NovelToon NovelToon
SUAMI DADAKAN

SUAMI DADAKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Cinta setelah menikah / Pengantin Pengganti / Pernikahan Kilat / Bercocok tanam
Popularitas:13.7k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Khanza hanya berniat mengambil cuti untuk menghadiri pernikahan sepupunya di desa. Namun, bosnya, Reza, tiba-tiba bersikeras ikut karena penasaran dengan suasana pernikahan desa. Awalnya Khanza menganggapnya hal biasa, sampai situasi berubah drastis—keluarganya justru memaksa dirinya menikah dengan Reza. Padahal Khanza sudah memiliki kekasih. Khanza meminta Yanuar untuk datang menikahinya, tetapi Yanuar tidak bisa datang.
Terjebak dalam keadaan yang tak pernah ia bayangkan, Khanza harus menerima kenyataan bahwa bos yang sering membuatnya kesal kini resmi menjadi suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34

Kamar Perawatan Khusus — Villa Tengah Laut Aegea

Suara ketukan pelan terdengar di pintu kaca ruang perawatan.

Tok… tok…

Dokter paruh baya yang sejak semalam mendampingi mereka masuk perlahan, membawa troli kecil berisi peralatan medis dan satu kantong cairan obat berwarna bening kekuningan.

“Maaf mengganggu, Tuan. Waktunya sesi kemoterapi pertama.”

Khanza yang tadinya duduk bersandar dengan selimut menutup tubuhnya langsung menegang.

“Nggak, jangan…” ia menggeleng cepat.

“Aku nggak mau kemo…”

“Nona, leukemia Anda dalam tahap berkembang. Kalau tidak dimulai sekarang...”

“Aku bilang tidak mau!!!” Khanza berteriak sambil meraih selimutnya lebih erat.

“Aku nggak mau sakit lagi! Aku nggak mau muntah-muntah! Aku nggak mau rambutku rontok! Aku nggak mau...”

“Khanza.”

Suara Devan terdengar berat.

Ia berdiri di sisi ranjang. Wajahnya tegang.

“Kamu harus lakukan ini.”

“Enggak!” Air mata Khanza meleleh deras.

“Kalau aku mati pun nggak apa-apa! Lepaskan aku! Aku mau pulang! Aku mau Mas Reza!!!”

PLAAKKKK!!!

Bukan tamparan ke wajah Khanza, tapi suara kaca jendela besar dihantam keras oleh kepalan tangan Devan.

BRAAAK!!!

Kaca retak lebar seperti jaring laba-laba.

Darah langsung mengalir dari buku-buku jarinya.

Dokter tersentak. Khanza ikut terdiam, shock.

Devan berdiri membelakangi mereka, bahunya naik turun kasar. Tangannya masih menempel di kaca retak.

Suara ombak dari luar bercampur dengan isakan samar dari Devan

Pelan-pelan ia menurunkan tangannya yang berdarah.

Ia menoleh ke arah Khanza dan untuk pertama kalinya, Khanza melihatnya menangis.

“Aku…” suaranya pecah. “Aku tahu kamu benci aku.”

Setetes darah jatuh ke lantai. Tapi ia tidak peduli.

“Aku tahu kamu ingin kabur dariku, ingin mati saja daripada bersamaku.”

Ia menarik napas, tapi gemetar.

“Tapi, tolong…”

Matanya merah. Air mata jatuh begitu saja.

“jangan mati di depanku.”

Khanza membeku.

Selama ini ia melihat Devan sebagai monster. Tapi sekarang pria itu berdiri rapuh, menggigil, seolah kehilangan segalanya.

Devan melangkah mendekat. Pelan. Tak lagi garang. Tak lagi memaksa.

Hanya menatap dengan wajah penuh luka.

“Aku rela kamu membenciku seumur hidup…” bisiknya parau.

“…asal kamu hidup.”

Khanza menatap darah yang menetes dari tangan Devan lalu ke matanya yang berkaca-kaca.

Tangannya yang tadinya menggenggam selimut, perlahan turun.

“Aku…”

Tenggorokannya tercekat.

Khanza menatap dokter dan berbisik pelan hampir tak terdengar.

"Lakukan.”

Troli medis didorong mendekat. Di atasnya bukan hanya kantong kemoterapi, tapi juga satu tray logam kecil berisi jarum panjang dan tabung khusus.

“Kami akan melakukan pengambilan sumsum tulang belakang,” ujar dokter tenang, tapi Khanza langsung memucat.

“Tanpa bius lokal,” lanjut dokter, nada suaranya datar.

“Kenapa tanpa bius?!” suara Khanza langsung gemetar.

“Obat anestesi memperlambat respon tubuh terhadap kemoterapi tahap pertama. Kita harus lakukan ini dalam keadaan sadar.”

“Nggak, aku nggak mau. Aku nggak mau sakit lagi…”

Devan berdiri di samping ranjang dan melihatnya Khanza yang ketakutan.

Dokter menatapnya.

“Tuan, tolong keluar sebentar.”

“Aku tidak pergi,” jawab Devan datar.

“Tuan, prosedur ini berat. Dia akan berteriak. Akan lebih baik kalau—”

“Aku. Tidak akan pergi.”

Suara Devan tajam, tapi pandangannya tak lepas dari Khanza.

Dokter menyerah. Ia memberi isyarat ke dua perawat untuk menahan posisi Khanza.

Namun saat tangan perawat menyentuh bahunya, Khanza panik dan meraih tangan Devan sekuat tenaga.

“Jangan pergi…” suaranya bergetar hebat.

“Aku takut…”

Devan menatapnya dalam. Kali ini tak ada senyum posesif hanya mata yang sayu.

“Aku di sini.”

Khanza menggenggam tangannya lebih erat. Devan ikut duduk di ranjang, membiarkan tubuh Khanza bersandar ke dadanya.

Jarum dimasukkan ke selang infus dan dalam hitungan detik rasa panas menjalar cepat di nadinya.

“Aa—ah…!” Khanza meringis, tubuhnya menegang.

“Itu baru awal,” kata dokter pelan.

Lalu ia mengeluarkan jarum panjang untuk prosedur sumsum tulang belakang.

Posisi Khanza dibaringkan miring, punggung terbuka sedikit.

Jarum diarahkan ke tulang belakang bawah.

“Napas pelan. Jangan bergerak,” ujar dokter.

Khanza menggigil.

“D-Devan…” suaranya pecah.

Devan langsung mendekapnya dari depan, satu tangan memeluk bahunya, yang lain menggenggam jemarinya erat.

“Aku di sini. Pegang aku kalau sakit.”

Jarum menembus kulit.

“A—AAAAH!!!”

Teriakan Khanza menggema di seluruh ruangan.

Tubuhnya menegang hebat, hampir terangkat dari ranjang.

“Diam, kalau bergerak jarumnya bisa meleset!” perawat memperingatkan.

“A—AKU NGGAK KUAT!!” Khanza menangis meraung.

“S-SAKIT! SAKIT!!!”

Devan mencium keningnya cepat.

“Gigit lenganku kalau perlu. Aku tahan.”

Khanza mencengkeram tangannya sampai buku-buku jarinya putih. Air mata deras mengalir.

“S-sakit….” Napasnya putus-putus. “Aku nggak kuat…”

Devan menempelkan dahinya ke dahi Khanza. Suaranya lirih, parau.

“Bertahanlah. Demi hidupmu. Demi aku dan tolong bertahan…”

Jarum ditarik keluar.

Darah menetes.

Khanza terkulai lemas dalam pelukan Devan.

Nafasnya tersengal, mata berair.

“A-aku capek…” bisiknya pelan.

Devan mengusap pipinya, menangkup wajahnya.

“Aku tahu…”

Ia mengecup keningnya lama.

“Tapi kamu masih punya aku. Jangan pergi.”

Jarum ditarik keluar dan sumsum tulang belakang berhasil diambil.

Namun bersamaan dengan itu tangan Khanza yang tadi mencengkeram kuat kini tiba-tiba terkulai lemas.

Tubuhnya lunglai.

Kepalanya terjatuh ke dada Devan dan Khanza langsung jatuh pingsan.

“Khanza?” Devan langsung panik. “Za?!”

Tidak ada respon.

Wajah Khanza pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya. Bibirnya memucat.

Namun. tangan kurusnya masih menggenggam jari Devan erat, seakan tubuhnya menyerah tapi jiwanya tetap bergantung padanya.

“Dia pingsan karena shock tubuh,” ujar dokter cepat sambil merapikan alat.

“Tubuhnya terlalu lemah untuk proses sekeras ini. Kami harus turunkan dosis kemoterapinya sementara.”

Tapi Devan tak mendengar.

Matanya terpaku pada wajah Khanza.

Air matanya mulai jatuh tanpa bisa ia tahan dan untuk pertama kalinya pria itu menangis bukan karena marah, bukan karena frustrasi, tapi karena takut.

“Khanza…” suaranya bergetar pelan.

“Aku yang minta kamu melawan. Harusnya aku yang tanggung semua rasa sakitmu bukan kamu sendiri…”

Devan perlahan turun dari ranjang dan berlutut di lantai, tanpa melepas genggaman itu.

Tangannya menggenggam tangan Khanza dengan kedua tangannya, seakan memohon.

Air matanya jatuh satu per satu membasahi punggung tangan istrinya.

“Bangunlah, jangan tidur terlalu lama…”

Ia menunduk, mencium genggaman itu kali ini tanpa paksa, tanpa ambisi

“Kalau kamu pergi, aku tidak tahu harus hidup untuk apa.”

Ruangan hening dan yang terdengar hanya suara beep… beep… beep… monitor jantung yang pelan namun stabil.

Devan memeluk tangan itu ke dadanya erat-erat.

Beberapa jam berlalu, sinar matahari mulai merambat masuk melalui jendela besar menghadap laut.

Khanza perlahan membuka matanya dan Pandangan samar-samar fokus pada sosok pria yang duduk di samping ranjang kepalanya tertunduk, satu tangan masih tergenggam erat oleh tangannya sendiri.

Bahkan setelah berjam-jam, i a masih di sana untuk menunggu Khanza.

Kemeja putihnya sudah kusut. Kedua matanya tampak bengkak, seolah ia tidak tidur sama sekali.

Di balik wajah dingin itu ada kelelahan, dan ketakutan yang nyaris tak tersamar.

Khanza menatapnya lama dan hatinya masih bingung, tubuhnya masih lemah, emosinya masih porak-poranda.

"D… Devan…"

Devan langsung tersentak, mendongak cepat.

Mata mereka bertemu.

“Aku di sini,” ucapnya pelan, suaranya serak.

“Aku nggak kemana-mana.”

Khanza menelan ludah, bibirnya bergetar lemah.

“K-kenapa…?” suaranya hampir tak terdengar.

“Hm?”

Khanza menarik napas pelan, suaranya bergetar.

“Kenapa kamu mencintai aku…?”

Devan terdiam sejenak saat mendengar perkataan dari istrinya.

Pertanyaan itu menamparnya lebih keras daripada teriakan atau amarah.

Ia menatap wajah pucat itu lama. Lalu, dengan suara rendah, ia menjawab jujur tanpa mengalihkan pandangannya.

“Aku tidak tahu sejak kapan, tapi dari semua orang yang pernah ada dalam hidupku, cuma kamu yang tidak pernah melihatku sebagai ‘Tuan Devan’.”

“Kamu tidak takut padaku waktu pertama kali aku memarahimu. Kamu bahkan berani banting pintu di depan wajahku.”

Senyumnya miring, getir dengan air matanya yang mengalir.

“Semua orang tunduk padaku, kecuali kamu.”

Ia menunduk sedikit, menggenggam tangan Khanza lebih erat.

“Dan sejak itu aku tidak bisa berhenti ingin melihatmu. Marah, tersenyum, menangis semuanya. Aku ingin semuanya hanya untukku.”.

“Tapi, kalau cinta. Kenapa kamu membuat aku sakit…?”

Devan menundukkan kepalanya dan ia meminta maaf karena sudah egois.

1
Dwi Estuning
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!