Pernikahan mereka dimulai tanpa cinta,tapi juga tanpa pilihan.
Nadira mengira hanya butuh waktu untuk membuat Dewa jatuh hati. Sampai ia sadar, pria itu tidak takut dicintai, Melainkan tidak bisa.
Dewa menyimpan sesuatu yang bahkan Nadira tak berani bayangkan. Sebuah masalalu yang tersusun rapi,namun perlahan menuntut untuk di temukan. Setiap tatapan dingin,setiap diam,setiap luka...Semuanya, menyimpan satu kebenaran yang bisa menghancurkan mereka berdua.
Dewa menyembunyikan masa lalu yang bahkan lebih menyakitkan daripada kebohongan.
Di antara rahasia, pengkhianatan, dan cinta yang terlambat tumbuh, mereka harus memilih: bertahan dalam luka, atau melepaskan dalam kebenaran.
Namun, siapkah Nadira mengetahui setiap kebohongan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon heyyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Penelusuran Masalalu
Di kunjunganku yang kedua ke ruang konseling pernikahan itu, suasananya masih sama—hangat dan menenangkan. Tapi kali ini, aku datang bukan dengan harapan tinggi akan solusi, melainkan hanya ingin bicara. Aku ingin didengar, meski mungkin tidak ada yang bisa diubah.
Hans membuka buku catatannya dan menatapku, lalu tersenyum kecil.
“Jadi… Nadira. Aku sudah mendengar sedikit ceritamu sebelumnya. Tapi izinkan aku bertanya sesuatu—apa kamu datang sendiri karena suamimu tidak mau ikut, atau kamu memang memilih datang tanpa dia?”
Aku menatap meja di antara kami. Meja itu kecil, dengan tisu di sudutnya dan secangkir teh herbal yang belum sempat kusentuh.
“Dia tidak tahu. Aku tidak bilang.”
Hans mengangguk pelan. Lalu ia menyandarkan punggungnya dan mulai berbicara dengan nada yang lebih serius, namun tetap tenang.
“Sebenarnya, ini yang membuat proses ini cukup menantang. Karena dalam konseling pernikahan, kami biasanya bekerja dengan dua sisi. Tapi sekarang… aku hanya tahu dari ceritamu.”
Aku menggigit bibir, merasa bersalah. Tapi Hans tidak memberi kesan menyalahkan. Justru kalimat selanjutnya membuatku terdiam.
“Aku tidak bisa menilai apakah pernikahan ini hampa karena memang tidak ada cinta… atau karena ada sesuatu dalam diri suamimu yang belum selesai. Mungkin luka, trauma, atau bahkan ketakutan yang tidak pernah ia ungkap.”
Aku terdiam, merasa seperti hatiku perlahan mulai retak dari kalimat-kalimat itu. Karena… iya, aku juga tidak tahu jawabannya. Apa memang Dewa tidak bisa mencintaiku? Atau dia menyembunyikan sesuatu yang tidak pernah berani dia buka, bahkan padaku?
Hans melanjutkan dengan hati-hati, seolah tahu aku sedang berusaha menahan emosi.
“Satu-satunya yang bisa kita lakukan saat ini… adalah menelusuri jejak masa lalunya. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk memahami. Karena pemahaman adalah langkah pertama dalam menyembuhkan.”
Aku menatap Hans, perlahan mulai merasa bahwa mungkin… ini bukan tentang salah atau benar. Tapi tentang mencari potongan-potongan yang hilang. Potongan yang mungkin tersembunyi dalam diamnya Dewa.
“Kalau kamu bersedia,” lanjut Hans, “kita bisa mulai pelan-pelan. Kita cari tahu… apakah dia pernah menyakiti, atau justru pernah disakiti. Kadang jawaban dari masa lalu bisa menjelaskan kenapa seseorang seperti sekarang.”
......................
Setelah pulang dari konseling pernikahan, aku tiba dirumah pukul delapan malam, aku langsung masuk ke dalam rumah dan menuju dapur, aku lihat ada piring kotor bekas makananku, aku segera mencuci nya.
Aku mendengar suara langkah kaki seperti seseorang sedang menuruni anak tangga, aku yakin Dewa pasti sudah pulang, aku menyelesaikan cucian piringku lalu membuka tas belanjaan dan mengeluarkan beberapa makanan yang aku beli sebelum aku pulang, aku menatanya diatas piring dan berjalan hendak memberikannya kepada Dewa yang sedang duduk menonton tv.
Sama seperti biasanya, dia tidak melihat ke arah ku, hanya sibuk memilih film yang akan dia tonton.
"Aku membeli kue sebelum aku pulang tadi" Ku letakkan di atas meja tepat didepannya.
Lalu aku meninggalkannya sendiri, menaiki anak tangga dan bersiap untuk pergi tidur, aku tidak tau apakah malam ini dia akan kembali tidur di sofa, atau memutuskan untuk tidur di kamar ini bersama ku, karena kunci kamar ruang tamu di bawa oleh mbak yuni pulang ke kampung, kalaupun iya dia ingin tidur di sofa aku akan memberikan selimut agar Dewa tidak kedinginan.
Aku kembali turun ke bawah untuk mengambil air, sebenarnya itu alasanku saja, karena aku hanya ingin melihat keandaan Dewa di bawah, apakah dia sudah tertidur diatas sofa. saat menuruni anak tangga aku melihat Dewa masih menonton televisi, namun bukan itu yang mencuri perhatian ku, melainkan sepiring kue yang aku berikan untuknya telah habis dia makan. Aku sangat senang.