Ellena dijual ibu tirinya kepada seseorang sebagai pengantin yang diperkenalkan di muka umum, agar istri sah tetap aman.
Namun, di hari pengantin ia diculik sesuai dugaan pria itu, dan disanalah awal penderitaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kinamira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Semenjak ibunya meninggal Ellena hanya berharap bisa menjalani hidup tenang bersama adiknya. Satu-satunya orang yang masih berdiri di belakangnya, terus menemaninya.
Kini penculikan itu membuatnya harus terpisah, entah sampai kapan.
Sepanjang hari Ellena berada di lantai tiga membersihkan dan memastikan setiap celahnya bersih dari debu. Dengan harap ia tidak mendapatkan hukuman.
Hingga ruangan terakhir yang berada paling ujung sudah siap untuk dibersihkan. Perlahan Ellena memasuki ruangan itu, sembari membawa alat-alat kebersihan.
Beberapa langkah masuk, pandangannya melihat sekitar membuat seluruh tubuhnya seketika dingin membeku.
Bola matanya melebar saat melihat setiap titik ruangan itu berisi foto-foto dirinya yang tanpa busana.
Tubuh Ellena gemetar, tangannya meremas rok pelayan yang dikenakannya. Sorot matanya lesu dan berkaca-kaca. Ketakutan menghantui dirinya.
"Dia jahat, dia penjahat!" batin Ellena menghembuskan nafas berat, merasakan sesak di dada.
Air mata Ellena berjatuhan. Kakinya gemetar nyaris tak mampu menopang tubuhnya, membuatnya harus menumpu tubuhnya di dinding.
Ellena memejamkan mata berusaha menutup pandangannya dari apapun di ruangan itu.
"Tenang Ellena, tenang, kita selesaikan ini dengan cepat agar kamu bisa selamat," batin Ellena mengambil dan membuang nafas secara perlahan.
Ia tau adanya foto-foto itu bukan untuk jadi bahan pemuas, tapi untuk menjatuhkan mentalnya.
Ellena bangkit, berusaha mengumpulkan tenaganya dan bersiap membersihkan setiap sudut ruangan itu.
Namun baru saja ia bersiap. Suara pintu membuatnya langsung membalikkan tubuh, melihat siapa di belakangnya.
Bola matanya langsung membulat melihat sosok Maxim dengan senyum dan tatapan dingin menatap tajam ke arahnya.
Tubuh Ellena bergetar, tangannya menggenggam erat kemoceng di tangannya. "Tu-tuan ini ... ini maaf di sini belum selesai dibersihkan," tutur Ellena dengan suara bergetar ketakutan.
Maxim tidak menggubris. Ia terus melangkah perlahan mendekati Ellena dengan senyum mengintimidasinya, membuat Ellena turut mundur menjauh.
"Bagaimana, apa kamu suka ruangan ini?" ucap Maxim terus mendekat tanpa mengalihkan sedikit pun perhatian dari Ellena.
Ellena meneguk ludahnya. Bibirnya bergetar ingin menyahut, namun ia takut mengeluarkan apa yang dirasakan hatinya.
Tubuh Ellena terhantuk, tak memiliki lagi tempat untuk pergi. Saat ia ingin berlari ke arah samping, Maxim dengan cepat mencengkram tangannya. Menghempaskan ke dinding dan menahan tangan Ellena di atas kepala.
"Auu ...." ringis Ellena.
"Kenapa kau diam saja? Kenapa tidak menjawab pertanyaan ku?" sahut Maxim dengan dingin.
Tangannya terangkat, menyepit kedua pipi Ellena dengan kuat.
"Eem, sakit," keluh Ellena menahan tangan Maxim, namun tenaganya jelas tak cukup.
"Sakit, lepas," pinta Ellena menatap Maxim yang sorot matanya sangat dingin, yang membuat Ellena merinding.
Ellena memejamkan mata berharap tidak menatap mata itu.
"Buka matamu!" perintah Maxim. Namun Ellena yang takut, tidak memberikan respon.
"Buka matamu!" sentak Maxim dengan suaranya yang tiba-tiba meninggi membuat Ellena terkejut.
Wanita itu akhirnya membuka matanya dengan terpaksa. Memberanikan menatap Maxim, berharap belas kasih pria itu.
Tangan Maxim lepas mencengkram pipi Ellena, namun belum sempat Ellena bernafas lega. Maxim menarik rambutnya dan memaksanya berjalan, membuat Ellena menjerit kesakitan.
"Sakit, sakit!" keluh Ellena sembari menangis.
Maxim membawa Ellena ke salah satu foto tanpa busana Ellena. Bukan dengan tatapan menggoda, namun foto yang tampak menyedihkan dan meminta belas kasih.
"Lihat foto ini," ucap Maxim menarik rambut Ellena untuk mendongak.
Ellena menutup matanya, ia tidak ingin melihat, namun ia yakin Maxim tidak membiarkan itu, membuatnya mau tak mau kembali membuka mata dan melihat foto menjijikan itu.
"Sangat indah bukan? Tubuhmu, benar-benar sangat indah Ellena," puji Maxim disertai remasan kuat di bokong Ellena, membuat wanita itu merinding merasa jijik.
Maxim menyeringai, mendekatkan bibirnya di telinga Ellena. "Felix pasti sangat menjaga dirimu. Sayang sekali, bukan dia yang pertama kali merasakan tubuhmu ini," ucapnya dengan suara seksi yang membuat Ellena merinding.
Ellena berusaha menghindar, namun Maxim kembali menarik kuat rambutnya membuatnya meringis.
"Sakit, aku lepaskan!" pintanya menangis tak mampu menahan rasa sakit itu.
Maxim berdecih. "Kau benar-benar sangat cengeng, begini saja sudah menangis!" hinanya, memandang puas melihat Ellena menderita.
"Selain tubuhmu, yang menjadi keberuntungan Felix, meski ia tidak dapatkan, yang lainnya, kau sangat merugikan dijadikan istri," ucap Maxim penuh penekanan.
"Aku bukan istrinya. Aku bukan istrinya!" ucap Ellena menangis hebat, kedua tangannya berusaha menarik tangan Maxim.
Maxim tertawa sinis. "Berani sekali kamu mengatakan itu!" Tanpa belas kasih ia menekan kepala Ellena ke dinding. Membuat wajah Ellena tertempel rapat di bingkai fotonya.
Ellena menjerit. "Sakit, sakit!"
"Diam! Diam!" sentak Maxim tanpa mempedulikan bagaimana Ellena mengeluh kesakitan, ia malah semakin menekan kepala Ellena, seolah ia akan meledakkan di dinding itu.
Dan apalah daya, Ellena terus menjerit dan berusaha sekuat mungkin melakukan perlawanan.
"Kau sangat berisik sialan!" bentak Maxim, namun sudah melepaskan tekanan dan cengkramannya.
Ellena menghela nafas berat, menyentuh kepalanya yang terasa perih, saat itulah ia merasakan tangannya basah. Ellena melihat telapak tangannya yang terdapat noda darah.
Namun, belum sempat ia merasakan lega. Permainan berikutnya tetap dilakukan Maxim.
Maxim ...
Bagi Ellena pria itu adalah sosok iblis berhati dingin. Tidak membiarkan mangsanya lepas, apalagi untuk bernafas sedetik pun.
Maxim menarik baju Ellena hingga menimbulkan suara robekan kain.
Ellena yang paham apa yang akan terjadi, berusaha menutupi tubuhnya dengan pakaian sobeknya.
"Karena kamu tidak patuh, aku akan menghukum mu lagi," ucap Maxim menyeringai, menarik Ellena dan menghempaskan ke meja yang ada di dekatnya.
"Jangan, aku mohon jangan!" pinta Ellena berusaha mempertahankan diri.
Namun, lawannya adalah Maxin. Tanpa merasakan kesulitan, Maxim berhasil melepaskan pakaian Ellena.
"Rasakan hukumanku!" ucap Maxim, menurunkan resleting celananya, tanpa melakukan pancingan ia mengarahkan dan menghentakkan tubuhnya secara kasar di dalam tubuh Ellena.
"Sakit!" jerit Ellena mendorong wajah Maxim yang berada di depannya.
Dorongan itu hanya sesaat. Maxim segera menarik dan mengunci kedua tangan Ellena, sembari terus menghentakkan kasar tubuhnya.
Nafas Maxim memberat, erangan Ellena menjadi suatu hal yang sangat dinikmati, dan pastinya jepitan tubuh Ellena membuatnya merasa melayang merasakannya.
"Ini luar biasa. Benar-benar luar biasa," ucap Maxim mengangkat Ellena yang sudah lemas, dan menempelkannya pada bingkai foto tadi.
"Lihat dirimu, lihat bagaimana kamu begitu manis menjerit," ucapan yang terkesan memuji, namun membuat Ellena menangis.
Pujian itu terlalu mematikan untuknya.
"Cukup, aku mohon," pintanya namun tidak digubris Maxim.
Dengan kekuatan paha yang kuat. Maxim mampu menahan Ellena di sana. Demi kepuasan batinnya, ia melakukan secara brutal dengan berbagai posisi.
Hingga puncak kepuasan mencapainya. Maxim menekan tubuhnya dengan dalam, membuat Ellena yang nyaris tak sadarkan diri meringis.
"Cukup," ucap Ellena nyaris tak terdengar. "Terlalu penuh," tuturnya dengan sisa tenaga yang dimiliki berusaha mendorong Maxim.
Perlahan Maxim menarik tubuhnya, membuat Ellena merasakan cairan hangat menyentuh pahanya.
Maxim menyeringai, pandangannya kembali menatap wajah lesu Ellena. Wanita itu memejamkan mata, seolah melihat pun sudah tidak bertenaga.
Keringat dan darah bercampur, menjadi saksi perlakuan kasar Maxim.
Tanpa rasa bersalah, Maxim berucap. "Ini akan terus berulang. Terus dan terus. Setelah kau hancur, baru aku kembalikan pada Felix! Jadi, selalu persiapkan dirimu!"