Mereka melihatnya sebagai Upik Abu. Mereka salah besar. Regina adalah CEO muda yang menyimpan rahasia besar. Di rumah mertua, ia menghadapi musuh yang tak terlihat dan cinta yang diuji. Mampukah ia mengungkap kebenaran sebelum terlambat? Ataukan ia akan kehilangan segalanya? Kisah tentang cinta, keluarga, dan rahasia yang bisa mengubah takdir seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Upik Abu Eps 9
"Assalamualaikum," teriak seorang pria dari depan rumah. Regina, yang tengah membersihkan halaman belakang bersama sang mertua, saling pandang. "Siapa ya, pagi-pagi begini?" tanya sang ibu mertua.
"Ayo dilihat saja, Buk," ajak Regina. Mereka berdua bergandengan menuju ke dalam rumah. Bu Sundari mengenali sosok pria yang tengah berdiri di ambang pintu. "Ngapain, Ji?" tanya Bu Sundari pada Narji, adik iparnya.
"Sudah ada belum? Aku butuh," ucap Narji to the point, seperti rentenir yang menagih hutang. Regina mengerutkan keningnya, ia seperti pernah melihat pria ini, tapi di mana?
"Belum ada, Bima masih carikan. Tolong kasih waktu lagi," ucap Bu Sundari memelas.
"Ck..." Narji berdecak, lalu pergi dari rumah milik kakak iparnya itu, meninggalkan kesan tidak menyenangkan seperti bau busuk yang tertinggal.
"Siapa, Buk?" tanya Regina penasaran.
"Adiknya almarhum bapak mertuamu," ucap Bu Sundari tanpa ingin bercerita tentang apa yang terjadi.
"Ibuk nggak mau cerita sama aku?" tanya Regina.
Bu Sundari menghela napas kasar, "Ibuk punya hutang sama kedua adik ipar Ibuk, untuk biaya berobat suami Ibuk dulu, tapi Ibuk belum bisa bayar sampai menumpuk dan bertambah banyak," ucap Bu Sundari.
"Itu adik apa lintah darat, Buk? Nyekek banget," ucap Regina.
"Ya namanya orang nggak punya, Nduk. Di sini, kalau orang nggak punya mau pinjam uang, harus setuju sama perjanjiannya, setiap bulan akan bertambah kalau tidak dicicil," jelas Bu Sundari.
"Kok ngalahin bunganya bank?" ucap Regina.
"Orang luar mana paham," ucap Mira yang baru saja bangun tidur, masih dengan wajah bantalnya, tapi sudah membuka tudung saji mencari makanan. "Ibuk nggak masak?" tanyanya.
"Nggak, kamu nggak puasa?" tanya Bu Sundari pada Mira.
"Lagi dapet, Buk, masakin mi goreng dong," ucap Mira memerintah mertuanya.
"Masak sendiri, punya tangan kok. Ibuk puasa, jangan suruh-suruh Ibuk," ucap Regina, yang langsung menggandeng tangan mertuanya ke halaman belakang, menjauh dari aura negatif Mira.
"Jalan, yuk, Buk," ajak Regina pada mertuanya.
"Jalan ke mana? Ibuk nggak kuat jalan kaki lama," ucap Bu Sundari. Regina tertawa.
"Udah, yuk, Ibuk mandi, siap-siap, nanti kita jalan," Bu Sundari hanya mengangguk, mengikuti ucapan menantunya. Regina mengetikkan sesuatu di papan pesan yang akan ditujukan pada Bima, "Ya, hati-hati," balasan pesan dari Bima.
Sebelumnya, Regina sudah memesan Maxim. Untung saja mobil Maxim bisa berhenti di depan rumah mertuanya, karena jalan depan gang menuju ke rumah mertuanya sudah dicor.
Tin...
Suara klakson mobil yang dipesan oleh Regina mengusik tidur Mira. Ia pun keluar dari kamar, melihat siapa yang datang.
Baru saja Mira sampai di ambang pintu, Regina dan mertuanya menyusul keluar. "Heh.... katrok, lihat mobil jenis Xenia aja heboh," ucap Mira.
Regina hanya melirik. Bu Sundari sudah di depan pintu mobil, sang sopir membukakan pintu mobil untuk Bu Sundari. "Heh Ibuk, jangan sembarangan, nanti dimarahin orang," ucap Mira, yang langsung menarik tangan mertuanya dengan kasar hingga terhuyung, seperti boneka yang ditarik paksa.
"Apaan sih nih orang," ucap Regina pada Mira. Ia segera menuntun mertuanya masuk ke dalam mobil. "Heh, dibilangin ngeyel, nanti kalau yang punya marah baru tahu rasa," ucap Mira belagu.
Sampai Regina menutup pintu mobil dan perlahan mobil itu berjalan, tidak ada yang memarahi keduanya. Regina membuka kaca mobil dan memamerkan jari tengahnya pada Mira dengan tersenyum miring, seperti iblis yang puas dengan kenakalannya.
Mira kesal, ia menghentakkan kakinya dengan keras dan masuk ke dalam kamar setelah membanting pintu depan, melepaskan amarahnya pada benda mati.
Di dalam mobil, Bu Sundari memegang erat tangan Regina, seolah takut akan sesuatu. "Ibuk santai aja, jangan takut, nggak akan ada yang marahin kita kok," ucap Regina menenangkan mertuanya.
Setibanya di toko pakaian, Regina menggandeng ibu mertuanya, matanya berbinar menelisik setiap sudut, mencari pakaian yang pas. Regina ingin membelikan set alat salat untuk sang mertua, karena ia melihat mukena yang sudah menguning dan sajadah yang tampak tipis dan usang.
"Permisi, mau cari set mukena dan sajadah," ucap Regina pada pemilik toko yang sedang melayani pembeli lain.
Pemilik toko menatap penampilan Regina dari atas hingga ke bawah. Hijab yang meleyot, kaus hitam lengan panjang, dan celana Levis kebesaran yang sobek di bagian lututnya membuat pemilik toko ragu, prasangka buruk mulai menari-nari di benaknya.
"Heh, Mbak, layani saya dulu, mereka belum tentu bisa beli," ucap Sandra, ya, pembeli lain yang dimaksud ialah Sandra, suaranya sinis bagai desisan ular.
Pemilik toko kembali mendatangi Sandra, senyumnya kembali merekah. "Yang ini tujuh puluh, yang ini seratus, yang ini seratus delapan puluh," ucap pemilik toko menerangkan harga mukena di tokonya.
"Yang ini nggak dikurangi?" ucap Sandra menunjuk mukena dengan harga seratus delapan puluh ribu.
"Nggak bisa, sudah pas. Kainnya bagus, nggak tipis juga nggak panas, juga lembut," jelas sang pemilik toko.
"Buk, mau lihat yang itu," ucap Regina menunjuk mukena di tangan Sandra. Dengan cepat, pemilik toko mengambil mukena tersebut dari tangan Sandra, seolah merebut perhatian dari seorang ratu.
"Heh..." ucap Sandra tak terima, matanya memancarkan ketidaksenangan.
"Ada warna lain nggak, Buk, untuk mertua saya," ucap Regina. Pemilik toko mencarikan warna yang lain, yakni navy dan hitam. Bu Sundari menunjuk warna navy dan langsung dipegang oleh Regina.
"Mau sajadah yang lembut ya, Buk," pinta Regina pada pemilik toko. Pemilik toko langsung mengangguk dan mengeluarkan beberapa sajadah yang bagus kualitasnya, dengan motif yang menenangkan hati.
"Buk, layani saya dulu, saya sering beli, loh," ucap Sandra, suaranya meninggi karena merasa diabaikan.
Pemilik toko tak terusik, hatinya lebih terpikat pada Regina yang menuntun tangan mertuanya menyentuh sajadah, menyesuaikan apa yang diinginkan sang mertua, dengan penuh kasih sayang. "Yang ini berapa, Buk?" tanya Regina.
"Seratus lima puluh, Mbak, bahannya lembut, awet," ucap pemilik toko.
"Bungkus semua ya, Buk," ucap Regina menyodorkan sajadah dan mukena berwarna navy, tanpa menawar harga. Melihat ketulusan hati Regina, pemilik toko memberikan potongan harga untuk Regina, sebagai balasan atas kebaikan hatinya.
Setelah membeli beberapa makanan, mereka memutuskan untuk pulang, membawa serta kebahagiaan sederhana. Sesampainya di rumah, Regina melewati Mira yang tengah duduk di kursi ruang tamu, asyik dengan ponselnya, terlarut dalam dunia maya.
Regina meletakkan bawaannya di meja makan, suaranya menimbulkan sedikit keributan. Rupanya, Mira mengikutinya hingga ke dapur, seperti bayangan yang selalu mengejar. Ia membuka salah satu bungkusan yang ada di meja, matanya berbinar penuh minat.
Melihat kelakuan Mira, Regina langsung merampas kantung kresek yang berada di tangan Mira, secepat kilat. Kemudian, ia mengambil semua barang yang ada di meja dan memasukkannya ke dalam lemari, mengamankannya dari jangkauan Mira. Lalu, ia meninggalkan Mira yang mengomelinya di meja makan, suaranya bagai petir yang menyambar.
Bukan Upik Abu
Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar like mu semangat ku ❤️