Zoe Aldenia, seorang siswi berprestasi dan populer dengan sikap dingin dan acuh tak acuh, tiba-tiba terjebak ke dalam sebuah novel romantis yang sedang populer. Dalam novel ini, Zoe menemukan dirinya menjadi peran antagonis dengan nama yang sama, yaitu Zoe Aldenia, seorang putri palsu yang tidak tahu diri dan sering mencelakai protagonis wanita yang lemah lembut, sang putri asli.
Dalam cerita asli, Zoe adalah seorang gadis yang dibesarkan dalam kemewahan oleh keluarga kaya, tetapi ternyata bukan anak kandung mereka. Zoe asli sering melakukan tindakan jahat dan kejam terhadap putri asli, membuat hidupnya menjadi menderita.
Karena tak ingin berakhir tragis, Zoe memilih mengubah alur ceritanya dan mencari orang tua kandungnya.
Yuk simak kisahnya!
Yang gak suka silahkan skip! Dosa ditanggung masing-masing, yang kasih rate buruk 👊👊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semakin Dekat
Pagi itu, langit masih sedikit mendung.
Angin pagi meniup rambut Zoe yang kini berdiri di halte kecil dekat kontrakan sederhananya. Seragamnya rapi, tas selempang hitam tergantung di bahu. Di tangannya ada roti tawar isi selai kacang yang ia makan pelan-pelan sambil sesekali melirik ke jalan besar, menunggu bus sekolah.
Tapi belum sempat bus pertama muncul, suara deru motor sport terdengar dari kejauhan.
Zoe mendesah pelan tanpa menoleh. Dan benar saja. "Ayo naik."
Suara berat yang sangat dikenalnya kini terdengar di sebelahnya. Zoe akhirnya menoleh, mendapati Ryder, dengan jaket hitam terbuka, helm di tangan, dan ekspresi datarnya yang tak berubah.
Zoe mengerutkan dahi. "Ngapain lo ke sini?"
Ryder menaikkan satu alis. "Ngajak lo ke sekolah, obviously. Yuk, naik! Kita bisa telat kalau lo nunggu bus."
Zoe menggeleng. "Gak usah. Gue biasa naik bus juga gak masalah."
Ryder menyandarkan satu kakinya ke motor, ekspresinya mulai berubah tak sabar.
"Zoe ...."
Nada suaranya mulai menekan, tapi tetap tenang. "Kalau lo gak naik, gue tungguin di sini sampai bus lo datang. Dan lo tahu sendiri itu butuh waktu lama."
Zoe melirik jam tangan, lalu ke arah jalanan yang sepi. "Gue bisa jalan kaki."
Ryder menyipitkan mata, lalu mengeluarkan helm cadangan dari kompartemen motornya dan menyodorkannya pada Zoe.
"Naik. Sekarang. Busnya gak akan datang, gue udah nyuruh supirnya buat gak lewat sini," kata Ryder santai.
Mata Zoe melotot tajam. "Lo, benar-benar, ya!"
"Udah! Naik aja!" kata Ryder.
Zoe menatapnya, malas, tapi tahu Ryder bukan tipe yang akan pergi kalau belum mendapat keinginannya. Ia menghela napas berat, lalu mengambil helm itu.
"Lo ini keras kepala banget sih."
"Cerminan lo," jawab Ryder santai sambil memasang helmnya sendiri.
Zoe menduduki jok belakang, menjaga jarak sejauh mungkin. "Jangan ngebut."
"Gue selalu ngebut."
"Ryder!"
Ryder tersenyum kecil. "Oke ... cuma 80 km/jam."
Zoe memeluk tasnya erat-erat, lalu bergumam dalam hati. "Bagaimana gue bisa menjauh dari malaikat maut gue sendiri ... kalau dia terus-terusan nyamperin gue begini?"
Motor melaju pelan meninggalkan halte, membelah jalanan pagi yang masih basah sisa hujan semalam. Angin menerpa wajah Zoe, tapi pikirannya tetap kusut.
Karena sedingin apa pun dia mencoba bersikap. Ryder tetap mendekat. Dan itu berbahaya menurut Zoe.
***
Suasana kelas pagi itu hening.
Para murid sibuk menyalin catatan dari papan tulis digital ketika pintu diketuk dan seorang guru kesiswaan masuk ke dalam.
"Zoe Aldenia."
Zoe yang duduk di bangku belakang menoleh. Semua mata langsung tertuju padanya.
"Saya, Bu?"
"Ikut saya ke ruang kesiswaan."
Zoe mengangguk singkat, lalu berdiri tanpa ekspresi. Ia berjalan keluar tanpa banyak bicara.
Namun dari sudut lain kelas, Ryder menyipitkan mata, curiga. Beberapa detik kemudian, dia juga berdiri dan menyusul keluar, tanpa izin guru.
"Ryder!" panggil sang guru yang hanya menggelengkan kepalanya saat Ryder tidak mendengarnya.
Dari bangku depan, Levi Gautama melirik sejenak, tapi tetap duduk diam. Alicia, yang duduk tak jauh dari Levi, menatap ke luar dengan ekspresi bingung dan tapi ada senyum kecil terselip di bibirnya.
"Kenapa Zoe dipanggil?" tanya Dwiki penasaran.
Arya dan Arvan hanya mengangkat bahunya acuh, tidak peduli.
Di ruang kesiswaan.
Zoe duduk di hadapan dua guru, Bu Nirmala dan Pak Darma, dua guru senior yang dikenal cukup tegas.
Bu Nirmala membuka map tebal berisi dokumen. "Zoe, kami ingin membicarakan soal pembayaran SPP-mu."
Zoe mengernyit. "Memangnya kenapa dengan itu, Bu? Apa aku telat bayar? Seingat aku, itu ditanggung oleh keluarga Wiratmaja."
Dalam hati, Zoe mengingat jika seharusnya SPP milik Zoe asli sudah ditanggung oleh keluarga Wiratmaja. Tapi sepertinya sekarang sudah berubah, pikir Zoe.
Pak Darma menjawab pelan. "Mulai minggu ini, pihak keluarga Wiratmaja telah resmi mencabut segala bentuk tanggungan terhadapmu."
"Itu berarti, mulai bulan ini, kamu harus membayar sendiri seluruh biaya sekolahmu, termasuk SPP dan ekstrakurikuler," lanjut sang guru.
Zoe terdiam beberapa saat. Napasnya perlahan terdengar. "Kalau begitu... apakah sekolah punya program beasiswa?"
Bu Nirmala tersenyum kaku.
"Kami punya, Zoe. Tapi beasiswa ini hanya untuk siswa yang kurang mampu dan memiliki nilai akademik yang memenuhi syarat."
Pak Darma menambahkan, agak hati-hati. "Maaf, tapi ... berdasarkan data, kamu belum masuk kategori murid dengan prestasi akademik yang cukup untuk mendapatkan beasiswa."
Semua orang tahu, jika Zoe merupakan siswi terbodoh yang ada di sekolah itu. Bahkan tidak memiliki bakat apapun.
Zoe menatap mereka tanpa goyah. "Kalau begitu, tes saya."
Kedua guru terdiam.
"Berikan saya tes seleksi. Apapun bentuknya. Kalau saya lulus, saya ambil beasiswanya," lanjut Zoe dengan nada yakin.
Bu Nirmala tampak ragu.
"Zoe, kami menghargai niatmu. Tapi program beasiswa ini terbatas dan banyak murid lain yang sudah masuk daftar tunggu. Lagi pula, kamu dikenal bukan tipe murid yang rajin belajar. Dan maaf, nilaimu yang paling rendah."
Dulu, jika bukan keluarga Wiratmaja. Zoe tidak akan bisa naik kelas.
Zoe mengangguk pelan, suaranya tenang namun penuh tekad. "Saya memang bukan Zoe yang dulu. Tapi saya nggak akan menyerah. Tes saja saya, Bu. Biar nilai yang bicara, bukan masa lalu. Saya juga bersedia di tes jika ingin non-akademik."
Tepat saat itu, pintu diketuk dan terbuka.
Ryder muncul tanpa izin, menyender santai di pintu.
"Apa ada yang salah dengan beasiswa buat tunangan gue?"
Pak Darma hampir tersedak, sementara Bu Nirmala langsung menegur. "Ryder, ini ruang kesiswaan. Keluar dulu. Kami sedang bicara dengan Zoe."
Ryder tetap tak bergeming, matanya hanya menatap Zoe.
"Lo oke?" tanyanya, suaranya lebih pelan.
Zoe hanya mengangguk pelan. "Gue baik. Gue gak butuh dibela."
Ryder tersenyum tipis. "Gue gak bela. Cuma pengin tahu siapa yang coba jatuhin lo sekarang."
Zoe memutar bola mata, lalu kembali menatap guru-guru di depannya. "Saya serius soal beasiswa ini. Tolong beri saya kesempatan."
Pak Darma dan Bu Nirmala saling pandang, lalu akhirnya Bu Nirmala berkata, "Baiklah. Kami akan pertimbangkan, dan kalau memungkinkan, kamu akan ikut tes seleksi tambahan minggu depan."
Zoe mengangguk mantap. "Terima kasih, Bu. Pak."
Ryder membuka pintu lebih lebar saat Zoe berdiri dan keluar dari ruangan.
Saat mereka berjalan berdampingan, Ryder bertanya pelan.
"Lo yakin bisa dapet beasiswa itu?"
Zoe menoleh sekilas. "Gue gak yakin. Tapi gue bakal usaha. Karena sekarang cuma itu satu-satunya cara gue bisa terus sekolah tanpa minta belas kasihan siapa pun."
Ryder menatapnya lama. Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, dia menyodorkan minuman botol dingin ke arah Zoe. Ryder sebenarnya bisa membantu, tapi tentu dia tahu Zoe akan menolak.
Zoe meliriknya. "Apa ini?"
"Air. Buat lo. Biar gak lemas pas belajar nanti."
Zoe nyengir kecil. "Thanks, Malaikat Maut."
"Kapanpun, Nona Keras Kepala."
Dan mereka berjalan kembali ke kelas.
hadehh kasihan nya zoee
zoe yg skrg mah beda kalii
mana ada zoe kok mumdur dan takut blm tau aja zoe skrg adalh jiwa zoe dr alam lain kali ehh alam apa ya masa iya alam lain 🤣🤣🤣🤣