Malam itu menghancurkan segalanya bagi Talita —keluarga, masa depan, dan harga dirinya. Tragedi kelam itu menumbuhkan bara dendam yang ia simpan rapat-rapat, menunggu waktu untuk membalas lelaki keji yang telah merenggut segalanya.
Namun takdir mempermainkannya. Sebuah kecelakaan hampir merenggut nyawanya dan putranya— Bintang, jika saja Langit tak datang menyelamatkan mereka.
Pertolongan itu membawa Talita pada sebuah pertemuan tak terduga dengan Angkasa, lelaki dari masa lalunya yang menjadi sumber luka terdalamnya.Talita pun menyiapkan jaring balas dendam, namun langkahnya selalu terhenti oleh campur tangan takdir… dan oleh Bintang. Namun siapa sangka, hati Talita telah tertambat pada Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Intro_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Angkasa dan Talita Orang Tua Bintang (di atas Kertas)
Pagi masih gelap, embun menempel di kaca jendela kamar Langit. Lampu meja menyala temaram, menyoroti wajah pucat Langit yang terbaring tak berdaya dengan selang oksigen menutup mulutnya. Kamila duduk di samping ranjang, mengusap kening putranya dengan mata berkaca-kaca.
“Langit, Mama harus pergi sebentar…” bisiknya lirih. “Ada urusan bisnis di California yang tidak bisa ditunda. Tapi Mama janji, kamu tidak akan sendirian. Ada Talita dan perawat yang akan menjagamu.”
Tangannya berhenti sejenak, seakan enggan beranjak, lalu ia berdiri. Dengan langkah cepat tapi hati berat, Kamila meninggalkan kamar itu.
^^^^^
Di kamar lain, Angkasa masih terlelap. Suara dengung AC menemani tidurnya. Kamila masuk dengan langkah mantap, lalu menepuk bahunya keras.
“Bangun, Angkasa.”
Angkasa meringis, mengerjap, lalu menoleh dengan wajah kusut. “Mama… ini jam tiga pagi. Apa tidak bisa besok saja?” suaranya serak, kesal.
“Kamu harus antar Bintang sekolah. Mulai hari ini dia masuk PAUD. Mama ingin kamu yang mengantar, biar tiap pagi kalian bersama.”
Angkasa langsung terduduk, wajahnya menegang. “Sekolah? Anak itu? Mama bangunkan aku jam tiga pagi hanya untuk ini?” nada suaranya tajam, tapi tidak sampai membentak. Bagaimanapun, ia masih tahu batas pada ibunya.
Kamila menatap putranya tajam. “Kamu harus belajar bertanggung jawab, Angkasa. Jangan cuma kerja dan main. Bintang akan ada di rumah ini. Dia bagian dari kita.”
“Bagian dari kita? Mama sudah gila?” gumam Angkasa dalam hati, tapi ia tidak berani melawan lebih jauh. Ia hanya mengusap wajah, menahan amarah.
Sebelumnya, Kamila dan Talita telah duduk bersama dalam percakapan panjang di ruang tamu. Kamila bersikeras bahwa Bintang harus bersekolah di PAUD, karena itu bukan sekadar tempat bermain, tapi ruang untuk menumbuhkan bakatnya sejak dini, agar kelak ia tumbuh menjadi anak yang membanggakan. Kamila juga sadar, bahwa Bintang adalah satu-satunya harapan Talita . “Seorang anak berhak punya kesempatan, agar dia menjadi orang sukses dan membanggakan. Dia tidak boleh gagal, karena dia harapan besarmu.” ucap Kamila lembut, matanya menatap Talita penuh keyakinan.
Talita menunduk. Hatinya diliputi rasa sungkan. Baginya, menerima kebaikan sebesar itu seperti menambah hutang budi yang takkan pernah bisa ia lunasi. Namun, Kamila tidak memberinya pilihan. Dengan kelembutan yang tak bisa ditolak, sekaligus ketegasan seorang ibu, ia terus meyakinkan Talita. Hingga akhirnya, Talita mengangguk pelan. Ada kehangatan yang merambat di dadanya, ketika menyadari bahwa seseorang begitu peduli pada dirinya dan anaknya.
^^^
Jam setengah empat, Kamila akhirnya berangkat ke California. Mobil hitamnya meluncur keluar gerbang, meninggalkan mansion dalam kesunyian.
^^^^^
Pagi yang malas. Dengan rambut berantakan dan wajah masam, Angkasa berdiri di depan mobil sport-nya. Talita menggandeng Bintang yang mengenakan seragam bebas biru muda dengan ransel mungil di punggung.
“Cepat masuk. Aku tidak punya waktu seharian untuk ini,” ucap Angkasa dingin.
Perjalanan menuju PAUD terasa tegang. Talita duduk tenang di kursi belakang bersama Bintang, sementara Angkasa menggenggam setir dengan wajah tak ramah.
Sesampainya di sekolah PAUD internasional itu, guru menyambut ramah. “Baik, Bu, kami butuh data orang tua untuk pendaftaran.”
Talita tersenyum tipis, tapi suaranya mantap. “KTP suami saya… terbakar bersama dokumen lain. Jadi hanya ini yang ada.” Ia menyerahkan KTP-nya sendiri.
Angkasa melirik dari samping. “Terbakar? Alasan macam apa itu?” suaranya penuh sinis.
Talita menoleh, wajahnya tenang. “Memang begitu kenyataannya, Tuan Muda. Tidak semua orang punya hidup yang rapi dan mudah seperti Anda.”
Angkasa mendengus, nyaris meledak. “Anak ini tidak jelas, Talita. Dari mana asalnya, siapa ayahnya, sama sekali kabur.”
Talita menatapnya lurus, tidak gentar. “Apapun yang Anda pikirkan, ini tidak ada urusannya dengan Anda.”
Alih-alih berdebat panjang, Angkasa mengeluarkan ponselnya. “Baik. Karena ini perintah Nyonya besar dan aku tidak mau dengar celotehnya di telfon, supaya bocah ini sekolah. Makaaa.... aku bayar lunas sepuluh kali lipat biaya sekolahnya, sekarang juga.” Ia langsung mentransfer dalam hitungan detik, membuat guru PAUD itu terkejut sekaligus bingung.
“Sudah. Urusan selesai. Masukkan saja aku dan Talita sebagai orang tuanya. Aku tidak peduli,” ucap Angkasa dingin, menyodorkan KTP-nya bersama milik Talita.
Guru itu mengangguk ragu, lalu mencatat nama keduanya dalam formulir pendaftaran. “Baik, Pak.”
“Eh… maaf, Bu, Pak. Tapi… Bintang masih dua tahun? Di sini rata-rata murid kami mulai empat tahun. Saya khawatir… dia akan kesulitan mengikuti pelajaran.”
Talita tercekat, namun sebelum ia sempat menjawab, Bintang melangkah maju. Bocah itu menatap guru dengan wajah dingin tapi serius, seolah paham benar bahwa dirinya sedang ditolak.
“Aku nggak kesulitan, Bu Guru.”
Suaranya bening, jelas, membuat guru itu terperangah.
Bintang mengeluarkan buku kecil dari tasnya, lalu membukanya. Ia mulai membaca kalimat sederhana yang tertera di halaman depan dengan lancar, tanpa terbata.
“Ini… benar kamu yang baca?” guru itu menatap heran.
Bintang mengangguk. “Aku juga bisa nulis.” Ia mengambil pensil, lalu menuliskan namanya ‘BINTANG’ dengan huruf tegak lurus di kertas kosong. Tulisan itu rapi untuk ukuran anak seusianya.
Talita hanya bisa pura-pura terkejut, meski dalam hati ia bangga sekaligus cemas.
Guru itu menahan napas. “Luar biasa… umur dua tahun sudah bisa begini?”
Bintang tidak berhenti di sana. Ia menatap papan angka warna-warni di meja guru, lalu mulai menghitung cepat. “Dua tambah dua sama dengan empat. Lima kurang tiga sama dengan dua. Sembilan dikali dua sama dengan delapan belas.”
Ruangan hening. Guru itu terdiam, melongo, bahkan para staf lain yang mendengar ikut mengintip dari balik pintu.
“Anak ini… istimewa,” ucap guru PAUD itu dengan suara bergetar. “Baiklah. Kalau begitu, kami akan menerima Bintang. Walaupun usianya muda, jelas dia sudah jauh di depan teman-temannya.”
Talita menghela napas lega, sementara Angkasa berdiri dengan wajah datar. Ia mendengus, lalu mengangkat alis.
“Sudahlah. Tidak perlu lama-lama anak ini boleh sekolah. Merepotkan sekali.”
Guru itu menatap Bintang penuh kagum. “Bintang, mulai besok kamu bisa langsung ikut kelas. Kami akan menyiapkan program khusus untukmu.”
Bintang mengangguk, senyum tipis mulai tersirat di bibirnya. “Terima kasih, Bu Guru.”
^^^^
Usai pendaftaran, Angkasa menyalakan mesin mobil dan langsung melesat meninggalkan Talita dan Bintang di pinggir jalan.
Bintang menggenggam tangan Talita erat, “Tuan muda… menyebalkan ya, Mama? Tapi sekolahin aku,” ucap Bintang lirih, tapi matanya tetap menatap mobil yang melaju pergi.
makasih sudah mampir