Di tengah gelapnya dunia malam, seorang Gus menemukan cahaya yang tak pernah ia duga dalam diri seorang pelacur termahal bernama Ayesha.
Arsha, lelaki saleh yang tak pernah bersentuhan dengan wanita, justru jatuh cinta pada perempuan yang hidup dari dosa dan luka. Ia rela mengorbankan ratusan juta demi menebus Ayesha dari dunia kelam itu. Bukan untuk memilikinya, tetapi untuk menyelamatkannya.
Keputusannya memicu amarah orang tua dan mengguncang nama besar keluarga sang Kiyai ternama di kota itu. Seorang Gus yang ingin menikahi pelacur? Itu adalah aib yang tak termaafkan.
Namun cinta Arsha bukan cinta biasa. Cintanya yang untuk menuntun, merawat, dan membimbing. Cinta yang membuat Ayesha menemukan Tuhan kembali, dan dirinya sendiri.
Sebuah kisah tentang dua jiwa yang dipertemukan di tempat paling gelap, namun justru belajar menemukan cahaya yang tak pernah mereka bayangkan.
Gimana kisah kelanjutannya, kita simak kisah mereka di cerita Novel => Penebusan Ratu Malam.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Keheningan yang sempat mencekam itu perlahan mencair, tertiup angin pagi yang membawa aroma tanah basah. Arsha menarik napas panjang, mencoba mengendurkan ketegangan di bahunya.
Ia tahu, kata-kata Ayesha barulah awal dari sebuah perjuangan yang sesungguhnya. Namun, melihat binar harapan yang sangat tipis di mata wanita itu, Arsha merasa memiliki kekuatan tambahan.
"Baiklah," ujar Arsha, memecah kesunyian dengan nada yang jauh lebih ringan. "Karena besok aku harus menempuh perjalanan jauh ke pesantren, aku tidak ingin meninggalkanmu di sini dengan perasaan was-was. Jefry masih berusaha mencarimu, Ayesha. Rumah ini sudah tidak aman lagi untukmu sementara waktu."
Ayesha menunduk, meremas ujung bajunya. "Tapi Arsha, aku tidak enak jika harus..."
"Anggap ini perlindungan, bukan pemberian yang mengikat," potong Arsha lembut. "Apartemen itu sudah disiapkan. Jauh lebih aman, memiliki pengamanan dua puluh empat jam, dan yang paling penting, Jefry tidak tahu keberadaannya. Hari ini, biarkan aku membantumu mengemasi barang-barang yang paling penting. Kita pindah sore ini juga."
Ayesha sempat ragu, namun bayangan wajah bengis Jefry yang menghantuinya selama beberapa malam terakhir membuat wanita itu akhirnya mengangguk pelan. "Terima kasih, Arsha. Aku akan bersiap."
Mereka mulai masuk ke dalam rumah. Rumah kecil itu terasa sunyi, menyimpan banyak kenangan pahit dan sedikit kenangan manis Ayesha bersama almarhumah ibunya. Arsha tidak merasa canggung. Ia segera menggulung lengan kemejanya hingga ke siku, menampakkan lengan yang kokoh, lalu mulai membantu Ayesha memilah barang.
"Arsha, kamu tidak perlu membersihkan bagian itu! Itu sangat berdebu," seru Ayesha saat melihat Arsha mulai meraih sapu dan kemoceng untuk membersihkan rak buku tua di sudut ruangan.
Arsha terkekeh, suara tawanya terdengar renyah di telinga Ayesha. "Debu tidak akan membunuhku, Ayesha. Justru kalau rak ini tidak dibersihkan, buku-bukumu akan rusak sebelum sempat dipindahkan. Kamu urus bagian pakaian dan dokumen penting saja."
Suasana yang tadinya kaku berubah menjadi hangat. Mereka bekerja dalam ritme yang tidak disangka sangat serasi. Arsha yang cekatan dan Ayesha yang mulai bisa melepaskan sedikit bebannya. Sesekali, Arsha melontarkan candaan kecil untuk memecah keheningan.
"Kamu tahu," ucap Arsha sambil berusaha meraih kotak di atas lemari tinggi. "Aku baru sadar kalau aku lebih berbakat jadi tukang bersih-bersih daripada jadi pengusaha."
Ayesha tertawa kecil, suara yang sangat jarang didengar oleh Arsha. "Jangan bicara sembarangan. Mana ada tukang bersih-bersih yang memakai jam tangan semahal itu?"
"Ah, ini?" Arsha melirik jam tangannya. "Ini hanya pengingat waktu agar aku tidak telat menjemput masa depanku."
Wajah Ayesha memerah seketika. Ia melemparkan sebuah bantal kecil ke arah Arsha yang langsung ditangkap pria itu dengan tangkas. Tawa mereka pecah, mengisi sudut-sudut rumah yang biasanya hanya dihuni oleh kesedihan.
Menjelang tengah siang, perut mereka mulai memberikan sinyal protes. Arsha menghentikan aktivitasnya sejenak dan menyeka keringat di dahinya.
"Aku akan memesan makan siang. Kamu ingin makan apa?" tanya Arsha sambil mengeluarkan ponselnya.
"Apa saja, Arsha. Aku tidak pemilih," jawab Ayesha yang tengah sibuk melipat beberapa helai pakaian ibunya ke dalam koper.
"Bagaimana dengan Nasi Padang? Aku tahu tempat yang sangat enak di dekat sini. Rendangnya juara," tawar Arsha dengan semangat.
"Boleh, itu terdengar sangat menggoda."
Arsha pun memesan melalui aplikasi online. Sambil menunggu pesanan datang, mereka duduk di lantai ruang tamu yang sudah sebagian besar bersih. Cahaya matahari masuk melalui jendela, memantulkan debu-debu halus yang menari di udara.
"Ayesha," panggil Arsha pelan.
"Ya?"
"Terima kasih sudah memberiku kesempatan. Aku tahu ini berat bagimu, mempercayai seseorang lagi setelah semua yang terjadi. Aku menghargai keberanianmu lebih dari apa pun."
Ayesha menatap tangannya yang kotor karena debu. "Aku hanya merasa... jika aku terus berlari, aku tidak akan pernah sampai ke mana pun. Kamu adalah orang pertama yang tidak memintaku untuk melupakan masa lalu, tapi mengajakku berjalan bersama. Itu yang membuatku ingin mencoba."
Tak lama kemudian, kurir makanan datang. Arsha bergegas keluar untuk mengambil pesanan. Mereka makan di atas hamparan koran bekas yang mereka gelar di lantai. Tidak ada meja makan mewah, tidak ada pelayan, hanya ada dua jiwa yang mencoba saling memahami di tengah kesederhanaan.
Arsha dengan telaten membukakan bungkusan nasi untuk Ayesha, memastikan wanita itu mendapatkan porsi rendang yang lebih besar. Mereka makan dengan lahap, sesekali masih diselingi tawa ketika Arsha menceritakan pengalamannya saat di pesantren dulu, tentang bagaimana ia sering dihukum karena ketahuan membaca buku filsafat di saat jam pelajaran kitab kuning.
~~
Sore hari tiba, matahari mulai condong ke barat, menciptakan semburat warna jingga di langit. Rumah itu kini tampak jauh lebih rapi, meski banyak sudut yang kosong karena barang-barangnya sudah masuk ke dalam kardus dan koper.
Arsha membantu Ayesha memasukkan barang-barang tersebut ke dalam mobilnya. Ia memastikan tidak ada yang tertinggal, terutama barang-barang kenangan milik ibu Ayesha.
"Sudah siap?" tanya Arsha sambil memegang pintu mobil untuk Ayesha.
Ayesha menoleh ke belakang, menatap rumah tuanya untuk terakhir kali sebelum mereka berangkat. Ada rasa sesak, namun ada juga rasa lega. "Siap."
Perjalanan menuju apartemen baru itu memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Apartemen tersebut terletak di kawasan yang cukup elit dengan sistem keamanan yang sangat ketat. Arsha membawa Ayesha menuju lantai dua belas.
Saat pintu apartemen dibuka, Ayesha terpaku. Apartemen itu tidak terlalu besar, namun sangat modern, bersih, dan memiliki pemandangan kota yang indah dari balkonnya. Yang lebih mengejutkan, Arsha sudah menyiapkan beberapa kebutuhan dasar seperti bahan makanan di kulkas dan perlengkapan ibadah yang baru di atas tempat tidur.
"Ini terlalu banyak, Arsha..." bisik Ayesha haru.
"Ini hanya fasilitas sementara agar kamu tenang. Jangan dipikirkan," ujar Arsha santai. Ia meletakkan koper Ayesha di dalam kamar. "Mulai malam ini, tidurlah dengan nyenyak. Jefry tidak akan bisa menyentuhmu di sini. Aku sudah memesan pihak keamanan untuk tidak mengizinkan siapa pun naik tanpa izin dariku atau darimu."
Arsha kemudian berjalan menuju pintu keluar, karena ia tahu ia tidak boleh berlama-lama di sana demi menjaga kehormatan Ayesha.
"Aku harus pergi sekarang. Aku harus bersiap untuk pulang ke pesantren besok pagi," ucap Arsha sambil berdiri di ambang pintu.
Ayesha mendekat, menatap Arsha dengan tatapan yang kini jauh lebih lunak. "Hati-hati di jalan, Arsha. Dan... sampaikan salamku untuk orang tuamu, meski mereka belum mengenalku."
Arsha tersenyum, sebuah senyuman yang sangat tulus. "Akan kusampaikan. Aku akan menceritakan tentang wanita hebat yang kutemui di tengah badai."
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang rendah namun penuh keyakinan. "Tunggu aku, Ayesha. Jika Allah mengizinkan, lusa aku akan kembali dengan kabar bahagia. Tapi jika tidak, ingatlah bahwa kamu tetap berharga, dengan atau tanpa aku di sisimu."
Ayesha mengangguk, matanya berkaca-kaca. Ia melepaskan Arsha pergi. Saat pintu apartemen tertutup, Ayesha menyandarkan punggungnya di pintu tersebut. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa benar-benar aman.
Di luar, Arsha berjalan menuju lift dengan dada yang bergemuruh. Besok adalah pertaruhan terbesarnya. Ia akan berhadapan dengan Abi, seorang kiai kharismatik yang sangat menjunjung tinggi nasab dan kesucian, serta Ummi yang begitu menyayanginya. Ia akan membawa kejujuran yang pahit, namun ia yakin, kejujuran itulah yang akan membebaskan mereka.
Arsha menatap langit malam dari dalam mobilnya, membisikkan doa singkat sebelum menyalakan mesin. "Ya Allah, jika ia adalah ketetapan-Mu, mudahkanlah jalan kami."
...----------------...
Next Episode....
duh Gusti nu maha agung.... selamatkan keduanya.