Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34
Setelah pertemuannya dengan Nadira kemarin, Bianca terus berpikir dan mengingat semua yang telah ia lalui beberapa bulan terakhir ini. Akhirnya Bianca memantapkan hatinya dan mengambil keputusan yang mungkin akan ia sesali suatu hari nanti. Wanita itu mengambil laptop dan mulai mengetikkan sesuatu di sana, setelah berulang kali membacanya ia segera mencetaknya.
Selesai dengan semua itu, Bianca merapikan semua barangnya, ia mengambil bingkai foto dirinya yang ia letakkan pada rak buku di sudut ruangan dan menyimpannya di dalam tas.
Bianca melangkah keluar ruangan, menghampiri Jean yang sibuk dengan ponselnya.
“Jean, tolong buatkan surat rujukan untuk nama-nama ini, refer semuanya agar bisa ditangani oleh Mba Sonia atau Psikolog lain yang menurutmu cocok.” Perintah Bianca tenang sambil memberikan notes yang tadi ia buat. “Untuk rujukan milik Pak Marvin, infokan padaku jika sudah jadi. Aku yang akan mengantarkannya langsung.” Tambah Bianca lagi.
“Baik, Mba.” Jean menerima notes yang Bianca berikan, matanya sedikit menyipit melihat daftar nama-nama itu, seingatnya itu adalah semua nama klien yang memang sedang ditangani oleh atasannya. “Bukankah ini semua adalah klien yang sedang Mba Bianca tangani?” tanya Jean memperjelas ingatannya.
Bianca mengangguk pasti, tidak ada sedikitpun keraguan dalam anggukkannya. “Aku akan berhenti Jean.” Tutur Bianca lagi, nada suaranya tetap tenang meski hatinya seolah diterpa badai.
“Tapi kenapa, Mba?”
Bianca menggeleng pelan, “tidak ada apa-apa, mungkin sudah waktunya aku mengikuti keinginan papa.” Jean membulatkan matanya, ia yakin keputusan Bianca tidak sesimpel apa yang baru saja wanita itu ucapkan.
“Apa ini ada hubungannya dengan berita mengenai dirimu dan Pak Marvin?” selidik Jean.
Orang yang ditanya hanya tersenyum tipis dan tidak memberikan jawaban apapun. “Mba Bianca sudah yakin dengan keputusan ini?” Bianca kembali mengangguk dengan pasti, dia sudah memikirkannya berulang kali. Mungkin akan menjadi keputusan yang bijak di tengah kondisi saat ini, ia tidak bisa terus menggantung keinginan Bram, ia juga tidak bisa membiarkan orang-orang terus menyerang dan mempertanyakan profesionalitasnya, meski ia tahu keputusannya saat ini akan membuat beberapa orang menganggap berita itu benar, tapi memilih bertahan juga bukan hal yang mudah.
“Aku duluan ya, Jean.” Pamit Bianca akhirnya, tidak ingin melanjutkan pembicaraan apapun dengan asistennya, karena jika ia masih tetap berada disana Jean akan terus mendesaknya. “Sampai akhir minggu ini mungkin akan ada orang yang mengambil barang-barangku. Imbuh Bianca lagi sebelum benar-benar melangkah meninggalkan Jean yang masih terkejut dengan keputusan yang dibuat oleh Bianca.
*
Bianca menutup pintu di belakangnya, mengangguk singkat kearah wanita kepala 5 yang tengah duduk di kursinya.
“Duduklah, Bianca.”pinta Sonia sambil tersenyum lembut namun tegas pada Bianca, wanita yang dipersilahkan untuk dudukpun melangkah dan mendudukkan dirinya di kursi yang disediakan di depan meja Sonia. “Ada apa?”
Bianca meraih sesuatu dalam tasnya, sebuah amplop putih sudah berada didalam pegangannya, dengan perlahan Bianca meletakkannya diatas meja dan mendorongnya kearah Psikolog senior sekaligus pimpinan di gedung itu.
Sonia menyipitkan matanya, berusaha menembus apapun yang ada di dalam amplop itu. “apa ini?” tanyanya sambil membuka amplop putih itu, mengeluarkan dan membaca isi dari surat yang ada di dalamnya.
Selesai membaca semua deret tulisan pada surat yang diberikan Bianca, Sonia membelalakkan matanya, kemudian menatap serius Psikolog muda yang menjadi kesayangan dan kebanggannya itu, menuntut sebuah jawaban yang tak kunjung ia dapatkan.
“Apa kamu sudah benar-benar yakin?”
Bianca menatap dalam senior sekaligus orang yang paling ia hormati itu, kemudian menghela nafas perlahan. “Aku sudah yakin, Mba Sonia. Dari semua pilihan aku rasa ini keputusan yang paling bijak untuk aku lakukan.”
“Apa karena gosip itu, Ca?” pertanyaan yang sama seperti yang dilontarkan oleh Jean tadi.
Bianca menggeleng sambil memberikan senyum tipisnya. “mungkin salah satunya, Mba.”
“kamu bisa merujuk klienmu itu, Ca dan meneruskan pekerjaanmu.” Sonia berusaha memberi nasihat, wanita paruh baya itu menyandarkan tubuhnya masih dengan mata yang menatap lekat Bianca.”Dengan keputusanmu ini, orang-orang yang berniat menjatuhkan namamu akan berada diatas angin.” Imbuh Sonia lagi.
“Aku sudah memikirkannya, Mba. Tapi ini tidak hanya tentang gosip yang menyorot namaku.” Bianca menggantung ucapannya, menarik nafas dalam sebelum akhirnya melanjutkan. “Tapi aku sendiri jadi mempertanyakan diriku sendiri.”
Bianca meluruhkan bahunya, seolah melepaskan ketegangan yang ia tahan sedari tadi, Sonia bangkit berdiri dan menghampiri juniornya itu. “Apa yang kamu ragukan tentang dirimu?” Sonia mengambil tempat di sebelah Bianca dan mulai mengelus bahu wanita muda itu perlahan, memberikan ketenangan yang memang dibutuhkan oleh seorang Bianca.
Gelengan kecil kembali Bianca berikan, “aku juga tidak tahu, Mba.” Lirihnya, pelan namun penuh pertanyaan pada dirinya sendiri. “Aku merasa gagal dan bodoh karena melewati sesuatu yang telah menjadi komitmenku.”
Untuk beberapa waktu ruangan Sonia terasa begitu hening, Sonia mulai paham apa yang sebenarnya mengusik Psikolog muda kesayangannya ini. Bukan hanya tentang gosip, ini tentang peperangan rasa dalam diri..
“Aku bahkan sekarang ragu Mba dengan profesionalitasku, aku sudah gagal membedakan perasaanku. Bersikeras menutupi perasaanku dengan kedok profesionalitas.” suara Bianca sedikit bergetar memecah keheningan, suaranya semakin lirih ketika ia harus mengakui perasaannya. “Bukankah aku sendiri yang sudah menodai komitmenku?” tambahnya lagi, kali ini suaranya terdengar lebih pelan dan lemah.
Mendengar perkataan terakhir Bianca, Sonia hanya memilih untuk memeluk wanita disebelahnya itu. “Jika kamu sudah yakin, aku mendukung keputusanmu. Ujar Sonia akhirnya. “Kembalilah jika kamu sudah lebih baik dan ingin kembali.”
*
Usai menyelesaikan pembicaraan dengan Sonia, Bianca melangkahkan kakinya untuk pulang ke rumah, ia merasa harus menyelesaikan semuanya hari ini.
Seperti biasa Vivi sudah menunggunya di ruang tamu untuk menyambut putri kesayangannya yang baru sampai. Bianca mengulum senyum di hadapan wanita yang sudah melahirkannya itu, ada beban yang tidak bisa ia sembunyikan di balik senyumannya itu.
“tumben sekali kamu sudah pulang, nak?” tanya Vivi setelah Bianca memberikan kecupan singkat di pipinya.
“ya, pekerjaanku sudah selesai dan aku ingin beristirahat.” Jawab Bianca sambil melangkah masuk dengan Vivi di sampingnya. “Oh iya, apa papa di rumah?” Bianca menghentikan langkahnya dan menoleh kepada Vivi.
Vivi mengangguk. “Papa ada di ruang kerjanya.”
“kalau begitu aku akan menemui Papa lebih dulu ya, Ma.”
Vivi menatap putrinya heran, seingatnya ini kali pertama Bianca mencari Bram dan berinisiatif untuk menemui papanya itu. Namun dengan cepat wanita paruh baya itu tersenyum dan mengangguk, membiarkan Bianca beranjak untuk menemui suaminya.