Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.
Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak Ketujuh
#07
Tongkat besi itu meluncur deras ke arah batok kepala Widura, sementara, pemuda Blambangan itu sudah tak berdaya. Jarak antara tongkat besi dan kepala Widura tinggal beberapa jengkal lagi, nasib pemuda itu di ujung tanduk, akan tetapi, Si Cebol membelalakkan mata manakala ujung tongkatnya membentur sesuatu yang cukup keras.
“TTRRAANNGG !!”
Bunga api memercik, Si Cebol yang mengaku bernama KI TENGKES itu lebih terkejut lagi saat mengetahui bahwa ada sebuah golok lebar dan besar telah menahan laju tongkatnya. Si pemegang golok ternyata adalah temannya sendiri.
“MAHALI, Si GOLOK SETAN TERBANG ! Apa maksudmu menghalangiku membunuh pemuda ini ?” tanya si Cebol geram, “Bukankah, orang ini harus dibunuh seperti yang diperintahkan olehnya ?”
“Benar,” kata si pemegang golok yang dipanggil dengan nama Mahali itu, “Akan tetapi, aku tak suka caramu mengalahkan dia,” sambungnya.
“Apa pedulimu ? Yang penting dia harus dibunuh dengan cara apapun, setelah itu selesailah tugas kita. Bunuh, selesai,” sahut Ki Tengkes.
“Benar. Tapi, jika kau yang membunuhnya.... bagaimana dengan kami ? Bukankah kau sendiri yang mendapat untung ?”
“Oh, aku mengerti sekarang... jadi, kalian juga menginginkan bagian dari Juragan Gurindar, begitu ?” kata Ki Tengkes, “Maaf. Seumur hidupku yang kukejar adalah uang, emas, berlian dan permata. Masalah nama dan ketenaran adalah urutan kedua. Itulah sebabnya, saat Gurindar menawarkan pekerjaan ini dengan bayaran yang tinggi, tak ragu menerimanya. Nah, sebenarnya, aku saja sudah cukup untuk membunuh pemuda bernama Widura itu dan aku tidak butuh kalian. Ilmu anak muda ini, biasa – biasa saja, kepandaiannya jauh berada di bawahku... apalagi kau yang hanya pembunuh bayaran kelas teri,” kata Ki Tengkes sambil kembali hendak menghujamkan tongkatnya ke kepala Widura, namun ...
“Ttrraanngg !!”
Tangan Ki Tengkes kesemutan, tongkatnya nyaris terlepas dari pegangan oleh serangan yang tiba – tiba itu. Ia kini benar – benar naik pitam, sorot matanya menyala – nyala saat beradu pandang dengan MAHALI. “Jadi, kau berniat untuk mengadu jiwa denganku Mahali ?”
“Maaf, Tengkes ... kalau memang itu yang harus kita lakukan, akupun tidak akan segan – segan lagi. Kau pikir, hanya kau saja yang ingin uang ? Aku juga menginginkannya,” ujar Mahali Si golok Setan Terbang sambil menodongkan goloknya yang besar dan lebar itu lurus – lurus ke depan.
“Kurang ajar ! Terimalah seranganku ini ! Hiat !!”
Ki Tengkes berteriak lantang sambil melompat tinggi ke udara, tongkatnya bergerak cepat menyodok, memukul kesana – kemari setiap kali tongkat itu bergerak terdengar suara aneh di sela – sela deru angin juga terdengar suara seperti orang berteriak, menangis, merintih sesekali pula terdengar suara tawa. Mahali tidak tinggal diam, dengan goloknya, ia menangkis setiap serangan Ki Tengkes.
“Trang ! Ttrraanngg !! Tttrrraaannnggg !!!”
Dua senjata saling bertemu, berbenturan dan sesekali pula bergesekan. Benturan demi benturan menimbulkan percikan bunga – bunga api sementara, si pemiliknya berlompatan kesana – kemari ... bagai 2 sosok kelelawar raksasa terbang di angkasa. Sesekali mereka melompat mundur, sesekali pula mereka saling serang dengan gencar. Tanpa terasa puluhan jurus berlalu, tapi, tidak ada tanda – tanda siapa yang menang atau kalah. SEIMBANG.
Sementara itu, di tempat yang agak jauh dari arena pertarungan, tampak 2 sosok bayangan, berjalan mengendap – endap menghampiri Widura yang masih tergeletak tak berdaya. Mereka ternyata adalah Kentor dan Mamut abdi setia dari Raden Permadi. Mereka pun sudah sampai di tempat itu dan menyaksikan semua yang telah terjadi.
“Tor, mumpung mereka sedang bertarung, mari kita habisi saja pemuda bernama Widura itu,” kata Mamut.
“Ya, ini kesempatan baik, setelah kita bunuh, kita bawa saja kepalanya ke hadapan Juragan Gurindar,”
Baru saja ia hendak menyentuh tubuh Widura mendadak 2 kilatan cahaya putih meluncur ke arah mereka. “Hei, awas, Tor !!” teriak Mamut.
“SING ! SING !!”
Kentor dan Mamut nyaris saja terkena kilatan cahaya putih itu, untungnya, mereka masih sempat mengelak dan cahaya putih tersebut menancap tak jauh dari tempat dimana Widura terbaring. 2 buah pisau belati bergagang kayu berukiran ular kobra, senjata rahasia ciri khas milik MAHALI, SI GOLOK SETAN TERBANG.
“Kalian jangan coba – coba mendekati ataupun menyentuh orang itu atau nyawa kalian taruhannya,”
“Ma... Mahali, Si Golok Setan Terbang,” kata Mamut, “Gila... padahal dia sedang bertarung dengan Ki Tengkes. Tapi, ternyata perhatiannya tak luput dari tubuh anak muda ini,”
“Benar, Mut... 2 pisau itu adalah miliknya. Untung kita sempat mengelak... kalau tidak, kita pasti mati ditikam pisau itu,” sahut Kentor.
“Tak heran dia dijuluki SI GOLOK SETAN TERBANG, rupanya, selain pandai memainkan senjata tajam, juga bertelinga tajam. Bagaimana ini, Tor ? Apa yang harus kita lakukan, Tor ?” tanya Mamut.
“Sebenarnya, Gusti Raden Permadi Cuma memerintahkan kepada kita untuk mengawasi saja gerak – gerik pemuda yang bernama Widura itu ? Bukan membunuhnya ? Semula aku berpikir dengan membawa kepalanya ke hadapan Juragan Gurindar, kita bisa mendapatkan banyak uang dan tidak perlu lagi mengikuti Gusti Raden Permadi dan Neng Shakila. Dengan uang itu kita bisa membuka tempat usaha sendiri. Tapi, kita lupa bahwa mereka, para pengepung Widura adalah orang – orang pilih tanding. Lebih baik kita melihat perkembangan selanjutnya saja daripada kehilangan nyawa. Bagaimana menurutmu, Mut ?”
“Terserah, Tor. Aku ikut kau sajalah. Hei, lihatlah, ada orang lain menghampiri Widura,” kata Mamut.
“I.. Iya. Tapi, siapa dia ? Tubuhnya tinggi kurus,” kata Kentor.
“Mana aku tahu, Tor... Wajahnya tertutup cadar. Nah... nah, lihatlah ada seberkas cahaya putih melesat ke arahnya,” ujar Mamut.
“Iya, aku tahu tapi, lihatlah dia menangkap cahaya itu dan melemparkan balik ke arah...
Mahali,”
“SING ! SSIINNGG !!”
“Mahali... kau pikir aku adalah orang bodoh seperti 2 orang tadi ? Tidak. Sekarang juga aku akan membunuh pemuda Blambangan ini dan meminta hakku pada Gurindar,” kata bayangan itu sambil mengangkat tangan kirinya yang membentuk cakar tinggi – tinggi ke udara dan bergerak cepat hendak menyambar dada Widura.
“Dia milikku keparat !” seru Mahali sambil mengayunkan tangan kirinya ke udara. Beberapa kilatan cahaya meluncur bak anak panah ke arah bayangan bertubuh tinggi kurus itu. Disusul kemudian oleh tubuhnya yang berkelebat cepat menyusul cahaya – cahaya yang berada di depannya. Akan tetapi, Ki Tengkes sudah menghadangnya.
“Urusanmu denganku belum selesai, Mahali !!” seru Ki Tengkes sambil memutar – mutarkan tongkat besinya. Suara deru angin yang aneh terdengar dan mengurung tubuh Mahali, bersamaan dengan itu tercium aroma aneh pula, menyebar ke pelbagai penjuru mata angin. Mahali masih tampak tenang, ia memegang goloknya erat – erat.
“Aku sudah bosan berurusan denganmu CEBOL RAJABASA. Nah, rasakanlah ini !! HIAATT ....” kata Mahali sambil memutar – mutarkan tubuhnya yang seakan dikelilingi oleh cahaya putih keperakan, meliuk – liuk bagai seekor naga.
Ki Tengkes terkesima, melihat tubuh Mahali yang berputar – putar di udara dikelilingi oleh kilatan benda tajam. Ia tampak bagai sebuah roda bergerigi atau cakra yang membelah udara. Ia berusaha menyambut serangan itu dengan tongkatnya. Tapi, sama sekali tak disangkanya dari putaran roda bergerigi itu meluncur kilatan – kilatan cahaya putih keperakan. Ada lebih kurang 5 cahaya, 2 cahaya meluncur ke arah bayangan hitam bertubuh tinggi kurus itu sementara yang lain meluncur deras ke kepala, dada dan lambung Ki Tengkes.
“SING ! SING ! SING !”
Ki Tengkes tidak sempat mengelak, darah menyembur keluar dari kepala, dada dan lambungnya, maka seketika itu tubuhnya limbung, berkelonjotan dan akhirnya roboh tidak bergerak – gerak lagi, tongkat besinya hancur berantakan. Semua yang ada di tempat itu berseru ngeri terlebih setelah melihat bayangan hitam yang berada tak jauh dari Widura. Kepala terpisah dari tubuhnya yang bersimbah darah.
“Tor, pria cebol dan orang bertubuh tinggi kurus itu roboh. Hebar sekali, ya orang yang bernama Mahali itu ? Coba kalau kita nekat, mungkin nasib kita sama dengan mereka,” kata Mamut dengan suara gemetar.
“Sekarang, tinggal kita bertujuh, siapakah diantara kalian yang bersikeras ingin membunuh pemuda Blambangan itu ?” tanya Mahali kepada 6 sosok bayangan hitam yang berdiri tak jauh darinya.
Salah satu dari 6 bayangan itu melangkah maju. Dia bertubuh ramping. Dari perawakan tubuh dan suaranya yang cenderung merdu, siapapun bisa menebak bahwa, dia adalah seorang wanita, “Kali ini urusannya lain, Mahali...” ujarnya.
“Hm, aku tak menyangka bahwa diantara kita ada seorang wanita,” sahut Mahali.
“Terus, kenapa ? Apakah karena ada seorang atau lebih wanita diantara kita, lalu kau meremehkan orang yang berdiri di hadapanmu ?”
“Apakah kau juga menginginkan bayaran dari Juragan Gurindar ?” tanya Mahali, “Saranku, sebaiknya kau pergi dari sini tak pantas kiranya seorang wanita bekerja sebagai pembunuh bayaran,”
“Lancang sekali mulutmu, Mahali.... Apakah kau sudah lupa dengan apa yang diperintahkan oleh junjungan kita sebelum melakukan tugas ini ?”
“Tentu saja, aku mengingatnya : rapi, bersih dan jangan ada saksi. Sayangnya, aku sama sekali tidak beranggapan bahwa Gurindar itu adalah junjungan. Aku bekerja untuk diriku sendiri, bukan untuk orang lain. Dan aku selalu menjalan tugasku secara bersih, rapi, cermat dan teliti. Maka dari itu, aku tidak ingin berbagi hasil dengan siapapun. Apakah kau mengerti ?”
“Kalian berdua,” suara itu datang dari arah belakang, “Hentikan pertengkaran diantara orang sendiri,”
Mahali dan yang lain menoleh, si pemilik suara itu juga memiliki tubuh yang ramping namun tinggi badannya hanya terpaut sedikit saja dengan sosok yang berbicara dengan Mahali.
“Apakah pembunuh bayaran wanita sekarang lebih diminati daripada pria ?” tanya Mahali dengan nada mengejek.
“Tutup mulutmu dan lihatlah kesana dimana orang Blambangan itu tergeletak. Kemana dia ?”
“Kurang ajar, apakah dua orang tolol itu yang membawanya ?” sahut Mahali sambil melompat ke tempat dimana Widura tadi pingsan diikuti dengan yang lainnya.
“Kurasa, tidak... 2 orang itupun juga sudah tidak ada di tempat mereka berada. Mari kita menyebar dan mencarinya,”
Keenam sosok bayangan itu berkelebat dan mulai mencari. Tapi, Widura, Kentor dan Mamut berikut kuda tunggangan Widura sudah tidak kelihatan. Mahali geram sekali, berulang kali ia menyumpah – nyumpah. Tapi, tidak menemukan Widura. Mereka seakan hilang ditelan bumi.
..._____ Bersambung ____...