NovelToon NovelToon
Immortality Through Suffering

Immortality Through Suffering

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Spiritual / Balas Dendam / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:25.3k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.

Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.

Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.


Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mei Lin murid sekte Wuying

Tubuh Xu Hao terasa ringan begitu cahaya portal mengirimkan nya keluar. Namun ketika matanya terbuka, alisnya langsung berkerut rapat.

Pemandangan di sekitarnya membuat napasnya tercekat. Hamparan lahar mengalir deras seperti sungai api, menyebar ke segala arah. Udara panas menggigit kulit, membuat pakaian sederhana Xu Hao terasa lengket oleh keringat. Asap hitam mengepul, bercampur dengan bau belerang yang menusuk hidung. Tak ada pepohonan, tak ada rerumputan, bahkan bayangan binatang pun tidak terlihat.

“Tempat apa ini…” Xu Hao bergumam lirih, matanya berkeliling. “Seperti neraka dunia fana.”

Ia menatap aliran lahar yang menyembur dari retakan tanah, lalu menarik napas panjang. Dalam hatinya sempat muncul kekhawatiran. “Apakah orang tua itu akan balas dendam hanya karena wajahnya kutendang? Tapi salahnya sendiri, menghalangi jalan dan membunuh seenaknya.”

Xu Hao menggelengkan kepala, menepis pikiran itu. “Tidak perlu memikirkannya sekarang. Fokusku hanya satu… mencari goa dengan giok hijau itu. Alam rahasia ini terlalu berbahaya untuk membuang waktu.”

Dengan gerakan tenang, ia mengeluarkan pedang peraknya dari dalam cincin penyimpanan. Pedang itu berkilau samar meskipun cahaya di tempat ini diredam asap hitam. Dengan satu hentakan kaki, tubuh Xu Hao melesat ke udara, berdiri kokoh di atas pedang terbangnya.

Udara panas yang menggulung dari lahar menyapu wajahnya, namun Xu Hao tetap tegak. Dari ketinggian, pandangannya menyapu luas. Tidak ada kehidupan, tidak ada tanda-tanda bangunan kuno. Hanya lautan api cair yang terus bergolak.

“Bagus juga.” Xu Hao menggumam. “Tanpa orang lain, berarti tanpa konflik. Semakin sedikit interaksi, semakin aman.”

Ia terus melesat. Waktu berjalan, entah berapa lama. Namun pemandangan tidak berubah, hanya lahar dan api. Hatinya mulai merasa janggal.

Hingga tiba-tiba, sebuah suara jeritan wanita menembus udara panas. Suara itu penuh ketakutan, memecah keheningan.

Xu Hao menoleh cepat, lalu mengarahkan pedangnya terbang ke arah suara. Semakin dekat, ia melihat sosok seorang gadis bergaun putih, wajahnya dipenuhi keringat. Dia berlari sekuat tenaga di tanah berbatu, sementara di belakangnya mengejar makhluk menyeramkan.

Makhluk itu berbentuk menyerupai manusia, namun tubuhnya sepenuhnya terbuat dari lahar menyala. Setiap langkahnya meninggalkan bekas pijakan api, udara bergetar karena panasnya. Kedua matanya bersinar merah seperti bara, dan setiap kali ia mengangkat tangannya, cairan api menetes ke tanah.

“Makhluk apa itu…” Xu Hao bergumam, matanya menyipit.

Gadis itu menoleh, matanya dipenuhi air mata. “Tolong! Siapapun, tolong aku!” teriaknya dengan suara serak.

Xu Hao menghentikan pedangnya di udara, hatinya dilanda keraguan. “Aku… tidak punya alasan untuk ikut campur. Satu orang asing mati atau hidup, apa hubungannya denganku?”

Namun suara ayahnya terngiang di telinga. ‘Hao’er, seorang pria sejati harus selalu melindungi wanita, sekecil apapun kekuatanmu.’

Kemudian, suara ibunya menyusul. ‘Jika kau memiliki kesempatan untuk menolong, janganlah pelit. Apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai.’

Xu Hao terdiam sejenak. Hatinya bergejolak. Bayangan wajah paman Cuyo muncul, pria tua berjubah hitam, bahkan pria tua berpakaian Konfusianisme yang pernah menolongnya.

“Kalau bukan karena mereka, mungkin aku sudah lama mati.” Xu Hao mengepalkan tangannya. “Baiklah. Kali ini aku akan menolong.”

Ia mencondongkan tubuh ke depan, mengarahkan pedang peraknya menukik tajam ke bawah. Angin panas membelah wajahnya ketika ia meluncur turun.

Di bawah, gadis itu terhuyung lalu jatuh terduduk, kehabisan tenaga. Makhluk lahar itu mengangkat tangannya yang menyala, hendak menghantam tubuh rapuh sang gadis. Air mata menetes di wajahnya, ia memejamkan mata, seolah pasrah pada kematian.

Namun sekejap kemudian, sebuah bayangan melintas cepat.

Swoosh!

Tubuhnya terangkat ringan, dibawa menjauh dari tanah yang membara. Gadis itu membuka mata perlahan, terkejut. Ia mendapati dirinya berada dalam dekapan seorang pemuda berwajah tegas, dengan tatapan mata tajam yang fokus menatap ke depan.

Xu Hao tidak berkata sepatah kata pun. Angin panas menerpa wajahnya, namun lengannya kokoh melindungi tubuh gadis itu.

Tatapan mereka akhirnya bertemu. Mata indah sang gadis menatap wajah Xu Hao, sementara Xu Hao sedikit menunduk, menatap balik. Sekilas waktu seakan berhenti, hanya ada suara lahar yang mendidih di kejauhan.

Xu Hao akhirnya memecah keheningan. Suaranya tenang namun penuh rasa ingin tahu. “Kenapa kau bisa sendirian di tempat seperti ini? Dan kenapa makhluk itu mengejarmu?”

Dengan suara lirih, gadis itu menjawab, “Aku… murid Sekte Wuying. Saat masuk portal, aku terpisah dari saudara-saudara sekteku. Begitu muncul di sini, makhluk itu langsung mengejarku tanpa henti.”

Xu Hao mengangguk tipis. “Lalu kenapa kau tidak kabur dengan pedang terbangmu?”

Ekspresi gadis itu berubah getir. “Aku sudah mencoba. Tapi makhluk itu… menghancurkan pedang terbang ku. Jadi... Aku tidak punya pilihan selain berlari.”

Xu Hao mendengarkan, lalu menghela napas pelan. Ia bisa merasakan ketulusan di kata-kata gadis itu.

“Namamu siapa?” Xu Hao bertanya lagi.

Dengan wajah masih pucat, gadis itu menjawab pelan. “Namaku… Mei Lin.”

Xu Hao tersenyum samar. “Nama yang indah, untuk seorang gadis yang juga cantik.”

Wajah Mei Lin langsung memerah. Ia menunduk malu, lalu berbalik bertanya, “Kalau begitu… siapa namamu?”

Xu Hao tidak ingin menyingkap identitas aslinya. Dengan tenang ia menjawab, “Su Hai.”

Mei Lin mengulang nama itu, seakan menghafalnya. “Nama yang bagus.”

Xu Hao hanya tersenyum tipis, lalu kembali menatap ke depan. Pedang peraknya melesat lebih cepat, membelah udara panas, berusaha meninggalkan wilayah penuh lahar itu.

Pelukan Mei Lin semakin erat. Ia menempel pada dada Xu Hao, tubuhnya bergetar karena ketakutan sekaligus lega.

Xu Hao tidak menolaknya. Hatinya tetap tenang, pikirannya fokus mengendalikan pedang terbangnya, mencari jalan keluar dari tempat neraka ini.

Perjalanan di udara semakin cepat. Pedang perak yang menjadi tunggangan Xu Hao menoreh langit seperti kilatan cahaya, meninggalkan jejak samar di balik udara panas yang bergolak. Angin siang yang berhembus deras menghantam wajah mereka, membawa aroma baru yang berbeda dari bau belerang dan asap lahar.

Di kejauhan, warna merah menyala perlahan digantikan oleh hamparan hijau gelap. Sungai-sungai api yang mengalir bagaikan naga menyala kini tertinggal jauh di belakang. Xu Hao memperlambat pedangnya ketika pepohonan raksasa mulai tampak, menjulang tinggi dengan dahan-dahan lebat yang menutup sebagian cahaya matahari. Hawa panas perlahan memudar, berganti dengan udara lembap khas hutan purba.

Xu Hao menurunkan pedangnya di sebuah tanah lapang yang dipenuhi akar besar menjulur dari batang pohon kuno. Begitu kaki mereka menyentuh tanah, Mei Lin perlahan melepaskan pelukan eratnya. Wajahnya memerah, matanya menunduk, seolah malu karena terlalu lama menempel di dada Xu Hao.

Xu Hao menoleh padanya dengan tatapan datar namun tenang. “Kau sudah aman di sini. Lanjutkan perjalananmu sendiri. Tidak perlu ikut denganku. Pergilah sesuka hatimu.”

Nada suaranya sederhana, tidak ada nada kasar, tetapi cukup tegas.

Mei Lin menggigit bibirnya. Keraguan jelas terpancar dari matanya. Ada kesedihan samar yang sulit disembunyikan. Setelah beberapa saat terdiam, ia akhirnya mengangkat wajahnya dan berkata dengan suara bergetar namun mantap.

“Su Hai… bawa aku bersamamu.”

Xu Hao terdiam sejenak, lalu menatap lurus ke arahnya. “Aku ingin berjalan sendiri, tanpa siapa pun. Bahkan jika kau ikut denganku, bahaya tidak akan berkurang. Justru aku akan menarik malapetaka.”

Mei Lin menggeleng cepat. “Aku tidak peduli. Bahkan jika itu berarti kematian. Aku tidak ingin berjalan sendirian di tempat seperti ini. Aku ingin menjelajahi alam rahasia ini bersama orang yang telah menyelamatkan hidupku.”

Kata-katanya lugas, tanpa ragu.

Xu Hao menatapnya lebih lama. Dalam hatinya ada sedikit gelombang yang sulit dijelaskan. Ingatan tentang orang-orang yang dulu pernah menolongnya, tentang nasihat ibunya dan tatapan ayahnya, terlintas kembali. Ia akhirnya menghela napas pelan.

“Baiklah, aku akan membawamu. Tapi hanya sampai kau bertemu dengan murid-murid Sekte Wuying yang lain.”

Wajah Mei Lin tetap tidak menunjukkan senyuman atau kegembiraan, meski matanya sedikit berbinar. Ia hanya mengangguk pelan, menerima syarat itu.

Xu Hao menggerakkan jarinya, pedang perak melayang kembali di hadapan mereka. Ia memberi isyarat pada Mei Lin. “Berdiri di depanku. Lebih aman begitu.”

Mei Lin menurut tanpa banyak kata. Tubuh mungilnya berdiri hati-hati di atas pedang perak, sementara Xu Hao berdiri di belakangnya. Dengan satu gerakan tangan, pedang itu kembali melesat menembus udara, membawa mereka berdua naik ke langit.

Hembusan angin siang terasa berbeda kini, lebih sejuk, menyapu wajah mereka sambil membawa aroma dedaunan. Hutan purba di bawah tampak seperti lautan hijau tak bertepi, sesekali terdengar raungan binatang buas yang menggema dari kejauhan.

Mei Lin memecah keheningan. Suaranya lembut, terbawa oleh angin. “Su Hai, kenapa kau datang ke alam rahasia ini? Apa tujuanmu?”

Xu Hao menatap ke depan, matanya tajam menembus horizon. “Aku mencari peruntungan. Setiap orang yang masuk ke sini tentu berharap menemukan sesuatu. Aku tidak berbeda.”

Mei Lin menoleh sedikit, menatapnya dari samping. Bibirnya melengkung tipis. “Aku yakin kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan.”

Xu Hao sempat terkejut oleh keyakinannya yang begitu tulus. Senyum samar muncul di wajahnya. Dengan satu tangan, ia mengangkat jemarinya, mengelus lembut kepala Mei Lin. Gerakan itu alami, mengingatkannya pada sentuhan hangat paman Cuyo yang pernah memperlakukannya dengan kasih sayang.

“Terima kasih,” kata Xu Hao singkat.

Wajah Mei Lin semakin merah, namun ia hanya mengangguk kecil, tidak berani menatap Xu Hao secara langsung.

Beberapa saat kemudian, Xu Hao bertanya lagi. “Lalu apa tujuan Sekte Wuying datang ke alam rahasia ini?”

Mei Lin menarik napas dalam, suaranya kini lebih serius. “Sekte kami mendengar kabar bahwa di sini terdapat reruntuhan kuno, peninggalan seorang True Immortal. Dan bukan hanya Sekte Wuying. Semua sekte besar, bahkan klan-klan kuat, datang dengan tujuan yang sama.”

Xu Hao mendengarkan dengan seksama. Matanya sedikit menyipit, penuh perhatian. “Dimana reruntuhan itu berada?”

Mei Lin menggeleng. “Tidak ada lokasi pasti. Reruntuhan itu… berpindah-pindah. Hari ini bisa muncul di hutan, besok mungkin di gunung, atau bahkan di tengah sungai lahar. Tidak ada yang tahu. Itulah mengapa setiap orang yang masuk ke sini harus terus bergerak dan berjaga-jaga.”

Xu Hao terdiam sejenak. Rasa kagum sekaligus rasa ingin tahunya membuncah. “Bisa berpindah tempat… ini sungguh ajaib. Tidak heran semua sekte besar mengirim murid mereka.”

Mei Lin menatap jauh ke depan. “Tentu saja. Jika bukan karena peluang besar, sekte dan klan tidak akan mengerahkan kekuatan sebesar ini. Banyak murid Foundation Establishment tahap akhir dikirim kemari. Mereka berharap bisa menerobos dan membentuk inti di dalam alam rahasia ini. Termasuk diriku.”

Xu Hao mengangguk, hatinya kini mengerti. “Jadi begitu…” gumamnya pelan.

Keduanya terus berbincang sepanjang perjalanan. Mereka membicarakan peta-peta samar tentang alam rahasia, tentang binatang buas yang mungkin mereka temui, juga tentang langkah-langkah hati-hati yang harus diambil.

Di langit siang yang cerah, pedang perak meluncur bagaikan bintang jatuh, membawa Xu Hao dan Mei Lin melintasi luasnya alam rahasia, menuju takdir yang belum terungkap.

Setelah perjalanan cukup panjang. Langit sore mulai memerah, cahaya matahari yang tersisa menembus celah pepohonan hutan purba. Burung-burung eksotis berterbangan pulang ke sarang, sementara suara serangga mulai terdengar dari balik semak. Xu Hao mengendalikan pedang peraknya turun perlahan, hingga mereka mendarat di pinggir sebuah danau yang airnya memantulkan langit jingga bagai cermin alam.

Mei Lin segera turun, gaun putihnya yang sederhana tertiup angin lembut. Ia menoleh pada Xu Hao dengan raut heran. “Su Hai, kenapa kita berhenti?”

Xu Hao menepuk ringan debu di jubah birunya, lalu menjawab tenang. “Terbang di malam hari tidak menyenangkan. Udara terlalu dingin, jarak pandang berkurang. Lebih baik kita bermalam di sini. Besok pagi kita lanjutkan perjalanan.”

Mei Lin mengangguk kecil, menerima alasan itu.

Tanpa banyak bicara lagi, Xu Hao berjalan ke tepi danau. Tubuhnya melesat ringan ke dalam air, menimbulkan riak yang cepat kembali tenang.

Mei Lin terkejut. “Su Hai! Kau sedang apa?” teriaknya, cemas.

Namun, sebelum rasa khawatirnya semakin dalam, dua ekor ikan besar tiba-tiba melesat dari air, terlempar tinggi dan jatuh berdebur di tanah basah. Sesaat kemudian, Xu Hao muncul kembali dari air. Rambut hitamnya masih terurai rapi, jubah birunya tetap kering tanpa setitik pun basah. Dari tangannya tergantung dua ekor ikan yang masih menggeliat.

Mei Lin menahan napas sejenak, lalu menghela lega. “Aku kira kau…” Ia menghentikan kalimatnya, tidak melanjutkan.

Xu Hao tersenyum tipis dan meletakkan ikan-ikan itu. “Nona duduk saja. Aku akan menyiapkan makan malam kita.”

Mei Lin sempat ingin menawarkan bantuan, tapi melihat sorot mata Xu Hao yang tenang, ia hanya mengangguk. Dengan langkah ringan ia duduk di atas batu besar, memperhatikan gerak-gerik Xu Hao.

Pria muda itu mulai mengumpulkan ranting kering dari bawah pepohonan, tangannya cekatan seakan sudah terbiasa. Tak lama api unggun kecil menyala, memantulkan cahaya hangat ke wajah mereka. Suara kayu terbakar berpadu dengan nyanyian serangga malam. Xu Hao kemudian membersihkan ikan dan menusukkannya dengan ranting panjang, memanggangnya di atas bara.

Meski baru saja menyelam, jubah biru sederhananya tetap kering. Mei Lin memperhatikan dengan saksama, akhirnya menyadari bahwa Xu Hao melapisi tubuhnya dengan lapisan tipis Qi, menjaga air agar tidak menyentuh pakaiannya.

Mata indahnya berbinar, kagum. “Dia bahkan memikirkan hal sekecil itu…” gumamnya dalam hati. “Aku benar-benar beruntung bisa bertemu dan diselamatkan oleh orang sebaik dia.”

Aroma harum mulai tercium ketika kulit ikan berubah kecokelatan. Xu Hao memanggang dengan sabar, membolak-balik hingga matang sempurna. Malam pun turun perlahan. Bulan sabit muncul, memantulkan cahaya ke permukaan danau, menciptakan bayangan berkilau yang tenang.

Ketika empat ikan besar sudah matang, Xu Hao menyerahkan satu ke tangan Mei Lin. “Mari kita makan sebelum dingin.”

Mei Lin menerima dengan ragu-ragu, wajahnya memerah. Ia menatap ikan itu sejenak sebelum menyentuhnya. Xu Hao melihat sikapnya lalu tertawa kecil. “Jika Nona masih malu-malu, jangan salahkan aku bila semua ikan ini habis masuk ke perutku. Kau tahu, perutku seperti monster, bisa menelan apa pun.”

Mei Lin tak kuasa menahan tawa. Dengan spontan ia mencubit pinggang Xu Hao. “Dasar rakus!” katanya, tertawa renyah.

Xu Hao sedikit terkejut, lalu ikut tertawa. Untuk sesaat, suasana berat alam rahasia seolah lenyap, tergantikan kehangatan sederhana di antara keduanya. Mereka pun makan dengan lahap, suara api unggun menemani santap malam yang sederhana namun berkesan.

Setelah selesai makan, Mei Lin menoleh, matanya serius. “Su Hai, aku ingin tahu. Kau berasal dari sekte apa?”

Xu Hao meletakkan tulang ikan, lalu menatap api yang masih menyala. “Aku kultivator bebas. Tidak bergabung dengan sekte mana pun.”

Mei Lin terkejut. “Kau masih sangat muda. Kenapa tidak memilih bergabung dengan sekte, seperti kebanyakan kultivator seumuranmu? Dengan bakatmu, kau pasti akan diterima dengan mudah.”

Xu Hao menggeleng perlahan. Tatapannya dalam, ada keteguhan di sana. “Aku berbeda dari orang lain. Jalan yang kutempuh dan tujuan hidupku tidak sama dengan kebanyakan kultivator. Aku lebih nyaman berjalan sendiri, tanpa terikat aturan atau ambisi orang lain.”

Mei Lin terdiam. Kekaguman jelas terlihat di wajahnya. “Jika suatu hari kau ingin mencoba bergabung dengan sekte… datanglah ke Sekte Wuying. Aku akan membantumu sebisa mungkin.”

Xu Hao tersenyum samar. “Terima kasih, tetapi aku belum pernah punya niat untuk bergabung dengan sekte mana pun. Namun, jika suatu hari pikiranku berubah… mungkin aku akan mengunjungi Sekte Wuying.”

Mei Lin tersenyum manis, hatinya terasa hangat oleh jawaban itu. Ia lalu menunduk, suaranya lirih. “Aku sangat bersyukur masih hidup sampai saat ini… semua berkatmu, Su Hai. Aku merasa berutang budi seumur hidupku.”

Xu Hao menatapnya sebentar, lalu menghela napas. “Kau tidak perlu berpikir sejauh itu. Aku menolongmu bukan untuk mendapatkan balasan. Anggap saja aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan.”

Mei Lin menggeleng cepat, matanya bersinar tegas. “Tidak. Aku tetap akan membalas budi ini suatu hari nanti. Itu janjiku.”

Xu Hao mengangkat tangan, menyerah dengan senyum pasrah. “Baiklah, lakukan apa yang menurutmu benar.”

Mei Lin terkikik, tawa lembutnya menyebarkan kehangatan. Tatapannya kemudian melembut, menatap wajah Xu Hao yang diterangi cahaya api unggun.

Xu Hao merasakan tatapan itu, lalu memalingkan wajah, berkata ringan. “Sudah malam. Lebih baik kau beristirahat. Besok kita akan melanjutkan perjalanan.”

Mei Lin menggeleng perlahan. “Aku ingin bermeditasi malam ini.”

Xu Hao mengangguk. “Baik. Aku juga akan bermeditasi.”

Keduanya lalu duduk bersila di sisi api unggun. Xu Hao memejamkan mata, tubuhnya segera diselimuti aura tenang. Mei Lin sempat menoleh, matanya tak lepas dari wajah Xu Hao yang damai dalam meditasi. Hatinya berdesir aneh, lalu ia menutup mata perlahan, ikut masuk dalam keheningan malam.

Di pinggir danau itu, dengan cahaya bulan yang memantul di air dan api unggun yang berkerlip, dua kultivator muda duduk bermeditasi. Malam hening, namun di balik keheningan itu, nasib dan takdir mereka perlahan terjalin semakin erat.

1
Christian Matthew Pratama
author sdh mulai bingung buat lanjuti critanya, mknya macet updatenya
Christian Matthew Pratama
macet updatenya
Daniel Simamora
Thor, jangan banyak pengulangan kata dong.
plotnya juga terlalu santai.
Andi Widodo
semakin ke sini semakin berbelit2 nih cerita..tinggal ngaku aja..terus masa baru 4 THN dah nggak ingat wajahnya..aneh
Nasution Muktar
bagus ..
Daniel Simamora
ini layak ditunggu.
baru 1 bab aja udah kelam banget
Didi Mahardeka
hi
Muh Hafidz
keren
Untung Prasetyo
ceritanya terlalu berbelit-belit,masak MC kok kalah Mulu,lama banget menaikkan kultivasi, dasar autor gila lu
Nanik S
Lanjutkan Tor
Nanik S
Xu Huo... gulungan kuno mungkin memilihmu
Daryus Effendi
bertele tele/lilir
Christian Matthew Pratama
macet updatenya
y@y@
🌟👍🏾👍🏻👍🏾🌟
y@y@
💥👍🏼👍🏿👍🏼💥
y@y@
🌟👍🏿👍🏼👍🏿🌟
Muh Hafidz
update thor
Muh Hafidz
mantap
Muh Hafidz
good
Muh Hafidz
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!