Sudah 12 tahun sejak Chesna Castella Abram tidak lagi pernah bertemu dengan teman dekatnya saat SMA, Gideon Sanggana. Kala itu, Gideon harus meninggalkan tanah air untuk melakukan pengobatan di luar negeri karena kecelakaan yang menimpanya membuat ia kehilangan penglihatan dan kakinya lumpuh, membuatnya merasa malu bertemu semua orang, terutama Chesna. Di tahun ke 12, saat ia kini berusia 27 tahun, Gideon kembali ke tanah air, meski kakinya belum pulih sepenuhnya tapi penglihatannya telah kembali. Di sisi lain, Alan saudara kembar Chesna - pun memiliki luka sekaligus hasrat mengandung amarah tak terbendung terhadap masa lalunya sejak lima tahun silam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Udara pagi itu terasa dingin, bukan karena cuaca, melainkan karena suasana di dalam rumah besar itu yang mendadak muram.
Mama Vera berdiri di depan dinding kaca besar ruang tengah, dengan secangkir teh yang dari tadi tak tersentuh.
Di luar, taman tampak basah oleh embun, tempat di mana kemarin sore ia sempat melihat putranya begitu bahagia untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun. Tapi semua itu kini terasa jauh, seperti kenangan yang direnggut semalam.
Pintu ruang tengah terbuka.
Langkah berat terdengar menuruni tangga perlahan.
Gideon muncul dengan wajah pucat dan kantung mata yang jelas terlihat. Rambutnya sedikit berantakan, kemejanya masih baju kemarin, belum sempat diganti. Ia berjalan tertatih dengan tongkatnya, tapi kali ini langkahnya tak penuh semangat seperti kemarin.
Mama Vera menoleh, menatap anaknya dengan pandangan campuran antara sedih dan marah.
“Gid…” panggilnya pelan. “Kamu nggak tidur semalaman, ya?”
Gideon tidak menjawab. Ia hanya duduk di sofa panjang di depan ibunya, menatap kosong ke arah cangkir teh yang sama-sama belum disentuh.
“Kenapa Nenek bisa tahu soal Chesna?” tanya Mama Vera akhirnya, suaranya tertahan.
Gideon menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab, “Nenek datang tiba-tiba. Dia lihat kami di taman, dan-“
“Dan langsung menghina Chesna di depan kamu?” potong ibunya dengan nada kesal.
Gideon hanya menunduk.
“Mama tahu Nenek keras kepala, tapi kali ini… dia sudah keterlaluan.”
Mama Vera menatap putranya lama, matanya mulai basah.
“Gid, kamu tahu nggak, kemarin Mama lihat kamu tersenyum lagi setelah sekian lama. Waktu kamu di taman bareng Chesna, Mama sempat berpikir, akhirnya Gideon menemukan alasannya untuk pulih sepenuhnya. Tapi sekarang?”
Gideon memijat pelipisnya. “Aku nggak bisa nyalahin Nenek, Ma. Dia cuma takut aku terluka lagi.”
“Luka yang mana?” suara Mama Vera meninggi. “Yang katanya karena cinta masa lalu? Itu justru hal yang membuat kamu kuat sampai hari ini. Mama tahu kamu nggak pernah lupain Chesna sejak pertama kali kamu jatuh cinta.”
Gideon terdiam. Matanya memejam, seolah mencoba menahan sesuatu yang terasa terlalu berat.
“Aku nggak tahu, Ma,” ucapnya lirih. “Aku cuma… nggak ingin dia disakiti karena aku.”
Mama Vera berjalan mendekat, duduk di sebelahnya, dan menggenggam tangan putranya yang besar namun lemah.
“Justru karena itu, kamu harus berdiri untuknya. Jangan biarkan dia pergi dengan membawa kesalahpahaman. Mama nggak mau dua belas tahunmu tanpa Chesna terulang lagi, sayang.”
Ada keheningan panjang di antara mereka. Hingga akhirnya Gideon berkata, “Kalau aku datang ke kliniknya, apa dia masih mau lihat aku?”
Mama Vera tersenyum kecil, menepuk punggung tangan putranya.
“Kalau gadis itu masih seperti dulu, dia nggak akan menutup pintunya. Tapi datanglah bukan sebagai pasien, Gid. Datanglah sebagai seseorang yang nggak mau kehilangan.”
“Tapi Ma, hatinya sedang terluka karna nenek. Dia bilang sedang tidak ingin diganggu. Dia masih mau tenangkan pikirannya.
Sementara itu, di Klinik Castella Medical Center.
Chesna duduk di ruang praktiknya dengan tatapan kosong.
Layar komputer di depannya menampilkan data pasien, tapi pikirannya melayang jauh. Sudah hampir setengah jam ia tak menulis satu pun catatan.
Di meja kerjanya, secangkir kopi sudah dingin, dan tumpukan berkas masih terbuka seperti belum tersentuh sejak pagi.
Lidya, asistennya, masuk pelan-pelan sambil membawa map hasil pemeriksaan pasien. “Dok, ini hasil MRI pasien semalam. Mau saya taruh di sini?”
Chesna mengangguk tanpa menoleh.
Lidya menatap wajah atasannya itu beberapa detik, lalu berkata hati-hati, “Dok, saya dengar kabar… dari rumah Sanggana semalam.”
Chesna menoleh perlahan, “Kabar apa?”
Lidya menelan ludah. “Tentang Neneknya Tuan Gideon. Katanya sempat—”
“Sudah cukup, Lidya,” potong Chesna lembut tapi tegas. “Aku nggak mau dengar gosip itu.”
Lidya mengangguk cepat, menyesal sudah membuka pembicaraan itu. Tapi sebelum ia keluar, Chesna sempat menambahkan, “Lidya, aku nggak marah. Aku cuma… belum siap membicarakan itu.”
Begitu pintu tertutup, Chesna bersandar di kursinya.
Ia menatap jendela besar ruang praktiknya yang menghadap taman kecil. Di sanalah ia biasanya melihat pasien berjalan perlahan setelah terapi.
Ia menghela napas panjang, lalu berbisik, “Aku nggak boleh larut. Aku dokter. Aku harus profesional.”
Tapi begitu kata “profesional” keluar dari bibirnya, matanya mulai berkaca-kaca.
“Bagaimana bisa profesional kalau hati ikut luka…” gumamnya.
Menjelang siang, sebuah mobil hitam berhenti di depan klinik.
Gideon keluar perlahan, dibantu oleh sopir pribadinya. Ia menatap bangunan putih dengan papan bertuliskan Castella Medical Center, tempat yang sudah lama tak ia kunjungi.
Langkahnya sedikit goyah, tapi kali ini bukan karena kondisi kakinya, melainkan karena debar yang belum juga tenang.
Begitu masuk, beberapa staf mengenalnya. Mereka menunduk hormat, sebagian tampak terkejut.
“Tuan Sanggana, selamat datang kembali,” sapa resepsionis ramah.
Gideon hanya mengangguk, lalu berkata singkat, “Aku ingin bertemu Dokter Chesna Abram.”
Resepsionis sempat ragu. “Tapi, Dokter Chesna sedang-”
Lidya yang kebetulan lewat langsung berhenti di tempat. Matanya membesar, “Tuan Gideon?”
Gideon menoleh, mengenali wajah itu, lalu tersenyum sopan.
“Boleh aku bicara sebentar dengan doktermu?”
Lidya tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk.
Ia masuk ke ruangan Chesna, lalu berbisik pelan, “Dok… Tuan Gideon di luar. Dia mau bicara.”
Chesna sontak terdiam. Tangannya yang tadi memegang pulpen berhenti di udara.
Beberapa detik keheningan.
“Baik, suruh dia masuk,” katanya akhirnya, dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Ketika pintu terbuka, keduanya saling menatap dalam diam.
Gideon berdiri di ambang pintu, tegap dengan tongkat di sisi kanannya. Sementara Chesna tetap duduk di balik mejanya, mencoba menjaga jarak antara profesionalitas dan perasaannya sendiri.
Tidak ada sapaan. Tidak ada senyum. Hanya tatapan yang terlalu banyak menyimpan kata.
Gideon mengambil langkah pertama, perlahan menghampiri meja itu.
“Aku datang bukan untuk terapi,” katanya tenang.
“Aku tahu,” jawab Chesna singkat.
Hening lagi.
Gideon menatap lantai sejenak, lalu kembali menatapnya. “Aku dengar Mama sempat ke rumahmu kemarin.”
“Iya,” jawab Chesna. “Beliau baik sekali.”
“Dan kamu tahu tujuannya, kan?”
Chesna tersenyum tipis. “Kalau yang kamu maksud… tentang perjodohan itu, aku tahu. Tapi sepertinya, setelah kejadian kemarin, hal itu mustahil terjadi.”
Gideon menatapnya dalam-dalam. “Kamu yakin?”
Chesna menahan napas.
“Kalau aku bilang aku masih ingin mencoba?” lanjut Gideon lirih.
Chesna menunduk, mencoba menenangkan detak jantungnya yang mendadak cepat. Lalu perlahan ia berkata, “Aku hanya takut kalau perasaan ini akan menyakitimu lagi, Gid. Aku nggak mau jadi alasan kamu terluka.”
Gideon tersenyum lemah. “Kamu selalu jadi alasanku untuk sembuh, Chesna. Bukan luka.”
“Pulanglah, Deon. Mungkin kita terlalu tergesa memutuskan untuk menikah, tanpa berkomunikasi dengan seluruh keluarga.”
“Orang tua kita sudah sangat setuju, Chess.”
“Tapi gimana dengan nenek? Kau menyayangi nenekmu, kan? Aku juga sama. Nenekku sangat marah saat mendengar kabar hubungan kita.”
“Yang menikah kan kita, bukan mereka, Ches.”
“Tapi fakta tidak bisa diubah, kan… nenek benar, aku tidak pantas buat kamu.”
“Kau mau menyerah hanya karena masalah ini?”
Tiba-tiba pintu terbuka.
“Gideon Sanggana, apa yang kau lakukan disini?”
Gideon dan Chesna kompak menoleh. Dari arah pintu, Nenek Mia Abram, muncul tiba-tiba.
___
Bersambung…
bukannya nikmatin hr tua,ehh malah ikut campur urusan cucu2 nya/Left Bah!/
thor lidya biang gosip ya,apa2 selalu aja tau/Facepalm/
thor kapan giliran alan??