Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.
Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.
Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.
Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.
Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.
Kunci aku dalam labirin.
Kurung aku di dalam sangkar.
Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!
Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.
Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.
- Damien Ace -
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Tidak Membiarkannya Menyerah
Daisy tidak tidur lama di rumah Noah. Sebenarnya, dia memang tidak berniat tidur — hanya saja matanya terasa panas dan lelah setelah menangis terlalu lama, hingga tanpa sadar ia tertidur.
Setelah mendengar semua perkataan Diana, mana mungkin dia masih ingin berada di sana lebih lama lagi?
Saat Alex pulang, Daisy sudah lebih dulu ada di rumah. Namun ekspresinya bukan lagi ceria seperti biasanya. Wajahnya sayu, matanya sembab, dan sorotnya tampak lelah. Sesekali, ia menatap kosong ke lantai.
Alex memperhatikan putrinya itu dengan dahi sedikit berkerut.
“Apa harimu buruk?” tanyanya lembut.
“Ya, sedikit.” Jawaban Daisy pendek dan datar.
“Kenapa kau tidak pergi ke kursus hari ini?”
“Hariku buruk … dan aku tidak bersemangat.” Daisy menjawab tanpa menatap wajah ayahnya.
Nada Alex berubah sedikit tegas. “Daisy, lihat aku kalau aku bicara padamu.”
Nada itu tak keras, tapi cukup untuk membuat Daisy tersentak dan segera mengangkat wajah.
“Ayah tidak akan memaksamu melakukan apa pun yang tidak kau mau,” lanjut Alex dengan suara tenang tapi mantap. “Tapi kalau seseorang mengajakmu bicara, angkat kepalamu dan perhatikan lawan bicaramu.”
Daisy mengangguk kecil, wajahnya agak cemberut.
Pantas saja semua orang segan pada Ayahnya. Tanpa perlu membentak pun, suaranya saja sudah cukup membuat jantungnya berdebar.
Ini kali pertama dia mendengar ayahnya bicara dengan nada setegas itu — dan entah kenapa, dia merasa gugup.
Alex menarik napas pelan, suaranya kembali melembut.
“Baiklah, sekarang katakan padaku. Ada apa? Kenapa tidak ikut kursus, dan kenapa juga tidak pergi ke pesta ulang tahun temanmu?”
Ya, seharusnya hari ini dia menghadiri pesta ulang tahun temannya. Tapi setelah apa yang terjadi di rumah Noah, pikirannya penuh dan hatinya sesak.
Apa masih ada dari mereka yang mau berteman dengannya setelah semua ini?
“Aku hanya … merasa tidak baik karena Damien tidak ada,” jawab Daisy pelan, menundukkan kepala.
Alex mengusap rambut putrinya dengan lembut. “Kita akan menelepon Ibu dan Kakakmu setelah makan malam.”
Daisy mengangguk pelan, lalu tiba-tiba berkata, “Ayah, boleh aku minta sesuatu?”
“Tentu, katakan.”
“Bisakah aku homeschooling saja? Aku rasa aku akan lebih baik kalau belajar sendiri. Aku bisa lebih fokus, dan … lebih tenang.”
Alex menatap putrinya beberapa detik tanpa bicara. Ia tahu benar, sesuatu pasti terjadi.
Meskipun tidak membesarkan Daisy sejak kecil, ia tahu anaknya bukan tipe yang pendiam seperti Damien. Daisy biasanya periang, mudah bergaul, dan suka berinteraksi dengan orang lain.
Jika tiba-tiba ia ingin belajar di rumah, pasti ada hal besar yang membuatnya berubah.
“Kenapa tiba-tiba tidak ingin bersekolah di luar?” tanyanya lembut.
“Aku akan bersekolah di luar kalau Damien juga pergi bersamaku nanti.”
Alex tak membantah. Ia mengangguk. “Baiklah. Kau bisa memulainya setelah Ayah menemukan guru untukmu.”
Seketika, wajah Daisy tampak lebih ringan. Ia tersenyum, kali ini dengan ketulusan yang sudah lama hilang sejak beberapa hari terakhir.
Senyum itu menenangkan, tapi di mata Alex, ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan — semacam luka yang disembunyikan dengan keras.
Malamnya, mood Daisy jauh lebih baik setelah mendengar suara ibunya di telepon.
Sayangnya, keadaan Damien masih belum berubah. Ia jarang membuka mata, tubuhnya masih lemah, dan suara yang dulu begitu hangat kini tak terdengar sama sekali.
Daisy merindukan tawa kakaknya.
“Bu,” katanya di ujung telepon dengan nada lembut, “Tunggulah sampai akhir pekan, ya. Setelah Ayah selesai bekerja, aku akan membawanya ke sana. Aku janji.”
“En,” jawab suara di seberang dengan hangat. “Aku pasti menunggu kalian.”
Laptop diambil begitu saja oleh Alex, yang sejak tadi belum mendapat kesempatan bicara.
Seketika raut wajahnya menegang. “Kenapa tidak menanyakan keadaanku juga?” tanyanya, nada suaranya mengandung sedikit kesal.
Eve tersenyum; ada nada mengejek lembut di bibirnya. “Baiklah, apa yang kau ingin aku tanyakan padamu?” jawabnya santai, seolah menertawakan kecemburuan suaminya.
“Kenapa kau bertanya padaku?” Alex balik bertanya.
“Karena aku sudah tahu kalian selesai makan malam, dan kau juga baik-baik saja di sana.” Jawab Eve, suaranya bersahabat.
“Siapa yang mengatakan itu? Aku bahkan tidak bisa tidur semalaman di sini,” sahut Alex. “Sungguh.”
“Oh, aku sangat khawatir. Haruskah aku pulang dan menidurkanmu dulu, lalu kembali lagi ke sini?” goda Eve.
“Kau boleh mencobanya. Aku tidak bisa tidur tanpa memelukmu. Kau harus memberiku solusi,” balas Alex sambil menggoda balik.
Di sisi layar, suara kecil Daisy terdengar, menutup telinga dan tergelak malu. “Ayah, Ibu, kalian membuatku malu,” katanya sambil berguling di sisi Alex, menyembunyikan wajah.
Alex segera meraih tubuh kecil itu, memeluknya hangat. “Kalau malu, kemari dan tidur bersamaku malam ini,” ucapnya lembut.
Eve menatap dengan mata berkaca-kaca—rindu dan sedih bercampur. “Kalian terlihat sangat bahagia. Ajak dia istirahat, Alex. Ini sudah malam. Aku juga ingin beristirahat.”
“Tunggu sebentar, Eve.” Alex menurunkan Daisy, menatap serius ke arahnya. “Aku dengar sejak kau di sana, kau tak pernah keluar dari kamar Damien. Jangan memaksakan diri terlalu keras. Aku sudah mempekerjakan banyak perawat untuk membantu kalian. Kalau kau ingin mengambil udara sejenak, bilang saja pada mereka. Jika kau butuh sesuatu, utarakan. Untuk apa aku membayar mereka kalau kau memikul semuanya sendiri?”
Eve tersenyum kecil, lalu menggeleng lembut. “Aku tak punya keinginan lagi. Meski kau tak ada di sini, aku merasa kau selalu memikirkan kami. Kau membuat persediaan makanan di sini melimpah sampai aku sempat membagi-bagikannya. Aku merasa cukup di sini. Tak perlu mencari apa pun di luar.”
“Wanita hamil biasanya punya keinginan. Kalau kau merasakan itu, jangan ragu bilang padaku. Aku akan pastikan kau mendapatkannya. Jangan batasi dirimu sendiri. Aku tak mau kau terbebani saat aku tidak di sampingmu.”
Eve mengangguk, memaksakan senyum. Kata-katanya memang benar—bukan karena ia tak menginginkan apa-apa, melainkan karena tubuhnya semakin lemah belakangan. Obat-obatan tersedia, namun efeknya seolah tak bertahan lama.
Lelahnya bertambah ketika melihat kondisi Damien yang tak kunjung membaik. Tidur nyenyak pun sulit dia dapatkan.
Setelah panggilan putus, Alex mengantar Daisy tidur. Ia ingin ikut terlelap bersama anaknya, namun pikirannya tidak tenang.
Meskipun Eve yang menunggu di sana, tapi semua laporan tentang kondisi Damien ada di tangannya.
Nic datang membawa berkas dan menjelaskan perkembangan terbaru. Wajah Alex berubah muram; matanya menatap keluar jendela, kemudian terpejam, seolah tenggelam dalam lautan beban.
“Alex, Damien sudah berusaha sejauh ini.” Nic berdiri di sampingnya, ekspresinya dipenuhi kesedihan.
“Justru karena itu aku tidak akan berhenti sampai di sini,” jawab Alex dengan nada tegas. “Aku akan berbuat apa pun selama dia masih di sisiku.”
“Alex, kita tak bisa memaksakan kondisi tubuhnya.” Nic menahan nada.
“Lalu kau ingin aku berbuat apa? Diam dan menyaksikan dia menderita saja?” Alex meliriknya, matanya menatap tajam. “Selama Damien tidak menyerah, aku juga tidak akan berhenti. Dan aku juga tidak akan membiarkan dia menyerah!”
***