Aryani Faizah yang sedang hamil tua mengalami kecelakaan tertabrak mobil hingga bayi yang ia kandung tidak bisa diselamatkan.
Sang suami yang bernama Ahsan bukan menghibur justru menceraikan Aryani Faizah karena dianggap tidak bisa menjaga bayinya. Aryani ditinggalkan begitu saja padahal tidak mempunyai uang untuk membayar rumah sakit.
Datang pria kaya yang bernama Barra bersedia menanggung biaya rumah sakit, bahkan memberi gaji setiap bulan, asalkan Aryani bersedia menjadi ibu susu bagi kedua bayinya yang kembar.
Apakah Aryani akan menerima tawaran tuan Bara? Jika mau, bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
"Dari mana kamu dapatkan handphone ini?" Barra bertanya ngegas. Memperlihatkan handphone di tangan, kepada supir pribadi nya itu.
Supir menoleh cepat, memandangi handphone yang ia letakkan di mobil, sudah pindah ke tangan Barra. "Tentu saja milik saya Tuan..." lirih supir menatap wajah Barra ketakutan.
"Jangan bohong! Walaupun kamu ganti model apapun, saya tidak akan melupakan handphone saya." Barra mulai terang-terangan mengakui jika handphone itu miliknya.
"Saya tidak bohong Tuan" Supir tetap keukeuh jika handphone itu miliknya.
"Jika handphone ini benar milik kamu, kapan kamu membelinya?" Barra bertanya begitu, karena handphone itu keluaran terbaru. Jika supir benar-benar membeli, tentu jawabnya tidak akan ngawur.
"Satu bulan yang lalu Tuan"
"Berapa harganya?" Desak Barra, sebenarnya ia sudah tidak mengingat lagi handphone yang hilang, tapi Barra tidak mau mempekerjakan pencuri di rumah nya.
"Berapa ya, saya lupa Tuan" Supir nampak berpikir.
"Kamu memang lupa, atau benar-benar lupa?" Barra tidak yakin, membeli hape baru satu bulan tapi tidak mengingat harganya. "Jika kamu tidak mau jujur, saya tidak segan-segan memecat kamu" Barra kehilangan kesabaran. Supir yang lebih tua darinya itu sebenarnya selalu Barra hormati, tapi Barra kini sudah kecewa. Yang biasanya selalu memanggil bapak, Barra merubah panggilan menjadi 'kamu.
"Saya hanya di kasih orang Tuan..." Akhirnya supir itu mengakuinya.
"Dikasih orang? Siapa" Barra sudah tidak sabar ingin melacak siapa pemilik hape yang sebenarnya.
"Maaf Tuan, saya mau jujur, tapi tolong jangan pecat saya..." supir seolah tahu apa yang Barra pikirkan. Supir minta belas kasihan, saat ini ketiga anaknya sedang sekolah, dan ketiganya membutuhkan biaya.
"Jujur soalnya apa?" Barra menangkap ada rahasia besar yang supir sembunyikan.
"Saya disuruh Nyonya Chana, agar mengawasi seisi rumah Tuan, terutama Faiz dan Tuan sendiri" Supir menceritakan, bahwa hape tersebut pemberian Chana sebagai imbalan.
"Terus kamu tahu, kenapa hape saya ini bisa ditangan Chana?" Barra ingin tahu, apakah supir ini terlibat dengan pencurian hape.
"Saya sama sekali tidak tahu dari mana Chana mendapatkan hape itu Tuan" jujur supir, ia juga tidak tahu jika hape tersebut harganya mahal. Supir menggunakan hape itu hanya sekali-kali saja, karena sering untuk mengerjakan tugas sekolah anaknya.
"Paaak... Pak. Seandainya bilang baik-baik minta hape, pasti saya belikan kok, tidak usah harus kerja sama dengan wanita macam Chana" Barra benar-benar kecewa dengan supir itu.
"Saya minta maaf Tuan, saya salah, sekali lagi jangan pecat saya" sesal supir, kenapa juga dia harus terpengaruh dengan kata-kata Chana. Padahal selama ini sudah enak bekerja bersama Barra. Selain gaji lebih besar dari bos lainnya, tuan Barra juga tidak pelit. Supir sering kali diberi uang tambahan, sudah mendapat uang makan pun, masih juga diajak makan bersama, tidak membeda-bedakan status sosial.
"Baiklah, kali ini saya maafkan, tapi jika sekali lagi kamu mengulangi, saya tidak akan memberi maaf untuk yang kedua kali."
"Saya mengerti Tuan, terima kasih" supir benar-benar mengakui kesalahan dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya.
"Ini, hape buat kamu saja" Barra mengembalikan handphone kepada supir. Supir itu lebih membutuhkan. Di jaman yang serba modern seperti sekarang, anak sekolah membutuhkan hape, kasihan anak-anak supir jika tidak bisa mengerjakan tugas.
"Tidak Tuan, hape ini milik Tuan" Supir akan membeli hape yang murah saja untuk anak-anak jika kelak ada rezeki.
"Jangan menolak, anak bapak lebih membutuhkan."
"Ya Allah... terima kasih Tuan..." supir berkaca-kaca, ia sudah berbuat kesalahan, tetapi Barra masih baik kepadanya. Supir itu aktifkan hape, mencari nomor handphone Chana kemudian dia blok.
"Sekarang kita jalan lagi" titah Barra, menatap supir yang masih menunduk ketakutan itu merasa kasihan.
"Baik Tuan" Supir pun mengangguk lalu menjalankan mobil kembali. Dalam mobil Barra memberi nasihat, walaupun supir itu lebih tua darinya, tetapi jika salah jalan, perlu diluruskan.
Waktu sudah sore, Barra tiba di halaman. Ia tersenyum lebar ketika pandanganya tertuju kepada calon istri sedang menyuapi si kembar di teras rumah. Faiz menopang bokongnya dengan lutut, di depan si kembar.
"Jagoan Abi lagi makan?" Barra membungkuk di depan si kembar. Bersebelahan dengan Faiz yang memegang tempat makan dan sendok.
Aroma wangi dari tubuh Faiz menguar ke hidung Barra. Pria itu rasanya ingin segera memeluk, tapi sayangnya belum halal.
Briurrr...
Barra kaget lalu berdiri tegak, karena wajahnya basah oleh semburan nasi tim dari mulut Rohman.
"Hahaha..." Barra tertawa lalu menarik sapu tangan dari saku untuk mengelap wajahnya.
"Memang begitu anak-anak Tuan, mereka sebenarnya tidak mau makanan padat" tutur Faiz, tapi walaupun begitu, ia tetap memberikan nasi walau hanya masuk sedikit. Faiz khawatir si kembar tidak doyan makanan sampai besar.
"Susu kamu itu memang lebih oke dari semua makanan Faiz" Barra terkekeh.
"Kebiasaan deh, orang lagi ngomong serius, tanggapannya bercanda" Faiz cemberut.
"Aku juga serius Faiz, buktinya tubuh anak-anak segar berkat asi kamu"
Briurrr...
Kali ini gantian Rohim yang nyembur, tapi Barra segera menjauhkan wajahnya.
"Telan sayang... jangan disembur-sembur" Faiz mengusap mulut si kembar dengan celemek yang mereka kalungkan di leher mereka.
"Kamu ini ya... Abi baru datang kok kamu sembur" Barra menyentuh hidung putranya satu persatu.
"Bi... Bi..." kedua anak itu mengangkat tangan ingin di gendong. Ketika Barra hendak mengangkat salah satu anaknya, Faiz menghalangi.
"Abi mandi dulu, baru gendong kami" Faiz mengecilkan suaranya.
Barra pun akhirnya mengalah, tapi sebelum masuk, meremas kerudung Faiz.
"Ya ampun..." Faiz berdecak sebal, sembari merapikan jilbabnya yang tidak lagi rapi.
"Mamam lagi yuk..." Faiz kembali menyuap si kembar bergantian.
"Mamam" Rohman melepeh nasi di mulut.
Tidak lama kemudian, Dilla yang baru selesai mandi pun muncul, ambil alih tempat makan dari tangan Faiz. Mereka dengan telaten menyuapi si kembar.
Aroma parfum pria tercium di hidung Faiz, ia segera menoleh ke belakang. Calon suaminya itu kini mengenakan pakaian santai tapi rapi. Celana panjang jins dan kaos kancing depan.
"Mau kemana lagi Tuan?" Tanya Faiz, Barra baru sebentar pulang, tapi sudah mau pergi lagi.
"Mau ke rumah Chana" jawabnya sembari mengenakan sepatu.
"Ke rumah Chana?" Faiz kaget, mau apa Barra ke sana segala, yang ada cari masalah.
"Aku mau kasih pelajaran wanita itu Faiz" Barra sudah tidak sabar melabrak Chana. Ia marah, Chana ternyata bukan pengacau saja, tetapi juga maling.
"Sudahlah Tuan, mendingan istirahat, Tuan kan capek" Faiz perhatian. Ia tidak tahu penyebab marahnya Barra saat ini, tapi sudah bisa dipastikan akan bertengkar nantinya.
"Aku tetap akan ke sana Faiz, agar wanita itu tidak mengganggu pernikahan kita nanti" pungkas Barra lalu pergi, tidak bisa di cegah.
...~Bersambung~...