NovelToon NovelToon
49 Days

49 Days

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / Angst / Penyeberangan Dunia Lain / Hantu
Popularitas:8.8k
Nilai: 5
Nama Author: nowitsrain

Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Dan di antaranya, ada Si Tampan yang selalu tampak tidak bahagia.

Suatu hari, Suri mencoba mengajak Si Tampan bicara. Tanpa tahu bahwa keputusannya itu akan menyeretnya dalam sebuah misi berbahaya. Waktunya hanya 49 hari untuk menyelesaikan misi. Jika gagal, Suri harus siap menghadapi konsekuensi.

Apakah Suri akan berhasil membantu Si Tampan... atau mereka keburu kehabisan waktu sebelum mencapai titik terang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dinner

Guncangan hebat terasa sesaat sebelum tubuh Suri terpental ke udara. Hanya untuk terhempas kembali ke tanah setelah melayang selama sepersekian detik. Bunyi debam mengudara, memecahkan keheningan malam yang mencekam.

Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya. Tulang rusuknya seperti dipatahkan secara bersamaan. Kaki kirinya bengkok, nyeri menusuk sampai ke tulang belakang.

Tatapan Suri mengabur, namun ia masih bisa menangkap dengan jelas gerakan roda-roda mobil berkelok sebelum melaju meninggalkan tubuh sekaratnya. Suara decit rem dan deru mesin beradu—dalam sekejap hilang ditelan kesunyian.

Suri ditinggalkan sendirian, dengan sekujur tubuh remuk redam. Darah merembes dari kepala, menyebar cepat, bercampur debu-debu halus yang tertinggal di aspal. Rasa besi berkarat menyebar cepat memenuhi rongga mulutnya. Ia tersedak, lalu terbatuk lemah—yang setiap kali terjadi, membuat Suri merasakan kesakitan luar biasa.

Dingin mulai merayap dari ujung jemari kakinya. Suri ingin berteriak meminta pertolongan, tetapi suaranya hanya tertahan di tenggorokan.

Mati-matian Suri mencoba mengangkat tangannya ke udara, berusaha tetap sadar. Namun semua usaha itu berakhir sia-sia. Kesadaran Suri habis tanpa seorang pun tahu ia sedang sekarat.

“Suri … bangun…”

“Hei, bangunlah…”

“Suri, kau harus segera bangun.”

“Suri…”

“HAH!” Suri terengah-engah. Tubuhnya tersentak kuat, bagai ada sepasang tangan besar yang menarik paksa, membawanya bangun dari mimpi buruk sekaligus membantunya duduk tegak di atas kasur.

Suri meraba-raba tubuhnya berkali-kali, terutama bagian kepala. Ia hendak memastikan apakah luka dari mimpi barusan juga muncul di dunia nyata. Namun ternyata ketakutannya tidak terbukti. Tubuh Suri baik-baik saja. Tidak ada luka di sana, selain luka-luka gores dari mimpi sebelumnya.

Untuk sesaat, Suri bisa menghela napas lega. Bahu tegangnya perlahan mengendur. Kepalanya yang berat juga perlahan mulai terasa ringan. Alur napasnya berangsur beraturan, begitu pula dengan detak jantungnya.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Ketika tatapan Suri menangkap keberadaan selimut yang membungkus tubuhnya, ia kembali gusar.

Perlahan, Suri menyingkap selimut biru tua itu, untuk menemukan kakinya sudah telanjang. Kaos kaki dan sepatu yang dia kenakan sambil tidur, sudah tanggal. Dia mengedarkan pandangan, lantas menemukan dua benda itu sudah berjajar rapi di rak sepatu dekat kamar mandi.

Tidak hanya sepasang sepatunya, seisi kamar Suri pun sudah tertata dengan baik. Handuk berjajar di rak jemuran, buku-buku di meja belajar tersusun sesuai golongan, baju-baju kotor yang sempat Suri tinggalkan begitu saja di lantai depan kamar mandi pun kini sudah masuk ke dalam keranjang cucian.

“Dia benar-benar mengerjakan semuanya?” gumam Suri. Bingung harus mengedepankan rasa bangga atau sungkan karena sempat kesal pada Dean sebelumnya.

Suri menurunkan kakinya dari kasur. Lantai yang dingin membuat tubuhnya bergetar samar, namun kakinya tetap mampu berpijak mantap. Langkahnya terayun lurus ke kamar mandi. Biasanya Suri tidak mandi setelah matahari tenggelam, tetapi kondisi tubuhnya kini lengket bekas keringat, jadi mau tidak mau dia harus membasuh tubuhnya agar kembali nyaman.

Tak lama waktu yang Suri habiskan di kamar mandi. Usai mandi cepat, dia sudah keluar lagi dengan handuk membalut tubuhnya dari dada sampai sebatas paha. Handuk kecil melilit kepalanya, membungkus rambut yang basah habis keramas.

Ketika Suri membuka pintu lemari, gerakannya terhenti karena sebuah pikiran tiba-tiba melintas secepat kilatan cahaya. Tubuh Suri tersentak, berbalik cepat. Tatapannya menghunus ke arah pintu. Alisnya saling bertaut.

“Ey … tidak mungkin, kan? Dean bukan hantu mata keranjang.” Dia bergumam, menepis pikiran konyolnya sendiri.

Sehabis menggelengkan kepala keras-keras, Suri lanjut menarik baju dari dalam lemari, kemudian gegas mengenakannya. Handuk bekas melilit tubuh ia kembalikan ke jemuran, sementara yang di kepala dia biarkan tetap melilit di sana.

Tadinya, Suri ingin kembali rebahan. Sudah malam juga, mau berbuat apa? Walaupun besok libur sekolah, dia tidak punya keinginan untuk bergadang. Namun, ketika bokongnya baru saja hendak mendarat di kasur, perutnya tiba-tiba berbunyi, suaranya begitu nyaring.

Akhirnya Suri tidak jadi menjamah kasur. Dia menyeret langkahnya keluar kamar. Tidak begitu ingat apa yang masih ada di dapur, tapi sepertinya masih ada stok telur dan sosi. Suri akan memasak itu saja. tidak usah pakai nasi. Hitung-hitung diet karbo.

Suri menuruni tangga perlahan. Membayangkan telur mata sapi dan sosis sapi frozen yang dimasak matang sempurna sudah berhasil membuat air liur memenuhi rongga mulutnya, meningkatkan rasa laparnya berkali-kali lipat.

“Oh,” Suri menghentikan langkahnya di ujung tangga. Punggung Dean menyapa indera penglihatannya. Hantu tampan itu tampak sibuk melakukan sesuatu di… depan kompor?

Sedang apa dia?

Kalimat itu bahkan belum sempat keluar dari mulut Suri ketika Dean tahu-tahu berbalik. Saat Suri berpikir akan disambut wajah datar, kenyataannya Dean malah menyuguhkan senyum hangat.

“Sudah bangun?” sapa pria itu ramah. “Lapar tidak? Aku masak telur mata sapi dan sosis.”

Suri melanjutkan langkahnya, memangkas jarak sampai tiba di hadapan Dean. Kepalanya meneleng, mengintip ke arah teflon anti-lengket di atas wajan. Telur mata sapi dan sosi yang Dean bilang masih ada di sana, belum dipindahkan ke atas piring. Tetapi yang membuat Suri heran adalah penampakan mereka yang sama persis dengan keinginan Suri. Benar-benar seleranya.

“Kau,” Suri menatap Dean dengan sorot mata menyelidik. “Kau bisa membaca pikiranku, ya?” tuduhnya.

Dean mengernyit bingung. Dalam sudut pandangnya, effort yang dikeluarkan untuk menyiapkan makan malam tidak seharusnya disambut dengan kecurigaan seperti itu. Bukankah Dean pantas mendapatkan apresiasi? Tidak perlu memuji, setidaknya ucapan terima kasih saja sudah cukup.

“Omong kosong apa itu?” balas Dean. “Bagaimana hantu sepertiku bisa membaca pikiran? Terlebih dirimu, yang rumit dan sulit dipahami?”

“Mengaku saja,” desak Suri. Kecurigaannya tidak bisa dilenyapkan begitu saja, terlebih setelah mengalami serangkaian keanehan setelah setuju membantu Dean. “Tidak mungkin kau bisa memasak sesuatu yang pas sekali dengan apa yang aku pikirkan? Kau kira aku akan percaya ketika kau bilang ini hanyalah sebuah kebetulan?”

“Tidak.” Dean menjawab tegas. Dia berbalik sebentar untuk memindahkan masakannya ke atas piring. Kemudian saat dia mengulurkan piring itu pada Suri, ia melanjutkan, “Jika aku bisa membaca pikiranmu, kita tidak akan berselisih paham untuk hal apa pun.”

Suri tidak merespons, tidak pula menyambut piring yang Dean ulurkan. Akhirnya keheningan menyambar di tengah-tengah wajah yang saling berhadapan. Tertawa pongah seakan-akan bisa menang. Sampai akhirnya suara perur Suri meledak di udara, menyelamatkan keadaan.

Tatapan Dean turun sebentar, namun alih-alih menertawakan, dia malah meraih tangan Suri lembut dan membantu gadis itu menerima makanan yang ia buat.

“Aku tidak bisa membaca pikiranmu,” kata Dean, kali ini sambil menuntun Suri duduk. Sang gadis menurut, meski raut wajahnya masih dihias keraguan. “Jangan memikirkan yang tidak perlu, nanti kau lelah sendiri. Sekarang makanlah. Aku akan meninggalkanmu sendiri. Jika butuh apa pun, panggil saja namaku, aku akan datang.”

Dean berbalik, sudah hampir melangkah, ketika Suri menahannya dengan sebuah permintaan.

“Di sini saja, temani aku makan.”

Bersambung.....

1
Zenun
Suri itu kekasih Dean, tapi lupa. Atau Suri ketempelan kekasih Dean
Zenun
Kasihan Dean gak tidur nanti😁
Zenun
Lah, berati yang dtemui Suri adalah milk
Zenun
apa ya kira-kira?
Zenun
Oh begindang, jadi kalu tidak boleh cuti lagi ya, Suri😁
Zenun
Suri mau ape nih?
Zenun
Nah itu dia yang ada dalam benaku
Zenun
mungkin itu petunjuk
Zenun
nama authornya Nowitsrain
Haechi
sukak kombinasi suri dean
Zenun
Dean, sesungguhnya kamu tahu apa? Coba ceritakan padaku? 😁
nowitsrain: Tau banyakkkk
total 1 replies
Zenun
Oh ternyata Gumaman Suri.. Jangan-jangan separuh yang masuk ke suri itu kekasihnya Dean
Zenun
Masa sih, ini ngomong Dean? Dean tahu darimana
nowitsrain: Dean itu...
total 1 replies
Zenun
Sekalian temenin mandi juga😁
Zenun: boleeee
total 2 replies
Zenun
Kalau tidurmu gak nyaman, Dean jadi gak nyaman
nowitsrain: Tetotttt. Kalau tidurnya nggak nyaman, nanti tantrum. Kalau tantrum, Dean pucing
total 1 replies
Zenun
Mungkin ini perbuatan kekasih Dean
nowitsrain: Hmmmm
total 1 replies
Zenun
kayanya ketiga hantu itu lagi ada misi juga dah
Zenun
Jangan diangkat Dean, biarkan dia posisinya begitu😄
Zenun
wah, jan baper, bahayul😄
Zenun
harusnya inisiatif kasih tahu duluan bang😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!