Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep.1 : Genangan Darah
Kondisi di balik lereng Gunung Wening sudah tak terkira berantakannya. Desingan peluru, letupan bom, manusia-manusia yang terbunuh tubunya bergelimpangan di sembarang tempat. Serangan dadakan yang dilancarkan Belanda ke Padepokan Giri Wening di saat matahari baru saja terbenam membuat anggota padepokan kelimpungan karena belum sempat mengatur persiapan menghadapi serangan itu. Tak heran, jumlah korban terbanyak dari pihak Padepokan. Belum lagi, Belanda menyerang dengan menggunakan senjata. Sungguh tak seimbang dengan senjata ala kadarnya yang digunakan anggota padepokan.
"Yudis, bagaaimana guru?," teriak Dhyas di bawah desingan peluru.
Yudis yang baru saja menghantam seorang serdadu dengan pukulan telak melirik Dhyas sekilas,
"Guru sudah aman. Pak De Rusdi sudah membawanya ke persembunyian," teriak Yudistira.
Dhyas mengangguk. Keduanya kembali terlibat perlawanan sengit itu.
"Ras, awas!," Yudistira melemparkan sebatang kayu ke arah serdadu yang hampir saja membidik kepala Raras. Raras yang sementara bertarung tangan kosong dengan serdadu lainnya sama sekali tak menyadari itu.
Raras menunduk secepat kilat. Peluru yang diarahkan ke Raras meleset. Raras selamat. Dengan satu tendangan kakinya mengenai rahang serdadu yang dilawannya tadi. Telak dan terjungkal.
Serdadu semakin mendekat ke arah Padepokan. Ini yang ditunggu.Anggota Padepokan sudah punya kejutan menanti.
"Sudah saatnya," seru Arya. Seruan itu ditujukan kepada Cakra. Tapi yang dituju tak terlihat. Arya mengedarkan pandangannya ke sekitar.
Di dekatnya ada Dhyas yang sementara adu tangan kosong dengan dua serdadu sekaligus. Arya berlari ke arah depan sambil terus menghindar dari serangan peluru.
"Kamu lihat Cakra?," Arya menarik bahu temannya yang baru saja menjatuhkan satu serdadu.
"Dia ada di paling depan sepertinya," jawab temannya sambil menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya.
Arya menatap ke depan sambil mencari celah untuk maju mendekati Cakra. Alat yang mereka buat yang menyerupai tank itu hanya bisa dioprasikan oleh Reynald, penciptanya. Harusnya, dengan posisi seperti ini,Cakra sudah menjalankan alat itu.
Dhyas berteriak sembari memberikan tendangan udara yang melibas dua serdadu itu sekaligus. Dua serdadu tersungkur tak bergerak di tanah.
"Ciihh," Dhyas meludah membuang tetesan darah yang sudah keluar di sudut bibirnya.
Dengan menunduk Dhyas berpindah tempat. Dhyas ternyata juga mencari posisi Cakra.
"Yudis, Cakra mana?," teriak Dhyas. Yudistira yang sempat berlindung di balik sebuah pohon tak jauh dari Dhyas, menjawab dengan terengah-engah,
"Sepertinya sudah di barisan paling depan. Arya menyusulnya," jawab Yudistira yang mulai kelelahan.
"Astafitrullah," Dhyas terperanjat. Reflek gerakan kakinya langsung menuju ke arah depan. Beberapa serdadu mencoba menghentikan langkahnya, tapi Dhyas bisa menghindar peluru dengan berguling di tanah. Lewat desingan peluru, Dhyas bangkit sambil setengah menunduk terus berlari.
Matanya sudah menangkap bayangan Cakra. Postur tinggi tegapnya sangat mudah dikenali. Dhyas berusaha mendekat. Di sana sudah ada Arya juga. Cakra dan Arya terlibat pertempuran dengan para serdadu. Jumlah yang tak sebanding. Mereka berdua melawan belasan serdadu. Dhyas menambah kecepatannya. Dengan gerakan tangan dan kakinya yang cepat, pukulan dan tendangan bertubi-tubi diberikan kepada serdadu yang ada di sana. Mereka tumbang satu per satu.
"Cakra, segera mundur ke Padepokan. Sekarang saatnya," teriak Dhyas.
Cakra menengok sebentar dan mengangguk. Cakra mulai mencari celah untuk mundur. Dhyas berusaha menjadi tameng melindungi Cakra. Arya yang melihat Dhyas menjadi tameng, berusaha mendekati Dhyas. Keduanya kini berada di jarak yang cukup dekat sambil terus memberi perlawanan. Sementara Cakra terus mundur sambil terus menghindari serangan. Mereka bertiga tinggal sedikit lagi hampir tiba di depan Padepokan lalu mata Dhyas menangkap suatu poergerakan serdadu yang mengangkat senjata membidik Cakra yang sedang berlari menunduk ke arah pintu Padepokan.
Secepat kilat Dhyas berlari menutupi tubuh Cakra berlomba dengan kecepatan peluru. Doorrr!! Dhyas terhuyung ke belakang sambil memegang dadanya yang mengeluarkan darah merah. Cakra terkejut mendengar tembakan dan menengok ke belakangnya. Dhyas sementara berjuang agar tidak jatuh. Arya yang melihat itu, mengambil senjata dari serdadu yang baru saja dijatuhkannya dan tanpa ampun langsung menembak serdau yang menembak Dhyas.
"Dhyas. Dhyas," Cakra memegang lengan Dhyas,
"Teruskan saja. Aku tidak apa-apa," Dhyas menahan sakit.
"Kamu terluka,"
"Jangan buang waktu, Cakra. Mereka akan merobohkan Padepokan," Dhyas mendorong tubuh Cakra. Dengan langkah terpaksa, Cakra berlari masuk ke halaman Padepokan. Dhyas berusaha mencari perlindungan dari serangan. Teman-temannya yang lain juga sudah mulai dekat ke arah halaman Padepokan. Mereka berhasil menggiring para serdadu itu untuk dijebak.
Cakra melakukan persiapan pada alat yang diciptakannya. Tangannya gemetar, keringat dingin mengucur deras didahinya. Dia dikejar waktu. Dia dikejar rasa ingin menyelamatkan Dhyas. Dia dikejar tuntutan menyelamatkan Padepokan kebanggan mereka itu.
"Cakra cepat lakukan!," teriak Yudistira.
Arya melihat Dhyas yang sudah mulai tersungkur dengan tangan dan dada yang berlumuran darah. Arya berlari untuk melindungi Dhyas.
Pasukan serdadu semakin dekat. Tangan Cakra semakin gemetar.
"Cakra, cepat!," suara Arya bergetar.
Alat yang Cakra buat mengeluarkan senjata. Seketika semua terhenti mencari arah suara. Anggota Padepokan segera berlari ke tengah dan membentuk lingkaran. Arya membopong tubuh Dhyas. Para serdadu kebingungan.
Suara kedua terdengar. Dengan kecepatan langkah yang mereka miliki, anggota Padepokan berlari masuk ke halaman diiringi suara dentuman besar yang mengejutkan. Asap tebal menyelimuti depan halaman Padepokan. Alat itu seperti mengeluarkan bom besar dari dalamnya dan menghantam pasukan serdadu yang sedang kebingungan melihat kejadian itu. Alhasil, tak ada satupun dari mereka yang selamat.
"Allahuakbar!!!," teriak mereka semua.
"Merdeka!!," teriak satu orang.
"Merdeka!!!!," timpal yang lain.
Tubuh Dhyas terkulai lemas. Dhyas pingsan.
"Dhyas... Dhyas..bangun," Arya berusaha mempertahankan tubuh Dhyas yang sudah lunglai.
Cakra menoleh dan refleks langsung turun dari alat yang dia ciptakan, berlari menuju Dhyas. Cakra menarik tubuh Dhyas dari Arya,
"Yas..Dhyas.. Bangun!! Yas...," Cakra menepuk pipi Dhyas. Tubuh Dhyas mulai terasa dingin. Tubuhnya tidak berekasi lagi.
Anggota lain mendekati.
"Yas.. tolong sadar..," ucap Cakra sangat khawatir.
"Peluru sepertinya sudah menembus organ vitalnya," ucap Yudistira sambil menekan nadi Dhyas.
"Tidak. Tidak boleh. Yas, bertahan. Yas bangun!," Cakra meneteskan air matanya.