Di malam pertunangannya, Sahira memergoki pria yang baru saja menyematkan cincin pada jari manisnya, sedang bercumbu dengan saudara angkatnya.
Melihat fakta menyakitkan itu, tak lantas membuat Sahira meneteskan airmata apalagi menyerang dua insan yang sedang bermesraan di area basement gedung perhotelan.
Sebaliknya, senyum culas tersungging dibibir nya. Ini adalah permulaan menuju pembalasan sesungguhnya yang telah ia rancang belasan tahun lamanya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah sosok Sahira hanyalah wanita lugu, penakut, mudah ditipu, ditindas oleh keluarga angkatnya? Atau, sifatnya itu cuma kedok semata ...?
"Aku Bersumpah! Akan menuntut balas sampai mereka bersujud memohon ampun! Lebih memilih mati daripada hidup seperti di neraka!" ~ Sahira ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASA : 27
"Apa kau sudah menemukan detektif terpercaya dan dapat diandalkan, seperti keinginan saya, Damar?” Thariq menyeruput kopi hangatnya.
“Sudah, Tuan. Mereka mulai bergerak dalam senyap."
Pria berkaos pas badan, celana jeans slim fit, yang menonjolkan sisi maskulin, menambah kadar ketampanan Thariq Alamsyah, terlihat seksi kala keningnya mengernyit saat dirinya sedang berpikir keras.
Ya, Thariq memutuskan menyewa jasa detektif profesional. Ada banyak kejanggalan yang ia rasakan, dari kerusuhan tiba-tiba, padahal sebelumnya sudah terselesaikan, sampai kehadiran Sahira dalam hidupnya.
Thariq mendengus saat beberapa wanita mencoba menarik perhatiannya. Ia sama sekali tidak terpengaruh, memilih abai setiap tatapan berani maupun malu-malu kaum hawa, hilir mudik di hadapannya, menjatuhkan sesuatu agar ia menoleh.
Ada beberapa perempuan dengan gaya fashion seperti wanita karir, sosialita, sedari tadi melirik ke arah pria tampan, beraura misterius, terlihat hartawan dari pakaian branded yang ia kenakan.
Namun, para gadis maupun wanita itu harus menelan kecewa, kala si pria sedikitpun tidak mau menoleh ke arah mereka.
.
.
“Wow … cantik kali kakak ipar ku, awak macam Upik abu jadinya. Lihatlah pakaian ku ini Kak! Dah macam Mamak-mamak keliling kampung yang menjajakan baju Monza (bekas)!” Mustika bersiul, dia duduk di kursi kemudi, tidak turun menjemput Sahira di lobby.
Setelah merengek yang didukung pula oleh kakak iparnya, barulah sang abang memberitahukan dimana tempat tinggal istri mudanya.
Sahira masuk ke dalam mobil jazz. “Kau itu merendah untuk meroket ‘kan?”
“Alamak, alamat meledak lah Kak!” Berakhir dua wanita muda tersebut tertawa.
Mustika mulai menjalankan mobilnya keluar dari kawasan apartemen elite.
Tanpa mereka sadari, sebuah mobil hitam mengikuti dari jarak aman. Sampai dimana mobil jazz warna merah menyala memasuki area Resto Nusantara, si pengemudi memarkir kendaraannya di tempat aman, tidak turun, tapi sabar menunggu.
“Jiwa penasaran ku meronta-ronta loh Kak, siapa sebenarnya pemilik restoran luas, mewah, tapi harga menunya ramah dikantong ini. Aku suka sekali konsep bangunannya, dari tata letak ruang dibagi beberapa bagian, mengusung ciri khas rumah adat Nusantara sampai semi internasional." Mustika menarik napas, mereka baru saja menaiki tangga.
"Paling keren, bangunan ini menyatu dengan alam. Tahu sendiri kan, di tengah padat dan hiruk pikuknya perkotaan, susah kali mencari tempat sejuk yang bisa mendinginkan otak mendidih dikarenakan dipaksa terus berpikir.” Mustika terus bersuara layaknya pemandu wisata.
Sahira berdiri di jalan yang diapit oleh rumput hijau, di depannya ada bangunan pendopo joglo. Diperuntukkan bagi pengunjung memiliki anak kecil. Mereka bisa duduk lesehan seraya menyantap makanan lezat, sedangkan buah hati dapat bermain ataupun berlarian kesana-kemari.
Kemudian Mustika membawa Sahira berkeliling, melihat arsitektur bangunan unik.
“Kau benar, Tika. Resto Nusantara sungguh unik, nyaman, kita seperti berada di kampung halaman yang masih asri.” Sahira bertutur lembut, sudut matanya berembun, dan Mustika tidak memperhatikan hal kecil itu.
“Kakak mau pesan apa? Menurutku pesan semua menu saja Kak. Biar bisa Kakak coba satu persatu.” Mustika memandang Sahira, mereka memilih duduk di meja bawah pohon hidup.
“Siapa yang mau menghabiskan kalau pesan segitu banyak?” Sahira membolak-balik buku menu. “Sayur asem plus sambal krengseng, Ayam betutu Bali. Gurame bakar bumbu Padang, itu saja cukup.”
“Minumnya?” tanya mustika.
“Bir Pletok ( Minuman khas Betawi), dan air putih.” Sahira menutup buku menu.
“Apa benar Kakak baru pertama kali ini kesini?” Mustika menatap curiga.
Sahira mengernyitkan keningnya. “Kenapa? Apa terlihat aneh?”
“Tidak. Cuma sepertinya kakak tak asing dengan tempat ini. Sangat cepat memutuskan menu yang menjadi andalan.”
“Aku ini seorang chef, kalau kau lupa.” Sahira terkekeh geli.
“Mengapa bodoh sekali ya aku ini, melupakan fakta penting itu.” Mustika terbahak, tetapi nadanya terdengar sumbang.
Setengah jam kemudian, menu pesanan sudah terhidang di atas meja. Terlebih dahulu dua wanita cantik mencuci tangan, lalu mulai menyantap sajian lezat.
Makan siang terasa hangat di selingi dengan obrolan ringan. Baik Mustika dan juga Sahira, sama sekali tidak ada membahas mengenai kejadian beberapa hari lalu. Mereka ingin menghabiskan hari dengan mendekatkan diri.
Selesai menyantap hidangan yang tersaji tanpa tersisa, kini mereka menikmati dessert.
"Oh Tuhan, perutku terasa kembung, susah bernapas, kenyangnya.” Mustika membuka kancing celana jeans-nya. “Ternyata makan sambil ngobrol itu racun ya Kak? Tahu-tahu habis nasi satu bakul.”
“Ha ha ha … berteman denganmu, pasti awet muda, Mus.” Sahira terkikik, menyendok puding coklat.
“Kau kenapa, Mus? Pusing kah?” saat menikmati hidangan penutup, gesture tubuh Mustika terlihat gelisah.
Mustika menggeleng. Keringat dingin mulai muncul di kening dan pelipisnya. “Mungkin efek kekenyangan kali ya Kak, jadinya kebelet berak aku.”
Bergegas gadis itu beranjak mencari toilet. Sahira sabar menunggu, sampai sepuluh menit kemudian Mustika juga belum kembali.
Sahira memutuskan menyusul, langkahnya tergesa-gesa kala melihat adik iparnya duduk di bangku dengan ditemani dua orang pramusaji.
"Mustika?!" Sahira mengguncang bahunya.
"Kakak ini tadi hampir terjatuh, langkahnya sempoyongan," beritahu salah satu pelayan wanita.
"Aku tak apa-apa, Kak. Cuma pusing, mual, pandangan berputar-putar," cicitnya lirih, raut wajah sudah pias, bibir kering, mulut terasa masam.
"Kita ke dokter saja. Aku takut kau alergi salah satu makanan yang tadi dikonsumsi, atau bisa jadi keracunan,"
Dua orang pelayan terlihat saling pandang, ada getar takut di mata mereka, ini baru pertama kalinya terjadi hal seperti yang dialami salah satu pengunjung.
Manager restoran bergegas menghampiri, menawarkan jasa menghantarkan pergi ke klinik kesehatan, tapi ditolak Mustika dengan mengatakan mungkin dia hanya kelelahan.
Berakhir Sahira memapah adik iparnya dengan ditemani manager restoran.
Saat sudah sampai diarea parkir, seorang pengawal yang ditugaskan menjaga istri dari Thariq Alamsyah dari jarak aman, sudah berdiri disamping mobil Mustika. Tadi Sahira yang menghubunginya.
"Tolong antar Mustika pulang!" pinta Sahira lembut kepada bawahan suaminya.
"Bagaimana dengan Anda, Nyonya?" ia terlihat keberatan, tugas utamanya menjaga istri sang tuan.
"Saya tak apa-apa, bisa pesan taksi." Sahira membantu Mustika duduk di jok penumpang. "Cepatlah!"
Mendengar nada titah tak terbantahkan itu, si pengawal pun pasrah, masuk ke dalam bagian kemudi. Sedangkan motor sportnya ditinggalkan di parkiran restoran.
Benar saja, Sahira langsung memesan taksi, meminta sang sopir membawanya pulang ke apartemen.
Namun, saat dipertigaan jalan yang sepi kendaraan, taksi tersebut dihadang oleh pengendara motor.
Ada tiga motor sport yang pengepung, salah satu dari pengendara itu turun, posturnya seperti pegulat, ia memanggul tongkat baseball.
"BUKA! ATAU KU PECAHKAN KACA MOBIL INI!!"
.
.
Bersambung.
antara nak mengamuk ke keluarga syaiton ato melampiaskan amarah ke Anggara Sartono 😂😂😂
pura2 ga punya anak bernama Anggara Sartono awkwkwk 🤣🤣
si Damaarr atau Tonooo 💃💃🤣🤣
menantikan balasan yg kalian terima satu persatu ☺️