sia-siakan kesempatan ini, Xin Lan. Jadilah bagian dari mereka, jadilah bagian dari desa ini."
Xin Lan menatap Yu Zhang dengan tatapan penuh terima kasih. Ia merasakan kehangatan dan harapan yang telah lama hilang kembali menyala di dalam hatinya. Ia tahu bahwa ia masih memiliki jalan panjang untuk ditempuh, tetapi ia tidak lagi merasa sendirian. Ia memiliki Yu Zhang di sisinya, dan ia memiliki para penduduk desa Luo Yang yang telah menerimanya dengan tangan terbuka.
Xin Lan menarik napas dalam-dalam, menguatkan dirinya. Ia menggenggam tangan Yu Zhang lebih erat, dan bersama-sama mereka bergabung dengan kerumunan yang sedang berdoa. Xin Lan menundukkan kepalanya, memohon ampunan dan bimbingan dari para leluhur. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melakukan segala yang ia bisa untuk menebus dosa-dosanya dan menjadi orang yang lebih baik.
Di bawah langit senja yang indah, para penduduk desa Luo Yang berdoa bersama-sama, menyatukan hati dan pikiran mereka dalam harapan akan masa depan yang lebih baik. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang dan penuh dengan tantangan, tetapi mereka tidak akan menyerah. Mereka akan terus berjuang, bersama-sama, untuk membangun desa yang aman, damai, dan sejahtera. Dan di tengah-tengah mereka, berdiri Yu Zhang dan Xin Lan, dua jiwa yang terluka yang menemukan harapan dan penebusan di desa yang telah bangkit dari abu.
...
Mentari pagi menyinari desa Luo Yang, menghangatkan tanah dan membangkitkan semangat baru setelah malam yang penuh doa. Yu Zhang dan Xin Lan berdiri di gerbang desa, siap melanjutkan perjalanan mereka. Xin Lan menatap desa yang telah menjadi rumahnya selama beberapa waktu, hatinya dipenuhi rasa haru dan terima kasih.
Para penduduk desa berkumpul di sekitar mereka, wajah mereka menyimpan campuran antara kesedihan dan harapan. Awalnya, suasana terasa canggung. Kepergian Xin Lan membangkitkan kembali kenangan pahit tentang masa lalu, ketika desa ini hancur di bawah kekejaman Mo Hui. Namun, mereka juga ingat bagaimana Xin Lan telah berjuang untuk menebus kesalahannya, bagaimana ia telah membantu membangun kembali desa dan melindungi mereka dari bahaya.
Ketika Yu Zhang dan Xin Lan mulai melangkah pergi, Xin Lan berhenti sejenak. Ia berbalik menghadap para penduduk desa dan membungkuk dalam-dalam, sebagai tanda hormat dan terima kasih yang tulus.
"Terima kasih atas kebaikan dan pengampunan kalian," ucapnya dengan suara bergetar. "Aku tidak akan pernah melupakan apa yang telah kalian lakukan untukku."
Xin Lan melambaikan tangannya, air mata mulai menggenangi pelupuk matanya. Saat itulah, Yun Ban Xia, Yun Zhao, dan Yun Ling Shan, ketiga putra keluarga Yun, berlari menghampirinya. Bibi Yun, ibu mereka, mengikuti dari belakang dengan langkah tergesa.
"Yun xiao!" seru Yun Ban Xia, yang paling tua di antara mereka. "Jangan pergi!"
Xin Lan masih belum terbiasa dengan nama baru Yang diberikan Yun ban Xia untuknya.
Ketiga bersaudara itu memeluk Xin Lan erat-erat, seolah tidak rela melepaskannya. Bibi Yun menghampiri mereka dan memeluk Xin Lan juga, air mata membasahi pipinya.
"Jangan lupakan kami, Xin Lan," kata Bibi Yun dengan suara serak. "Kediaman keluarga Yun akan senantiasa terbuka untukmu. Kapan pun kau ingin kembali, pintu kami selalu terbuka untukmu."
Yun Ban Xia melepaskan pelukannya dan menatap Xin Lan dengan tatapan serius. "Kau sudah seperti saudara bagi kami," katanya. "Jangan lupa untuk kembali."
Yun Zhao, yang pendiam dan pemalu, memberanikan diri untuk berbicara. "Kakak!" gumamnya. "Siapa lagi yang akan menemaniku bermain catur? Mendongeng kanku sebelum tidur? "
Yun Ling Shan, yang biasanya terlihat paling ceria, menatap Xin Lan dengan mata berkaca-kaca. "Jangan lupa untuk mengirim surat kepada kami," pintanya. "Dan jangan lupa untuk menceritakan semua petualanganmu!"
"Dan jangan lupa dengan latihanmu ya!"Balas Xin Lan.
Ling mengangguk.
Xin Lan tersenyum haru, air matanya semakin deras mengalir. Ia membalas pelukan mereka dengan erat, merasakan kehangatan dan cinta yang terpancar dari keluarga Yun.
"Aku tidak akan pernah melupakan kalian," janjinya. "karena Kalian semua adalah keluargaku."
Melihat pemandangan yang mengharukan itu, para penduduk desa yang awalnya diam mulai mencair. Mereka berkumpul di sekitar Xin Lan dan Yu Zhang, memberikan dukungan dan ucapan perpisahan.
"Jangan lupakan kami, Nona Xin!" seru seorang wanita tua. "Kau sudah menjadi bagian dari desa ini."
"Terima kasih sudah menyelamatkan kami dari bandit!" teriak seorang gadis muda. "Kau adalah pahlawan kami!"
"Jangan lupa untuk membawa oleh-oleh saat kau kembali!" canda seorang anak kecil, membuat semua orang tertawa.
"Semoga perjalananmu lancar dan sukses!" seru seorang tetua desa. "Dan jangan lupa untuk selalu berbuat baik di mana pun kau berada!"
Xin Lan tersenyum haru, melambaikan tangannya kepada para penduduk desa. Ia merasakan kehangatan dan cinta yang terpancar dari mereka, dan ia tahu bahwa ia akan selalu merindukan tempat ini.
"Aku pasti akan kembali," janjinya. "Aku akan kembali sebagai orang yang lebih baik."
Yu Zhang dan Xin Lan berbalik dan mulai melangkah pergi, meninggalkan desa Luo Yang di belakang mereka. air mata terus mengalir di pipinya.
Saat mereka berjalan menyusuri jalan setapak, Yu Zhang menatap Xin Lan dengan tatapan lembut. "Kau masih tidak rela ya?," katanya, "aku belum pernah melihatmu Sebahagia ini sebelumnya."
Xin Lan tersenyum, air matanya masih membasahi pipinya. "Itu karena di Desa Luo yang, Aku merasa seperti telah menemukan keluarga yang selama ini kucari."
"Keluarga ya...,"Gumam yu Zhang.
...
Debu jalanan menempel di jubah lusuh Xin Lan dan Yu Zhang, menandakan perjalanan panjang mereka. Akhirnya, di kejauhan, tampaklah gerbang megah yang memisahkan wilayah kekaisaran Tiandu dan Kota Hao Yu yang ramai. Malam merayap turun, membawa serta hawa dingin yang menusuk tulang.
"Akhirnya sampai juga," gumam Xin Lan, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Seharian penuh mereka memacu diri dengan teknik Gerakan Angin, membuat energi terkuras habis.
Yu Zhang mengangguk, matanya menyipit menatap penginapan di kejauhan. "Kita harus cari penginapan."
Xin lan hanya mengangguk.
Keduanya akhirnya dapat bernafas lega karena mendapatkan sebuah penginapan murah, Mereka sudah ditolak beberapa kali karena penampilan kumuh mereka.Namun, kelegaan mereka sirna saat Yu Zhang dan Xin lan mengeluarkan dompetnya. Isinya tak lebih dari beberapa keping perak yang lusuh.
"Sial," umpat Yu Zhang pelan. "Uang kita hanya cukup untuk satu kamar."
"Tidak masalah," sahut Xin Lan santai. "Aku sudah terbiasa tidur di alam bebas. Kau saja yang istirahat di penginapan."
"Tidak!" sergah Yu Zhang cepat. "Kau seorang wanita! Tidak mungkin aku membiarkanmu tidur di sembarang tempat! Apalagi di perbatasan seperti ini, banyak orang jahat berkeliaran."
"Aku bisa menjaga diriku sendiri," balas Xin Lan, nada suaranya meninggi. "Hei pria, Sepertinya kau lupa aku siapa ya."
"Tetap saja tidak bisa!" Yu Zhang bersikeras. "Aku tidak akan bisa tidur nyenyak jika tahu kau tidur di luar sana." wajah yu zhang memerah. Ia merasa aneh ketika ucapan itu keluar dari mulutnya sendiri.
Pertengkaran mereka semakin sengit, menarik perhatian beberapa pengunjung penginapan. Seorang pelayan wanita menghampiri mereka dengan wajah khawatir.
"Ada apa ini? Kenapa kalian bertengkar?" tanyanya lembut.
"Kami tidak bertengkar!" bantah Xin Lan dan Yu Zhang bersamaan.
pelayan itu, tersenyum menenangkan. "Saya mengerti. Pasti sulit ya, berbagi kamar dengan suami sendiri saat bertengkar seperti ini."
Mata Xin Lan dan Yu Zhang membelalak. "Suami?" seru mereka bersamaan, wajah mereka memerah padam.
Pelayan itu mengangguk-angguk bijak. "Jangan khawatir, saya mengerti kok. Pertengkaran kecil sudah biasa terjadi dalam rumah tangga,Kalian memang sedang bertengkar tapi jangan sampai pisah kamar."
Sebelum Xin Lan dan Yu Zhang sempat membantah, pelayan itu sudah berbalik dan berbicara kepada pemilik penginapan.
"ah,Sudahlah."Gumam keduanya Pasrah.
"Pak, berikan kunci kamar nomor tujuh untuk pasangan muda yang sedang bergairah ini."Ucap pelayan dengan nada setengah berbisik.
Pemilik penginapan mengangguk setuju dan memberikan kunci kamar nomor tujuh kepada pelayan itu. Pelayan itu kemudian menyerahkan kunci itu kepada Xin Lan dan Yu Zhang dengan senyum lebar.
"Ini kuncinya. Kamar nomor tujuh. Semoga malam ini kalian bisa menyelesaikan masalah kalian ya."
Xin Lan dan Yu Zhang saling bertukar pandang dengan wajah masam. Mereka tidak punya pilihan lain. Dengan langkah berat, mereka berdua melangkah menuju kamar nomor tujuh, membayangkan malam yang panjang dan canggung di depan mata.
Kamar itu ternyata lebih kecil dari yang mereka bayangkan. Hanya ada satu ranjang kayu sederhana, sebuah meja kecil, dan sebuah kursi reyot. Aroma lembap dan debu langsung menyeruak begitu pintu dibuka.
Xin Lan mendengus. "hmm..,Romantis sekali," sindirnya, Menyilangkan tangannya.Kesal.
"Sudahlah kita harus segera tidur."Ucap Yu zhang sambil berganti pakaian didepan xin lan.
"Kalau tahu begini, mending aku tidur dipohon."Gumam Xin lan.
...
Suasana canggung menyelimuti mereka. Xin Lan merasa pipinya memanas setiap kali tak sengaja bertatapan dengan Yu Zhang. Ia berusaha menyibukkan diri dengan menata barang-barangnya, meski sebenarnya pikirannya melayang entah ke mana.
Setelah selesai membersihkan diri, Xin Lan mengenakan pakaian tidurnya yang sederhana. Ia mengikat rambutnya yang basah, memperlihatkan leher jenjangnya yang putih. Yu Zhang, yang sudah berbaring di ranjang, menelan ludah melihat penampilan Xin Lan yang lain baru pertama kali ia lihat.
"Kau... kau sudah selesai?" tanya Yu Zhang gugup.
Xin Lan mengangguk, berusaha menghindari tatapan Yu Zhang. Ia mematikan lampu minyak dan berbaring di lantai dengan alas tikar tipis dan tasnya sebagai bantal.
Keheningan kembali menyelimuti kamar itu. Hanya suara detak jantung mereka yang terdengar jelas. Xin Lan merasa tubuhnya menegang. Ia tidak tahu perasaan aneh yang datang padanya,Dari dulu ia selalu tidur dengan laki laki di ruangan yang sama tapi tidak merasa aneh seperti yang ia rasakan sekarang.
"Xin Lan," panggil Yu Zhang pelan.
"hmm?" sahut Xin Lan tanpa menoleh.
",Ka...kau yakin tidak mau tidur di sini." ucap Yu Zhang
Xin Lan terdiam. Ia tidak menyangka Yu Zhang akan mengucapkan kata-kata itu.
"Tidak..., terimakasih,Aku sudah terbiasa tidur seperti ini" balas Xin Lan Denial.
"Emh,Xin Lan?," bisik Yu Zhang. " Bagaimana tentang ceritaku sebelumnya? Apa kau..." Yu zhang merasa hening ia merasa Xin Lan tidak merespon nya,Yu zhang lantas menoleh untuk memastikannya,Ia terkejut melihat Xin Lan yang sudah tertidur lelap,Ia sepertinya sangat kelelahan.
"Selamat malam, Xin Lan," bisik Yu Zhang
Yu Zhang terdiam beberapa saat, menikmati kebersamaan mereka. Perlahan, matanya mulai merasa kantuk menyerang. Ia memejamkan matanya.