WARNING❗
Cerita ini, buat yang mau-mau saja, TAK WAJIB BACA JUGA
Mengandung banyak Flashback
Banyak nama tokoh dari novel-novel pendahulu mereka
Slow update
Alur lambat
So, yang gak suka silahkan cabut, dan berhenti sampai di sini ❗
⚠️⚠️⚠️
Kenzo akhirnya menerima permintaan sang bunda untuk menikahi putri sahabatnya semasa SMA.
Tapi ternyata gadis itu adalah adik tiri Claudia mantan kekasihnya. Dulu Claudia mencampakkan Kenzo setelah pria itu mengalami kecelakaan hingga lumpuh untuk sementara waktu.
Bagaimana lika-liku perjalanan pernikahan Kenzo dengan Nada? (yang selisih usianya 10 tahun lebih muda).
Di sisi lain, Nada masih terbelenggu dengan potongan ingatan masa kecil yang mengatakan bahwa ibunya meninggal karena mengakhiri hidupnya sendiri.
Apakah itu benar? Atau hanya dugaan semata? Lantas jika tidak benar siapa gerangan yang telah menghilangkan nyawa ibunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suasana Panas?
#27
“Duh, kenapa gak berhenti-berhenti hujannya?” gumam Nada gelisah, tadi ia minta di turunkan di halte bus dekat rumah. Nada pikir ia bisa berjalan setelah hujan sedikit reda.
Ternyata perkiraannya salah, apa boleh buat, yang penting pak sopir tadi bisa segera pulang untuk mengantar anaknya ke rumah sakit.
“Apa aku lari aja, ya? Nggak enak juga kalau diam di sini sendiri,” monolognya, lagi pula jarak halte hingga ke rumah hanya 15 menit dengan jalan kaki. Kalau berlari pasti bisa lebih cepat. Begitulah pemikiran Nada.
Gadis muda itu pun berlari, ia menggunakan tasnya sebagai payung, walau tak berfungsi apa-apa, karena tubuh dan pakaiannya tetap saja basah.
Tak lama kemudian, Nada sudah tiba di depan gerbang rumah sang mertua, Pak Satpam yang melihat kedatangan Nada, buru-buru berlari membawakan payung untuk menantu sang majikan.
“Non, kenapa hujan-hujan?”
“Sesekali tidak apa-apa, Pak.”
“Ayo, Bapak antar sampai teras.” Pak Satpam setia memayungi Nada hingga sampai di teras rumah.
“Terima kasih, ya, Pak. Maaf sudah merepotkan.
“Tidak repot, Non. Ini tugas Bapak.”
Setelah Pak Satpam kembali, Nada pun membuka pintu rumah, tak lupa mengucap salam.
“Waalaikumsalam, Nada!” pekik Bunda Emira.
“Diam di situ dulu, jangan bergerak!” perintahnya, dan Nada gugup, merasa sudah membuat ibu mertuanya murka, karena nada suaranya yang tinggi.
Gadis itu menunduk, membiarkan tetesan air menetes di lantai tempat ia berpijak. Tak lama kemudian, Bunda Emira kembali dengan selembar handuk lebar. “Bik Na!” seru Bunda Emira.
“Iya, Nyonya.” Bik Na tergopoh-gopoh datang.
“Bawa lap pel ke sini.”
“Iya, Nyonya.”
Bunda Emira kembali mendekati Nada, kemudian mulai mengeringkan wajah, rambut, serta beberapa bagian tubuh Nada yang masih basah. Wajahnya khawatir, namun ia tahu apa yang harus segera di utamakan.
“Kenapa hujan-hujan, hmm?” Setelah selesai, Bunda Emira membantu melepas tas Nada yang basah, “Bagaimana kalau sakit? Lihat, buku dan tas kamu juga basah.”
“Maaf, Bund,” gumam Nada.
“Jangan minta maaf sama Bunda, minta maaf ke diri kamu sendiri. Kalau sakit, kan badan kamu yang merasakannya.”
“Mana yang harus dipel, Nyonya?”
“Ini.” Bunda Emira menunjuk kedua sepatu Nada yang ikut basah.
“Waduh, Non. Basah semua begini, ayo lepas sepatunya, nanti Bik Na yang cuci.”
“Tapi, Bik?”
“Sudah, nggak pakai tapi,” seloroh Bik Na.
Nada jadi merasa bersalah, karena semua orang jadi mengkhawatirkannya. Padahal ia hanya kehujanan sedikit, dan yakin tak akan membuatnya sakit.
Belum selesai kehebohan di depan pintu, tak lama kemudian mobil Kenzo masuk melewati gerbang rumah. “Nah, kakinya sudah kering, sekarang langsung mandi air hangat.” Bunda Emira memastikan.
“Iya, Bunda, terima kasih. Bik Na, terima kasih, ya, Aku ke atas dulu.”
“Iya, Non. Nanti Bibik buatin yang anget-anget, biar gak masuk angin.” Nada mengangguk, kemudian melanjutkan langkahnya.
“Nada kenapa, Bund?” Kenzo melipat payungnya yang basah.
“Kehujanan.”
“Lho, katanya naik taksi? Kalau tahu bakal kehujanan juga, mending aku jemput.”
“Bunda belum tanya lagi, memang kamu gak bisa jemput, kenapa?”
“Tadi di ruang operasi, Bund. Padahal operasi sudah hampir selesai, tapi dia telepon, dan bilang mau pulang naik taksi.” Kenzo melihat tubuh istrinya sudah menghilang di balik pintu kamar.
“Ya, sudah, susul istrimu sana, jangan dimarahi!” Bunda Emira mewanti-wanti.
“Nggak, Bund. Khawatir amat, aku nggak jahat loh.” Kenzo mencebik.
“Ya memang tidak jahat, tapi wajahmu terlalu datar, dia pasti mengira kamu marah, awas kalau sampai dia sawan.”
“Ih, Bunda, mana ada wajah ganteng begini jadi penyebab sawan?” Kenzo ngedumel.
Bunda Emira terkekeh, “Bunda cuma kasihan sama istrimu, Nak. Wajahnya pucat gitu, pasti ada alasan kenapa dia sampai hujan-hujan.”
“Aku mengerti, Bund.”
“Ya sudah, kamu juga harus mandi dan bersih-bersih. Setelah itu ajak Nada turun untuk makan malam,” pesan Bunda Emira.
“Iya, Bund.”
Kenz berjalan menuju kamarnya di lantai atas, ia melihat ke sekitar kamar, namun tak ada tanda-tanda keberadaan istrinya. “Nada.”
“Di sini, Mas.” Suara Nada terdengar dari balkon kamar, Kenzo pun menyusulnya.
“Ngapain di sini?”
“Ini ngeluarin buku-buku.” Nada membetulkan letak handuk yang melorot dari pundaknya, karena kedua tangannya sibuk mengeluarkan isi tasnya. “Untungnya tidak basah, cuma tasnya saja yang ba— sah—”
Nada tak melanjutkan kalimatnya, karena melihat wajah suaminya yang mendadak angker. “Masuk! Mandi dulu!” kata Kenzo tegas, ia tak ingin istrinya sakit. Sayangnya Nada mengira suaminya kembali marah padanya.
“Iya, Mas.” Nada menurut, ah biarlah, daripada marahnya sang suami terus berlanjut.
Setelah memastikan istrinya masuk ke kamar mandi, Kenzo kembali melanjutkan apa yang tadi Nada lakukan, yakni mengeluarkan barang-barang dari tas.
Pria itu dengan telaten menyusun satu persatu barang-barang istrinya di atas meja, tak ada yang aneh dengan isi tas Nada, benar-benar hanya berisi buku dan perlengkapan kuliah.
Kenzo cukup lega, benar kata Ayah Juna Nada masih polos, tapi istrinya cukup pintar untuk menyerap pelajaran. Maka tak ada salahnya menerapkan apa yang sudah dinasehatkan Ayah Juna.
•••
Selesai makan malam, mereka kembali ke kamar.
Hatchi!
Nada mulai bersin ketika Kenz menutup dan mengunci pintu di belakangnya. “Kamu sakit?” Kenz mencoba meraba kening Nada.
“Nggak, Mas. Cuma hidung sedikit gatal.” Nada menepis tangan suaminya, tak ingin pria itu khawatir.
“Bisa diam, tidak?” Kenz kembali melanjutkan merasakan kening Nada yang terasa hangat, memang tidak demam.
“Syukurlah, tidak panas.”
“Sudah ku bilang tak ap—”
Hatchi!
“Tuh, kualat namanya, kalau dibilangin suami sukanya ngeyel,” cetus Kenzo
“Ya punya mulut buat apaan coba, kalo nggak makan, ya ngeyel. Iya, kan?? Dari pada diam, pakai bahasa isyarat, kayak orang bisu, tahu-tahu zonk, mubazir amat dikasih mulut sama Tuhan, tapi bisanya cuma melotot kayak orang bisu.”
Skakmat! Kenzo tak bisa menjawab, Nada sedang menyindirnya dengan telak.
“Kamu—”
“Kenapa? Cerewet? Sudah biasa, memang aku cerewet, Mas harus terbiasa, kalau mau marah, ya marah saja. Aku nggak papa kok, daripada diam malah membuat aku makin frustasi, gak ngerti maunya kamu ap—”
Kenzo terlalu pusing mendengar ocehan istrinya, hingga tak menunggu lama di tariknya tubuh mungil yang memiliki bibir ekstra pedas. Bukan lagi pengalaman pertama, jadi rasanya sudah seperti orang kecanduan narkotika tapi tidak terlarang.
“Dasar cerewet, lain kali kalau mengomel lagi, aku akan langsung menyumpal bibirmu.”
“Boleh, Mas. Sering-sering, ya?” seringai Nada.
“Eh, nantangin?”
“Setidaknya, daripada melihatmu cemberut, itu menyeramkan.” Kenzo terkekeh, entah mengapa amarahnya kemarin, tiba-tiba hilang setelah mendengar ocehan istrinya.
“Maaf, ya. Karena kemarin mendiamkanmu.”
Nada sedikit mengambil jarak, “Jangan diam-diaman lagi, aku gak suka suasana sepi.”
“Kalau suasana panas?”
“Eh, panas apa maksudnya?!” Pekik Nada karena tiba-tiba Kenz menggendongnya ke tempat tidur.
hmmm siapa kah lelaki yang nabrak pagar? apakah orang suruhan Kanaka itu??
next Thor..