Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.
Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.
Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.
Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?
silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Dominic masih terduduk di kursi besi bengkel, matanya menatap layar ponsel yang baru saja ia buka. Foto dari Rio. Seorang gadis berambut pirang bersama seorang pria tinggi, berjalan keluar dari mall dengan banyak tas belanjaan. Sekilas terlihat biasa, tapi bagi Dominic… dunia seperti berhenti berputar.
Jantungnya berdetak kencang, matanya membelalak. Bibirnya bergerak pelan, hampir berbisik,
“Elanor…”
Tangannya langsung refleks menekan nomor Rio. Sambungan cepat terhubung, dan suara Rio yang berat terdengar di seberang.
“Bos?”
“Rio… jangan sampe lo kehilangan mereka. Gue bakal nyusul sekarang.” Suara Dominic tegas, tapi nadanya terdengar parau.
“Siap Bos.”
Klik. Sambungan terputus.
Dominic menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ada perasaan campur aduk, marah, bingung, sekaligus takut kalau apa yang ia lihat tadi cuma tipuan. Tapi hatinya tak bisa dibohongi. Itu… itu matanya. Itu caranya berdiri. Itu Elanor.
Dengan napas berat, ia bangkit, meraih jaket kulit yang tergantung di kursi, dan menarik kunci motor Harley Davidson yang sudah lama hanya ia gunakan untuk keliling kota. Begitu mesin besar itu meraung, suara knalpotnya menggema di seluruh bengkel, membuat Dominic menggertakkan gigi.
“Gue bakal liat langsung… kalau bener itu lo, Ela, adik gue.”
Harley melaju, membelah jalan kota Olympus yang malam itu mulai ramai. Angin dingin menusuk wajahnya, tapi Dominic tak peduli. Fokusnya cuma satu: menyusul Rio.
---
Sementara itu, Rio sudah duduk di dalam mobilnya, menyalakan mesin begitu melihat mobil hitam yang ditumpangi Kimberley dan Nicholas keluar dari area parkir mall. Ia tersenyum tipis, menyalakan lampu kecil di dashboard, dan bergumam,
“Tenang aja, bos. Gue pasti akan mengikuti mereka kemana pun mereka pergi.”
Tangannya cepat membuka aplikasi peta, mengaktifkan fitur lokasi terkini, lalu mengirimkan tautan ke Dominic. Lampu belakang mobil hitam itu menjadi patokan matanya, sementara jarak ia jaga agar tak terlalu mencolok.
---
Di dalam mobil hitam itu, suasana cukup tenang. Kimberley duduk bersandar dengan santai, tangannya memainkan ujung rambut pirangnya sambil memandang keluar jendela. Kota Olympus berkelebat, lampu-lampu jalan memantul di kaca mobil, membawa sejuta kenangan yang samar.
Nicholas melirik sebentar ke arahnya sebelum kembali fokus ke jalan. Suaranya dalam, dingin seperti biasa.
“Where are we going, Miss Kimberley?”
Kimberley menoleh perlahan, tersenyum kecil, lalu menjawab santai.
“To a café… Café Verona.”
Nicholas mengerutkan dahi, menoleh singkat seakan ingin memastikan.
“A café?”
“Yes. It’s… an old place. Somewhere I used to go.”
Kimberley menatap kembali ke luar jendela, kali ini matanya sedikit berair. Bayangan Bella muncul dalam ingatannya. Tawa keras Bella, panggilan sayang “Lala” yang dulu selalu membuatnya merasa pulang, dan aroma kopi dari Café Verona yang khas. Semua itu menghantamnya sekaligus, membuat hatinya nyeri.
Nicholas memperhatikan dari sudut matanya, tapi tak bertanya lebih jauh. Ia tahu, ada beban masa lalu yang sedang kembali menghantui gadis itu.
---
Di belakang mereka, Rio terus mengikuti dengan sabar. Tangannya menggenggam erat setir mobil, sementara matanya tak lepas dari target. Ia melirik ke ponselnya sebentar, memastikan titik lokasi sudah bergerak sesuai jalur. “Ayo, bos. Cepetan. Gue udah kasih lo jalannya.”
Tak lama kemudian, di jalur berbeda, suara raungan Harley Davidson menggelegar. Dominic melaju kencang, tatapannya lurus menembus jalanan malam.
Mobil hitam itu akhirnya berbelok ke sebuah jalan yang lebih kecil. Jalan itu masih sama seperti dulu, diapit bangunan tua dengan cat yang mulai pudar, lampu jalan yang redup, dan deretan toko kecil yang tampak sepi. Kimberley menatap sekeliling dengan mata berbinar aneh, ada campuran antara nostalgia dan luka.
Di ujung jalan, sebuah café dengan papan kayu tua yang bertuliskan Café Verona muncul dalam pandangannya. Lampunya masih sama: hangat kekuningan, seperti pelukan yang dulu selalu menenangkannya.
Kimberley tersenyum tipis. “It hasn’t changed…” bisiknya pelan.
Nicholas menoleh. “What is this place to you?”
Kimberley menghela napas, lalu menjawab, suaranya lirih, “A place where I laughed the most… and cried the most.”
Mobil itu berhenti tepat di depan café. Nicholas turun lebih dulu, sigap membuka pintu untuk Kimberley. Begitu kakinya menjejak trotoar, Kimberley terdiam lama, memandang papan café itu. Hatinya berdegup kencang, hampir sesak. Dalam bayangannya, ia bisa melihat dirinya dulu, sebagai Elanor yang berlari ke pintu café, disambut Bella yang sudah melambai sambil berteriak, “Lala! Cepetan, Udah gue pesan inii!”
Air mata hampir jatuh, tapi Kimberley cepat-cepat mengedipkannya, menahan diri. Ia tak ingin Nicholas melihat kelemahannya terlalu jauh.
---
Beberapa meter di belakang, Rio yang memarkir mobil di sisi jalan mendecak kecil.
“Gila… beneran ke Café Verona. Gue inget banget tempat ini. Tempat nongkrongnya Elanor dulu sama Bella.”
Tangannya langsung mengambil ponsel, menekan nomor Dominic. Tak lama suara berat Dominic menjawab.
“Rio.”
“Bos, gue ikutin mereka sampe ke Café Verona. Lo tau kan itu tempat apa?”
Dominic terdiam beberapa detik di seberang, suaranya terdengar rendah tapi penuh ketegangan.
“…Gue tau. Lo jangan bikin gerakan aneh dulu. Gue bentar lagi sampe.”
“Siap, bos. Gue diem aja, ngumpet. Lo tenang.”
Rio menutup panggilan. Ia menyalakan sebatang rokok, menatap dari kejauhan. “Bos… kalo itu bener Elanor… berarti game bakal berubah total.”
---
Dominic sendiri sudah membelah jalan sempit dengan motornya, suara Harley meraung memecah malam Olympus. Jaraknya makin dekat. Di matanya, bayangan foto tadi masih jelas—senyum Kimberley, atau Elanor, atau siapa pun dia sekarang.
Hatinya gelisah.
“Lo… beneran balik, Elanor?”
---
Sementara itu, Kimberley sudah berdiri di depan pintu Café Verona. Nicholas berdiri tepat di sampingnya, masih tegak dan dingin.
Kimberley melirik ke arahnya, tersenyum kecil.
“Nico… shall we go in?”
Nicholas menatap pintu café, lalu mengangguk. “If that’s what you want, Miss.”
Tangan Kimberley sempat bergetar ketika mendorong pintu kayu itu. Pintu kayu Café Verona terbuka pelan, lonceng kecil berdenting. Kimberley melangkah masuk, napasnya tercekat. Matanya langsung tertuju pada sudut Ruangan, dimana meja yang dulu selalu ia duduki bersama Bella.
Dan di sana… duduk seorang gadis dengan rambut panjang terurai, mengenakan jaket denim lusuh, wajahnya lelah tapi tatapan matanya tetap menyimpan api yang sama seperti dulu.
Kimberley membeku. Bibirnya bergetar. Bella…
Seolah tersengat listrik, Bella mengangkat wajahnya ke arah pintu. Seketika matanya membesar, mulutnya terbuka tanpa suara. Kursi yang didudukinya hampir jatuh ketika ia berdiri terburu-buru.
“Lala…?” suaranya bergetar.
Dia berlari menghampiri, tanpa peduli dengan orang-orang di café yang menoleh heran. Tangannya langsung melingkar erat di tubuh Kimberley.
“Lala! Lo Lala kan? Lala yang gue kenal? Jangan bilang gue lagi halu…” Bella memeluknya semakin erat, seperti takut kehilangan lagi.
Kimberley menggigil, berusaha mati-matian menahan air mata yang sudah mendesak keluar. Tubuhnya ingin membalas pelukan itu, tapi tangannya tetap kaku di sisi tubuh.
Namun tiba-tiba—pelukan itu terlepas dengan kasar.
Nicholas berdiri di antara mereka, menahan Bella dengan tegas. Wajahnya dingin, suaranya keras dan terkontrol.
“Step back. Don’t touch her.”
Bella menatap Nicholas dengan marah. “Hei! Siapa lo?! Gue lagi ngomong sama dia!”
Nicholas menoleh ke Kimberley, matanya menelisik.
“Miss, are you alright?”
Kimberley mengangguk cepat, meski suaranya bergetar. “I’m fine, Nico. Don’t worry.”
Nicholas mengerutkan kening. “Do you know this woman?”
Kimberley terdiam. Ia menunduk, menggigit bibir, lalu akhirnya berbisik pelan, “Let’s go back to the hotel.”
Nicholas menatapnya sejenak, tapi tak bertanya lebih. Ia langsung meraih lengan Kimberley dengan hati-hati, menuntunnya keluar café.
Namun Bella tidak tinggal diam. Ia berlari mengejar, tangannya meraih pergelangan Kimberley dengan erat.
“Lala, please… jangan tinggalin gue lagi. Bilang kalau lo itu Lala. Gue mohon…”
Kimberley berhenti. Ia menoleh perlahan, menatap sahabat lamanya. Air mata sudah menggenang di matanya, tapi ia mencoba tegar. Dengan lembut, ia menyentuh tangan Bella, lalu melepaskannya dari pergelangan tangannya. Senyum tipis, getir, muncul di wajahnya, seolah berkata maafkan aku.
Bella hanya bisa berdiri terpaku, dadanya naik turun, menahan tangis yang hampir pecah.
Dan saat itu juga, suara raungan motor berat memecah suasana. Semua orang di depan café refleks menoleh. Dari ujung jalan sempit, sebuah motor Harley Davidson melaju kencang, lampunya menyorot tajam ke arah mereka.
Nicholas langsung waspada, tubuhnya bergerak melindungi Kimberley. Bella menahan napas, matanya membelalak.
Sementara Kimberley sendiri… jantungnya seakan berhenti berdetak.
Karena ia tahu siapa yang selalu datang dengan suara mesin itu.
Raungan mesin itu semakin dekat, menghantam telinga dan jantung sekaligus. Orang-orang yang duduk di teras café mulai berdiri, menyingkir pelan. Suasana jadi hening, hanya dentuman berat motor Harley yang terdengar.
Motor itu berhenti persis di depan Café Verona. Asap knalpot mengepul, suara mesin mendengung sebelum akhirnya mati.
Seorang pria tinggi turun perlahan dari motornya, melepas helm hitam yang menutupi wajahnya. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya dingin, rahang mengeras. Tatapan matanya menusuk, seperti pisau yang siap merobek siapa saja.
Nicholas berdiri tegak, tubuhnya otomatis bergeser menutupi Kimberley, otot-ototnya menegang waspada. Bella mematung di tempat, kedua tangannya menutupi mulut, nyaris tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Dan Kimberley atau Elanor hanya bisa berdiri kaku. Mata birunya bertemu langsung dengan tatapan kelam pria itu. Dunia seakan berhenti berputar.
Dominic.
Abang yang dulu menangisi makamnya.
Pria yang kini melihatnya hidup, berdiri tepat di depannya.
Mata Dominic membelalak, nafasnya memburu. Bibirnya terbuka, namun hanya satu kata yang keluar… serak, pecah, penuh luka.
Dominic turun dari motornya, langkah kakinya berat tapi pasti. Tatapannya hanya terarah pada sosok wanita berambut pirang yang sebagian tubuhnya terlindung oleh pria tinggi tegap di depannya. Bibirnya bergetar, suaranya pecah, seolah keluar dari lubuk hati yang sudah lama terkubur.
“Ela…” bisiknya, nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat udara sekitarnya ikut bergetar.
Dia maju selangkah demi selangkah, matanya memerah, ingin sekali menembus penghalang itu, ingin memeluk adiknya yang selama ini ia tangisi, ingin melepaskan semua derita yang menghantamnya tiga tahun terakhir.
Namun langkahnya terhenti. Sebuah tangan kokoh menahan dadanya. Nicholas berdiri tegap, tubuhnya tegangan penuh, matanya menajam waspada.
“Stop. Don’t come any closer,” suara Nicholas tegas, dalam bahasa Inggris.
Dominic mengerutkan alis, tidak mengerti satu pun kata yang diucapkan pria asing itu. Ia hanya tahu satu hal—pria ini menghalangi jalannya menuju Ela.
“Minggir!” Dominic menggeram, suaranya penuh emosi, matanya menatap tajam.
Nicholas tidak bergeming. “I said stop. Step back.”
Kesalahpahaman semakin memuncak. Dominic maju lagi, menepis keras tangan Nicholas, dan dalam satu gerakan cepat tinjunya melayang.
Bughhh!
Pukulan telak menghantam pipi Nicholas, membuatnya sedikit terhuyung ke samping. Orang-orang di café mulai menjerit kecil, sebagian berdiri untuk melihat lebih dekat. Bella membeku, mulutnya terbuka, tangannya menutup bibir.
Nicholas perlahan menoleh kembali, rahangnya mengeras. “Big mistake.”
Dan perkelahian pun pecah.
Tinju beradu dengan tinju, tubuh beradu tubuh. Dominic bertarung dengan amarah yang meluap, seolah setiap pukulan adalah pelepasan dari semua sakit yang ia simpan selama ini. Nicholas, meski tidak sepenuhnya mengerti situasinya, melawan dengan profesional, setiap gerakan disiplin dan terlatih.
Suara hantaman, desahan, dan kursi-kursi café yang terjatuh membuat suasana makin kacau. Orang-orang berlarian menjauh, sebagian merekam dengan ponsel mereka.
Dominic sempat menjatuhkan Nicholas sekali dengan pukulan keras ke rahang, namun pria asing itu bangkit lagi dengan cepat. Serangan balasan lebih teratur, lebih keras, hingga akhirnya tubuh Dominic terkapar di aspal depan café. Nafasnya tersengal, wajahnya berdarah, tangannya gemetar masih mencoba bangkit.
Nicholas kini berada di atasnya, lututnya menahan dada Dominic, tangan terkepal siap menghantam wajah lawannya sekali lagi. Mata Nicholas berkilat, penuh determinasi.
“ENOUGH!!!”
Suara Kimberley memecah udara.
Nicholas terhenti. Kepalan tangannya masih menggantung di udara, tapi matanya beralih ke arah tuannya. Kimberley berdiri di sana, bahunya bergetar, matanya berkaca-kaca.
“Please, Nico. Stop.”
Tanpa aba-aba lebih lanjut, Kimberley berbalik dan berlari masuk ke mobil hitam mereka. Nafasnya memburu, dadanya sesak. Nicholas perlahan bangkit, menatap Dominic sejenak, lalu bergegas mengikuti Kimberley masuk ke dalam mobil.
Bella yang sejak tadi hanya bisa terdiam akhirnya tersadar. Dia mengejar, berlari ke arah mobil yang sudah menutup pintu. Dengan tangan gemetar, ia menepuk-nepuk kaca jendela tempat Kimberley duduk.
“Lala!! Please… Lala buka jendelanya! Lalaaa, gue mohon… Itu lo kan! Itu lo kan, Laaa!!”
Tangis Bella pecah, suaranya melengking, tangannya terus menghantam kaca jendela. Orang-orang menatap dengan bingung.
Di dalam mobil, Kimberley menunduk, menggigit bibirnya keras-keras, mencoba menahan air mata. Namun ketika ia melihat bayangan Bella yang terus memohon lewat kaca, ketika ia mendengar suara sahabat lamanya itu, pertahanannya hancur.
Air mata akhirnya jatuh, mengalir deras di pipinya.
Nicholas masuk ke kursi kemudi, wajahnya masih tegang, tangannya cepat menyalakan mesin. Mobil melaju pergi meninggalkan café, meninggalkan Dominic yang masih terkapar dan Bella yang kini terduduk lemas di tengah jalan, menangis sejadi-jadinya.
Kimberley menoleh ke kaca spion. Dan di sana, samar-samar, ia melihat dua sosok yang dulu menjadi bagian dari hidupnya, yaitu sahabat dan kakaknya. Sosok yang kini tertinggal, menatap punggungnya yang menjauh.
Jemarinya mengepal di pangkuan. Bibirnya bergetar, hampir berbisik pada dirinya sendiri.
“I’m sorry…”
Mobil itu melaju, meninggalkan jejak luka baru yang lebih dalam dari yang sudah ada.
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭