Karena beda kasta maka Danudirja menitipkan bayi itu ke panti asuhan, pada Yunita putrinya dia berbohong mengatakan bayinya meninggal. Takdir membawa bayi itu pada ayah kandungnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosida0161, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tumpangan Tempat Tinggal
Tiara bekerja dengan tekun. Mencuci semua piring kotor dan gelas serta panci. Hingga restaurant tutup dia baru bisa berdiam diri.
Satu persatu pekerja restaurant meninggalkan tempat kerja mereka.
Saat itulah Tiara baru ingat jika dirinya tak punya tempat tinggal. Aduh gimana ini? batinnya mulai kebingungan mau pulang kemana.
Celingak celinguk sekiranya boleh numpang tidur di restaurant. Nanti bulan depan gajian baru kos, kan sudah punya uang.
"Neng kok masih di sini belum pulang?"
Tiara menoleh.
Bira menenteng tas sudah bersiap untuk pulang.
"Bu Bira mau pulang?"
Perempuan yang sudah tak muda lagi itu mengangguk. "Neng mau pulang juga?"
Tiara tertegun bingung untuk menjawab.
"Neng ..." Bira memanggil.
"Apa nggak boleh kalau menginap di sini?" Tiara menatap Bira tak berkedip.
"Memangnya kenapa kok mau menginap di sini?"
"Aku ... aku nggak punya tempat tinggal ..." tiba tiba Tiara terisak. Baru sekarang dia jauh dari kedua orang tua angkatnya.
Bira terkejut, "Sudah jangan menangis nginep di rumah Bu Bira saja,"
Seketika isakan Tiara terhenti, lalu menatap lurus pada Bira. "Beneran?"
Bira mengangguk.
Tiba tiba saja Tiara menarik tangan Bira dan menggenggamnya dengan bola mata berbinar. "Terima kasih ya Bu Bira..."
"Yuk kita pulang, tapi rumah Bu Bira itu kecil yang penting bisa berteduh dari hujan dan panas saja,"
"Yang penting bisa tidur nggak masalah," ujar Tiara.
Lokasi rumah Bira dengan restaurant tempatnya bekerja memakan waktu dua puluh menit dengan naik angkot.
"Nah rumah Bu Bira berada di balik gedung bertingkat, tapi lumayanlah," ujar Bira mengajak Tiara memasuki rumah mungil dan sederhana berukuran lima meter kali delapan meter. Hanya memiliki teras kecil. Ruang tamu, dua kamar tidur ukuran kecil, serta ruang makan, dapur dan kamar mandi, tempat untuk mencuci serta menjemur.
"Alhamdulillah rumahnya bersih ya, Bu Bira," seru Tiara memperhatikan rumah yang memang terawat rapih itu.
"Rumah ini saya beli hasil bekerja dua puluh tahun pada keluarga kaya raya, Neng, waktu pamit berhenti Tuan besar memberi saya pesangon besar sekali, makanya bisa beli rumah ini lima belas tahun lalu."
"Wah Bu Bira punya rumah ini seumur aku ya ..." tersenyum Tiara.
"Oh umur Neng lima belas tahun ya," Bira menatap Tiara.
"Ya," angguk Tiara.
"Umurnya kenapa sama dengan umur anak non mantan majikanku yang dulu, ya," batin Bira. Lalu memperhatikan anting anting yang dikenakan Tiara. "Rasanya aku kenal sama anting di Neng ini. Tapi namanya toko pasti buatnya banyak dari jaman dulu.
"Bu Bira aku mau ke kamar mandi dulu boleh?"
"Oh ya Neng silahkan,"
Sementara Tiara membersihkan dirinya di kamar mandi Bira masuk ke kamarnya sendiri. Tak lama kemudian keluar lagi untuk menyiapkan tempat tidur Tiara.
Tiara keluar dari kamar mandi dan masih mengenakan baju yang tadi lagi.
"Neng nggak bawa baju?"
Tiara menggeleng. Tiba tiba wajahnya muram dan dua tetes air mata menggelincir di kedua pipi mulusnya.
"Neng ..."
"Ceritanya panjang Bu Bira..."
"Ya sudah Bu Bira menyimpan beberapa baju Non Yunita anak majikan Buk Bira dulu untuk kenang kenangan.
"Non Yunita?" Tiara teringat nama Yunita yang telah menyelamatkannya saat kabur dari anak buah Sarkim, dan menolak tawaran perempuan itu untuk tinggal di rumahnya."Sama namanya dengan perempuan yang menolongku, tapi aku menolak untuk tinggal di rumahnya, karena kata orang tua angkatku kita jangan gampang percaya pada yang berkilau, jangan percaya pada penampilan orang karena hatinya belum tentu sebaik penampilannya,"
"Benar juga, tapi Neng Tiara punya orang tua angkat?"
"Wah iya Bu Bira sekarang terpaksa terpisah ceritanya panjang."
"Ya sudah sekarang istirahat dulu ini beberapa baju bekas Non Yunita ..."
"Wah bajunya bagus bagus ya, Bu Bira," satu persatu baju yang diberikan Bira diperhatikan. "Pasti pas sama aku, Bu Bira "
"Ya sudah Non pakai saja untuk salin sehari hari," ujar Bira kadi teringat pada non Yunitanya melihat Tiara mengenakan baju milik mantan majikannya dulu.
"Terima kasih, ya, Bu Bira,"
"Neng mau ngeteh?"
Tiara menggeleng.
"Ya sudah istirahat besok pagi bekerja lagi,"
"Ya Bu Bira terima kasih sudah memberi tumpangan dan mengongkosi aku angkot tadi dan maaf jika besok aku numpang ongkos lagi, nanti kalau sudah gajian aku ganti," malu malu Tiara memandang pada Bira.
"Ya sudah Bu Bira kalau hanya ongkos dan makan seadanya masih bisa, Neng, kita hidup harus saling tolong dan saling dukung," ujar perempuan yang tak punya anak sepanjang hidupnya dan sudah ditinggal mati suaminya lebih dari tiga puluh tahun yang lalu.
"Ya Non Yunita dulu ngasih bajunya yang sudah tak terpakai supaya diberikan pada orang yang mau. Entah kenapa ada beberapa baju Non Yunita yang Bu Bira simpan, maksudnya untuk kenang kenangan. Eh sekarang bisa dipakai Neng Tiara,"
*
Risman di tempat rumah barunya tak bisa memejamkan kedua matanya. Pertemuannya dengan Yunita tadi sangatlah membuatnya terguncang. Belum lagi memikirkan Tiara yang sekarang entah dimana. Tiara walau hanya anak angkat tapi sudah disayanginya sepenuh hati. Dan dianggapnya anak sendiri.
Ira hanya melirik pada suaminya yang gelisah dan gusar.
"Apakah Mas memikirkan Yunita?" Hati hati Ira bersuara.
"Apa kamu marah jika aku berterus terang pertemuanku dengannya tadi begitu mengguncang hati dan pikiranku?" Risman memandang pada Ira.
"Mungkin ya tapi aku akan mencoba untuk mengerti," ujar Ira menyusup ke dada suaminya.
Risman mengelus rambut perempuan baik hati yang telah menerima dirinya apa adanya. Bahkan saat dirinya terluka parah karena dihajar orang suruhan Erwin, Ira yang merawatnya hingga sembuh total.
"Diantara kami ada anak. Aku ingin tahu dimana anakku," sepasang mata Risman menatap langit langit kamar yang mereka tempati.
"Aku mengerti bagaimana rasanya memikirkan anak. Apalagi anak kandung sendiri, aku juga tengah memikirkan Tiara sekarang dimana. Walau dia bukan anak kandungku sendiri tapi aku sudah menganggapnya anak sendiri."
"Ya aku juga memikirkan anak itu, sayang tubuhku tak bisa segesit hari hari kemarin,"
"Bersabarlah aku akan coba bantu mencari Yunita untukmu,"
"Kau mau membantuku?" Risman mengecup rambut Ira. Istrinya ini memang luar biasa kebaikan hatinya.
"Ya kau suamiku. Milikku seorang dan aku percaya kamu nggak bakalan berkhianat janji pada Abah untuk menyayangiku sepanjang hidupmu,"
"Ya kau benar aku tak akan mengkhianatimu, aku tak akan berpaling darimu, tapi aku harus jujur padamu bahwa aku belum bisa melupakan Yunita. Kami memiliki hubungan yang dalam, dan terus terang aku tak pernah lupa janjiku juga pada Yunita untuk membesarkan anak kami, tapi semua hancur, saat dia muncul tadi membuatku ingin menemuinya. Aku tahu keadaanku tak memungkinkan untuk merajut cinta lama kami. Tapi aku tetap ingin bertemu untuk menanyakan keberadaan anakku ..."
Apa yang dikatakan Risman adalah sebuah kejujuran. Memang ada rasa tak nyaman saat suaminya mengatakan bahwa dia memiliki hubungan yang dalam dengan Yunita. Dan selalu ingat janjinya pada perempuan itu. Tapi Ira perempuan yang bersikap mengabdi pada suaminya berkat didikan abahnya yang taat pada agama.
"Jadi seandainya Risman dan Yunita ditakdirkan bersama lagi aku bisa apa?" Batinnya menahan sedih.
"Berserah pada Allah supaya engkau mendapat kebahagiaan, anakku. Mengabdi pada suami kewajibanmu. Membuat suami bahagia itu balasannya Surga ..." terngiang wejangan abahnya yang telah tiada.
Bersambung