Elma merasa, dirinya bukan lagi wanita baik, sejak sang suami menceraikannya.
Tidur dengan pria yang bukan suaminya, membuat Elma mengandung benih dari atasannya yang seorang playboy, Sean Andreas. Namun, Sean menolak bertanggung jawab dengan alasan mereka melakukannya atas dasar suka sama suka.
Beberapa bulan kemudian Elma melahirkan bayi perempuan dengan kelainan jantung, bayi tersebut hanya bisa bertahan hingga berusia satu tahun.
Disaat Elma menangisi bayi malangnya, Sean justru menyambut kehadiran seorang bayi dari rahim istrinya, sayangnya istri Sean tak bisa bertahan.
Duka karena kehilangan anak, membuat Elma menjadi wanita pendendam. Jika ia menangisi anak yang tak pernah diinginkan papanya, maka Sean juga harus menangisi anak yang baru saja dilahirkan istrinya.
Apa yang akan Elma lakukan pada anak Sean?
Tegakah Elma menyakiti bayi malang yang baru saja kehilangan Ibunya?
Bagaimanakah hubungan Elma dan Sean selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesepakatan Menguntungkan
#9
“Assalamualaikum,” ucap Elma ketika membuka pintu rumahnya.
Rumahnya sepi, karena Suster Nia sedang izin pulang, dan besok lusa baru kembali untuk mengemasi barang-barangnya. Elma sendiri belum tahu, apakah akan tetap bertahan di rumah ini, atau pulang ke rumah Bu Kartika.
Elma menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa, niat hati pergi ke supermarket ingin sesekali menyenangkan dirinya sendiri, dengan membeli apa saja yang ia inginkan, sekaligus sebagai obat kesedihan.
Tapi di supermarket ia justru melihat mantan suaminya sedang bersama keluarga barunya, terlihat sangat harmonis, membuat Elma merasa semakin tenggelam dalam kesendiriannya.
Karena terlalu lelah, tanpa sadar Elma terlelap begitu saja di sofa. Baru terbangun setelah mendengar suara ketukan di pintu depan rumahnya.
Elma melirik jam di dinding ruangan. “Siapa bertamu jam segini?” gumam Elma, sambil melemaskan otot-otot tubuhnya.
“Sebentar!” teriak Elma, ketika menyalakan lampu utama sebagai pengganti lampu malam.
Setelah merapikan rambut, Elma mengintip dari balik horden, memang benar ada tamu, “Mau apa dia bertamu dini hari begini?”
Sean menoleh, setelah mendengar suara anak kunci di putar. Pandangan mereka bertemu dan menyiratkan banyak makna, tapi saat ini, yang nampak hanyalah rasa saling curiga berbalut kebencian.
Elma hanya diam dan melipat kedua tangannya di dada, sama sekali tak berniat untuk bertanya ini itu, biarlah Sean sendiri yang menyampaikan maksud kedatangannya.
“Beginikah caramu menyambut tamu?” tanya Sean dingin.
Elma tersenyum sinis, “Manusia brengsek sepertimu, tak layak di sebut tamu.”
“Lalu wanita bersuami yang menyerahkan tubuhnya, diberi julukan apa?” balas Sean sengit.
Otot-otot wajah Elma bergetar, kedua tangannya otomatis ikut terkepal karena emosinya kembali terpancing. Melihat Sean membuat Elma mengingat dosa masa lalunya, ditambah kalimat penghinaan dari pria itu.
Jika tak ingat akan adanya Tuhan yang maha segala-galanya, Elma rasanya ingin mengutuk masa lalunya sendiri, karena dosa masa lalu kelam yang kerap membayangi mimpi malamnya.
“Tak perlu masuk, duduk saja di teras.” Elma menunjuk dua buah kursi yang dipisahkan meja mungil.
Sean tak punya pilihan selain duduk di salah satu kursi tersebut, kedua mantan selingkuhan tersebut duduk diam mematung. Hingga beberapa saat kemudian barulah Sean memulai percakapan.
“Jadi, dimana anak itu?” tanya Sean. Pria itu sudah berpikir, Elma pasti menitipkan anaknya di rumah orang tuanya. Sementara Elma bekerja untuk membiayai kehidupan mereka.
Sayangnya Sean buru-buru datang tanpa menyelidiki lebih lanjut tentang kehidupan Elma setelah mereka berhenti menjadi pasangan selingkuh.
Karena itulah Elma balik bertanya dengan heran. “Anak yang mana?”
“Anak yang dulu tak ingin kamu singkirkan.”
Elma memberikan tatapan tajam ke arah Sean. “Untuk apa kamu bertanya.”
“Untuk mengajukan kesepakatan.”
“Cih!” Elma tersenyum sinis.
“Kenapa tersenyum seperti itu?” tanya Sean heran.
Elma semakin marah, namun ia hanya bisa menunjukkan kekesalan hatinya tersebut dengan senyum pahit. “Dulu menolak mengakui, bahkan menoleh pun kamu tak sudi, sekarang datang bertanya dimana dia, dengan niat membuat kesepakatan. Pulanglah!” usir Elma.
“Aku jamin kesepakatan ini menguntungkanmu,” bujuk Sean yang masih enggan mengatakan niat sebenarnya.
“Aku tak butuh kesepakatan apapun itu, terutama jika kesepakatan itu darimu.” Elma berdiri hendak kembali masuk kedalam rumah.
“Kenapa kamu begitu angkuh?” Pertanyaan Sean membuat Elma menghentikan langkahnya.
Elma kembali berbalik, ternyata Sean sudah berdiri tepat di belakangnya. “Aku rasa kita sama-sama paham, siapa disini yang bersikap paling angkuh.” Elma menusukkan jari telunjuknya ke dada Sean. “Kamu!”
“Tapi jangan lupa, kamu yang menggodaku lebih dulu!” Sean masih tak terima.
“Iya, aku tahu, aku sadar, aku salah. Tapi aku bertanggung jawab sampai akhir, bukan lari di tengah jalan seperti pecundang sepertimu!” ucap Elma tegas tapi dengan intonasi pelan, karena tak mau mengganggu para tetangga.
“Baik, aku akan bertanggung jawab atas anak itu, aku akan membiayainya hingga dewasa, tapi—”
“Tapi apa, hah?!” sela Elma.
“Berikan ASI-mu untuk anakku juga.”
Elma tertawa keras, bahkan kedua matanya jadi berair karenanya. “Jadi— hanya karena itu kamu bertanya dimana anak itu?” Elma mengusap bulir air matanya tanpa sadar.
“Aku tak mau!” sambung Elma.
“Kenapa? Berapapun bayaran yang kamu minta, akan kuberikan,” ucapan Sean, sorot matanya penuh kesungguhan, dan Elma tak pernah mendapati sorot mata itu dulu, ketika mereka masih bersama dalam gelimang dosa.
Ada apa dengan pria ini? Apakah ia akhirnya bertemu dengan cinta sejatinya, hingga membuatnya rela melakukan apa saja? Kalau iya, itu benar-benar hal yang luar biasa.
“Aku tak butuh bayaran, jika hanya membuat anakku mengalah.”
“Anakmu tak perlu mengalah,” bujuk Sean.
“Tapi Eve harus berbagi? Aku tak mau.”
“Oh, Shit!” Sean menjambak rambutnya sendiri, ia frustasi, nyaris putus asa karena nyawa putranya sedang berada di ujung tanduk.
“Elma, tolonglah.” Sean kembali memelas, wajahnya yang totally mengenaskan itu membuat Elma bahagia, pastilah Sean sangat menyayangi anaknya tersebut.
Ingin rasanya Elma terus menyiksa pria di hadapannya karena ia masih sakit hati dengan perkataan Sean di masa lalu. “Apa yang membuatmu rela memohon seperti ini?”
“Haruskah kamu bertanya apa alasannya?”
Elma berbalik sambil berkata, “Terserah saja kalau tak mau cerita.”
“Tunggu!” Sean mencekal lengan Elma. “Anakku di rumah sakit karena dehidrasi,” ungkap Sean dengan wajah menunduk sedih.
“Apakah orang kaya sepertimu, tak mampu mencari pendonor ASI?” sindir Elma.
“Andai bisa semudah itu. Sayangnya Rey tak mau minum ASI yang kusiapkan di rumah, padahal hari sebelum dia minum ASI darimu, ia masih mau menerima ASI yang ada di ruang neonatus.” Sean tak punya pilihan selain berterus terang.
“Berapa banyak yang kamu butuhkan?” tanya Elma.
“Berapa yang kamu punya?”
“Berapa uang yang bisa kamu berikan?”
Mereka terus saling melempar pertanyaan. “Sebanyak yang kamu butuhkan.”
“Beri aku 200 juta,” ucap Elma tanpa berpikir.
“Kirimkan nomor rekeningmu.” Sean mengeluarkan ponselnya, uang sungguh bukan masalah baginya, asalkan putra berharganya bisa diselamatkan.
Elma menyebutkan deretan angka rekening bank miliknya. Tak lama kemudian—
Ting!
Notifikasi pesan masuk ke ponsel Elma, wanita itu masuk dan menyambar ponsel yang tergeletak diatas meja. Bibirnya tersenyum tipis, kemudian ia masuk ke dapur, tempat freezer yang selama ini ia pakai untuk menyimpan cadangan ASI untuk Eve.
Berat sekali rasanya mengeluarkan tumpukan plastik food grade tempat menyimpan cadangan ASI. Bukan berat memberikan ASI, tapi berat karena ada banyak kenangan yang tertinggal di sana.
Brug!
Elma meletakkan tas berukuran 30cm x 30cm yang penuh berisi ASI. “Apa masih ada lagi? Aku membayar begitu mahal, kenapa hanya segini yang kamu berikan.”
“200 juta, jika kamu menginginkan jumlah ASI yang sama.” Elma kembali mengajukan harga. “Terlalu murah untuk orang kaya sepertimu, kan?”
Dengan rasa geram yang tak bisa ditahan, Sean kembali mentransfer sejumlah rupiah yang Elma minta.
“Besok kembalilah lagi. Aku tak punya lagi tas yang layak untuk memindahkan ASI.”
“Gunakan tas apa saja,” desak Sean.
“Kamu sudah siap menerima resiko, jika ASI rusak, dan tak bisa diminum?”
“Tidakkah kamu terlalu kejam membuat kesepakatan semacam ini?” desis Sean.
“Buat apa membuat kesepakatan, bila tak menguntungkan?” Elma tersenyum puas.
kerren
semangat terus nulisnya yaaa 😍