NovelToon NovelToon
Terjebak Cinta Dewi Hijab

Terjebak Cinta Dewi Hijab

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Spiritual / Mengubah Takdir / Romansa / Bad Boy
Popularitas:848
Nilai: 5
Nama Author: Pearlysea

Hanina Zhang, merupakan putri seorang ulama terkemuka di Xi’an, yang ingin pulang dengan selamat ke keluarganya setelah perjalanan dari Beijing.

Dalam perjalananya takdir mempertemukannya dengan Wang Lei, seorang kriminal dan kaki tangan dua raja mafia.

Hanina tak menyangka sosok pria itu tiba tiba ada disamping tempat duduknya. Tubuhnya gemetar, tak terbiasa dekat dengan pria yang bukan mahramnya. Saat Bus itu berhenti di rest area, Hanina turun, dan tak menyangka akan tertinggal bus tanpa apapun yang di bawa.

Di tengah kebingungannya beberapa orang mengganggunya. Ia pun berlari mencari perlindungan, dan beruntungnya menemui Wang Lei yang berdiri sedang menyesap rokok, ia pun berlindung di balik punggungnya.

Sejak saat itu, takdir mereka terikat: dua jiwa dengan latar belakang yang berbeda, terjebak dalam situasi yang tak pernah mereka bayangkan. Bagaimana perjalanan hidup Dewi Hijab dan iblis jalanan ini selanjutnya?

Jangan skip! Buruan atuh di baca...

Fb/Ig : Pearlysea

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Makanan Halal

Hanina_POV

Begitu lelaki itu menutup pintu, aku menghela napas panjang. Wajahnya terlihat tenang saat berbicara tadi, namun entah mengapa aku merasa begitu di cemaskan olehnya. Ada apa? Mungkin hanya perasaanku saja.

Aku duduk di ujung ranjang. Semalam tidak bisa tidur, terbayang paman dan bibi yang masih di bus. Aku berharap mereka segera menyadari aku sudah tidak bersamanya lagi, dan segera lapor polisi untuk mencariku.

Berada di sini terlalu lama dengan pria seperti Wang Lei, itu buruk. Jelas sudah dia pria yang sangat berbahaya. Meski sikapnya seakan perduli, bukan jaminan dia akan terus bersikap baik padaku.

Kepalaku menoleh ke arah jendela, cahaya matahari siang menembus tirai tipis yang menggantung lesu. Langit tampak terang, kontras dengan batinku yang masih di penuhi kecemasan.

Kamar ini sengaja ku biarkan gelap, karena kesan sendu akan terus membuatku ingat bahwa aku sedang di bawa ke dunia asing, dan hanya Tuhan yang menjadi sandaranku.

Jenuh. Aku melangkah ke arah pintu, dan memutar kenopnya, ternyata pintu tak dikunci. Aku lantas melangkah keluar. Mataku mengitari seisi lantai dua dan ternyata tak beda jauh dari lantai bawah, sama-sama berantakan dan berdebu.

Wajar saja, karena mungkin rumah ini sudah lama di tinggalkan. Dengan inisiatif sebagai seorang muslim yang di anjurkan menjaga kebersihan, aku pun mulai memijat jari untuk bersiap merapihkan, sambil menunggu lelaki itu kembali.

Aku menyingsingkan lengan baju, dan mulai mencari peralatan bersih-bersih. Mencari sapu dan menemukanya tergeletak di pojok dinding, aku pun meraihnya.

Debu menari-nari di udara saat aku menyapukan sapu ke lantai. Dari ruangan atas, turun ke tangga lalu lantai bawah, setelah itu menyerok  segala jenis sampah dan debu dengan serokan, kemudian membuangnya di tong sampah dapur.

Rumah ini tidak begitu besar, tapi cukup membuat pinggang pegal hanya dengan menyapu lantainya. Napasku memburu, keringat di dahi membasahi hijabku. Pekerjaan ini membuat tubuhku lelah dan sangat gemetar, apalagi sejak semalam perutku hanya terisi air.

Tiba tiba suara motor terdengar memasuki halaman rumah. Aku segera melangkah dari dapur menuju ruang utama lalu menyingkap gorden kusam dekat pintu, mengintip siapa yang datang.

Itu dia, lelaki itu sudah kembali dengan beberapa kantong plastik di tanganya. Dia turun dari motornya dan berjalan ke arah pintu. Terdengar suara gerakan kunci yang diputar di kenopnya, aku sendiri tidak berusaha pindah dari tempatku berdiri.

Begitu dia membuka pintu dan langsung menutupnya, matanya langsung menemukanku dan entah mengapa dia berjingkat kaget dengan mata melotot, seolah aku ini hantu penunggu rumah angker.

"Ha-hantu! Sialan!" ucapnya saat terkejut sampai hampir terjungkal ke belakang kalau tidak memegang kusen pintu.

"Aku Hanina... Bukan hantu!" jawabku, kesal. Masa tidak bisa membedakan mana wanita cantik mana hantu. Dasar payah!

Wang Lei menarik napas dalam-dalam sambil menepuk-nepuk dadanya.

"Astaga... hampir jantungku copot," gerutunya lirih, lalu menatapku tajam-tajam.

"Kenapa berdiri di situ diam-diam kayak patung? Sudah wajahmu pucat kaya mayat. Kamu masih hidup atau sudah mati? Kalau sudah mati jangan ganggu begini, donk! alam kita sudah beda."

Aku mengerucutkan bibir, menatapnya jengkel.

"Kalau aku sudah mati, kamu yang pertama kali bakal aku ganggu tiap malam. Biar kamu tahu rasanya digangguin mayat cantik."

Wang Lei mengangkat alis, lalu tertawa kecil.

"Cantik, katanya. Sombong juga kamu, ya."

Aku menelan ludah, bisa-bisanya aku bicara seperti itu, jadi salah tingkah melihat senyumnya yang lagi lagi membuat hati ini bergetar. Astagfirullah...

"Lihat rumah ini, sudah bersih dan aku masih menapak tanah. Aku masih hidup!" ujarku, berusaha menyembunyikan degup jantungku.

Lelaki itu memutar kepalanya, matanya menyapu semua sudut di ruangan ini,  lalu tersenyum miring dengan mata sedikit menyipit. Ah senyum itu, sungguh tidak aman untuk hatiku yang rapuh ini.

"Ooh... pantas kamu terlihat pucat seperti hantu, kamu pasti lelah kan,senorita...Sungguh kasihan." ucapnya, suaranya terdengar seolah mengejekku.

Dahiku bertaut, kesal. Belum sempat aku menjawab dia sudah melangkah ke arah meja makan.

"Ayo makan. Jangan sampai pingsan dan merepotkanku lagi." serunya.

Tanpa pikir panjang aku mengikutinya dan melihat lelaki berkaus hitam itu membongkar isi kantong plastik yang dibawanya ke atas meja kayu tua.

Aroma harum langsung menyeruak hidungku begitu dia mengeluarkan dua cup besar mie berkuah bening dengan potongan daging di atasnya, sebotol air mineral dan satu kaleng minuman beralkohol, serta beberapa bungkus roti selai buah.

Aku menelan ludah, dan menggigit bibir membayangkan betapa lezatnya semua makanan itu. Akan tetapi, kesadaranku sebagai seorang muslimah membuatku ragu. Apakah itu halal atau tidak?

"Duduk, dan makanlah segera. Setelah ini aku akan pergi lagi. " katanya, sambil menyodorkan semangkuk mie ke arahku.

"Apa ini halal?" tanyaku, membuat Wang Lei menghentikan gerakannya, dan menatapku.

"Ini daging sapi bukan daging babi," jawabnya acuh.

"Meskipun daging sapi tetap saja."

"Apa maksudmu?" Dia mengangkat alis, lalu menatapku lama. Sorot matanya menyiratkan kesal, tapi juga bingung.

"Setahuku, muslim hanya tidak boleh makan babi dan alkohol." ujarnya seraya membuka bungkus sumpit lalu mengaduk mie yang mengepulkan uap.

Aku menarik napas dalam-dalam. Duduk perlahan di kursi yang berderit pelan.

"Wang Lei. Bagi kami, umat Muslim, halal bukan cuma soal bahan makanan. Tapi juga soal bagaimana hewan itu disembelih atas nama siapa. Bukan sekadar tidak mengandung babi atau alkohol." Tatapanku menajam, mencoba menahan goyangan imanku yang mulai lelah karena perut kosong.

Dia terdiam, lalu menyandarkan punggung ke kursi. Tangannya masih memegang sumpit tapi tak lagi bergerak.

"Jadi... kamu tidak bisa makan ini?" tanyanya.

Aku menggeleng pelan.

"Aku hanya akan makan roti saja. Sebelumnya terima kasih.."

Wang Lei menatapku dalam diam selama beberapa detik. Tatapannya bukan lagi heran atau kesal, tetapi... seperti sedang memikirkan sesuatu yang serius. Tangannya akhirnya meletakkan sumpit perlahan ke atas meja, lalu mengambil salah satu bungkus roti dan meletakkannya di depanku.

"Ini... cuma roti isi selai buah. Sepertinya tidak ada bahan aneh-aneh. Makanlah." Suaranya kali ini lebih lembut, tidak ada nada mencemooh seperti sebelumnya.

Aku tersenyum tipis lalu mengambil satu bungkus roti dan membukanya. Dengan bismilah yang lirih aku mulai menggigit dan mengunyah roti lembut yang terasa sangat nikmat. Lelaki di hadapanku juga sudah memulai suapan pertama dengan meniupnya terlebih dahulu.

Hening. Masing-masing kami kini fokus pada makanan yang perlahan-lahan mengisi lambung. Tetapi beberapa kali mata kami saling melirik.

Sambil mengunyah santai, aku mengamati roti isi selai stroberi di tanganku. Roti ini mungkin belum tentu halal juga, tapi kalau dalam keadaan terpaksa seperti ini. Allah juga maha pengampun dan penyanyang. Dia tahu hambaNya dalam kesulitan, dan aku pun tak mengambil kesempatan ini untuk mengambil yang lebih enak.

"Emh... Aku ingin tahu, kamu mau pulang kemana?"  tanyanya tiba tiba, dengan mulut yang masih mengunyah.

Mendongak kearahnya. "Ke Xi'an. Kenapa?" tanyaku datar.

"Kamu beruntung Senorita, dan kata hatimu itu benar. Kata hatimu telah menyelamatkanmu, karena itu juga kamu masih hidup hari ini."

Aku menelan sisa kunyahan dengan mengerutkan kening.  Aku tak mengerti dengan apa yang di bicarakannya.

"Apa maksudmu?"

Wang Lei menatapku serius.

"Maksudnya... Kamu satu-satunya penumpang Hua Long Ekspress jurusan Beijing-Xian yang masih hidup, yang lainya hanya tersisa tulang."

Hatiku mencelos tapi tak begitu saja percaya.

"Jangan bicara sembarangan! Kamu kebanyakan minum alkohol makanya omonganmu itu ngelantur!" jawabku, menahan kesal.

"Mana ada aku ngelantur. Lihat sendiri kalau tidak percaya," Wang Lei merogoh saku, mengeluarkan ponsel, tangannya mengetik sesuatu di layar lalu memberikan ponsel itu padaku.

Ragu dan gemetar saat jari-jariku menerimanya dari tangannya. Layarnya menampilkan sebuah artikel berita daring, tanggal hari ini. Judul besar terpampang jelas:

"BUS CEPAT HUA LONG EKSPRESS JURUSAN BEIJING – XI’AN TERGELINCIR DAN TERBAKAR, SEMUA PENUMPANG DIPASTIKAN TEWAS."

Mataku membelalak, syok tapi aku masih berpikir positif mungkin ini bus yang berbeda.

Jariku terus menggulir layar, membaca setiap kata yang tertuang, dan itu semakin membuat dada ini bergemuruh hebat. Sampai aku melihat gambar dan rekaman yang tertera di bawah narasi berita.

Jariku lantas menyentuh ikon play dan rekaman yang terpampang di dalamnya membuatku seolah tersambar petir. Tubuhku mendadak tegang dan menggigil, jantungku berdebar keras dan udara di sekitar seolah menghilang. Sesak.

Mataku memanas, air mata menggenang kemudian menetes satu persatu.

"Innalillahi...wa innailaihi.. roji'un." lirihku, suaraku patah hampir tak terdengar. Kepalaku mendadak berputar, ponsel di tanganku terjatuh ke meja, tanganku bergerak menutup wajahku dengan telapak tangan. Saat itu tangisku mulai meledak.

1
Siti Nina
Astaga ada" saja tuh kakek" bikin emosi jiwa 😅
Siti Nina
👍👍👍👍👍
Siti Nina
👍👍👍
Siti Nina
👍👍👍👍👍
Siti Nina
Waw,,,sangat menarik ceritanya keren banget 👍👍👍
Siti Nina
oke ceritanya 👍👍👍
Siti Nina
Mampir thor salam kenal kesan pertama menarik ceritanya keren kata"nya juga enak di baca 👍👍👍 tapi yg like nya dikit banget padahal oke banget ceritanya 👍👍👍🤔🤔
Nalira🌻: Salam kenal juga, Kak...🤝🏻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!