Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
"Sebenarnya ada yang salah dengan tubuh Juragan?" ujar Wulan membuat suasana menjadi tegang.
Juragan terdiam, riak cemas dan bingung jelas terlihat di wajahnya yang tampan rupawan. Wulan menatapnya dengan dalam, menyelami kedua manik juragan yang tajam.
"Ma-maksud Wulan bagaimana?" tanya Juragan gugup.
Wulan memindai dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan penglihatan batinnya, ada aura hitam yang menyelimuti tubuh itu. Sudah sangat lama bersarang dan terhubung pada seseorang yang begitu dekat dengan juragan.
"Maksud saya ... apa juragan suka merasa kepanasan?" Wulan bertanya, dan tak perlu jawaban karena ekspresi wajah juragan sudah menjawabnya.
"Apa juragan hilang kesadaran kalau malam bulan purnama!" tanya Wulan lagi semakin membuat juragan bungkam.
Ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi padanya. Hanya sering merasakan hawa panas dan gelisah di dalam dirinya meski pada musim penghujan sekalipun.
"Saya tidak tahu soal itu. Kamu bisa tanya sama bi Sumi atau Panji," ucap juragan tak mengerti dengan kondisi tubuhnya sendiri.
"Tapi kalau hawa panas saya sering merasakannya. Mmm ... kalau boleh bicara, saya merasa tenang saat memeluk Wulan. Rasa panas dan gelisah tidak saya rasakan lagi. Saya juga tidak mengerti apa yang terjadi pada tubuh saya," ungkap juragan dengan jujur.
Wulan menghela napas, menelisik wajah kebingungan sang juragan yang tak tahu apa-apa.
"Juragan kena guna-guna. Saya juga tidak tahu sihir apa yang mereka kirim. Juragan bisa merasa tenang saat memeluk saya karena tubuh saya mencoba mengusir hawa jahat dari tubuh juragan. Hanya saja saya tidak memiliki kesiapan makanya sampai muntah darah. Tunggu nanti saat bulan purnama, saya akan mempersiapkan diri saya," ujar Wulan terdengar tanpa beban.
Juragan merasa gamang, antara ingin sembuh, tapi tidak ingin mengorbankan Wulan. Dia lebih memilih terus seperti itu dan tidak bersentuhan dengan Wulan, dari pada membuat Wulan harus memuntahkan darah seperti tadi.
"Tidak, Wulan. Saya tidak ingin mengorbankan kamu. Biarlah saya seperti ini saja, saya berjanji tidak akan menyentuh kamu," ucap juragan sejujurnya.
Manik yang biasanya tajam itu, menatap lembut kepada Wulan. Ada ketidakrelaan di sana, juga kekhawatiran yang kentara. Wulan tersenyum, kehangatannya menembus ke relung hati juragan.
"Juragan tenang saja. Tidak akan seperti tadi," katanya sangat yakin.
"Kamu yakin?" Ada keraguan di garis wajah juragan.
Wulan menganggukkan kepala yakin, tapi juragan tetap tidak bisa membiarkannya menderita.
"Tapi saya tidak mau kamu menanggung derita saya, Wulan. Lagi pula saya sudah meminta tolong kepada Mbah Kari dan selama ini saya baik-baik saja. Katanya tidak lama lagi gangguan ini akan hilang," ujar Juragan meyakinkan Wulan bahwa dia baik-baik saja.
Wulan tersenyum sambil menggelengkan kepala. Juragan mengernyit melihat sikapnya.
"Mbah Kari? Dukun terkenal yang suka mengobati warga itu, sebenarnya dia tidak menyembuhkan Juragan. Saya juga tidak tahu apa yang dia lakukan untuk menekan hawa jahat itu, tapi itu sama sekali tidak menyembuhkan. Justru malah membuatnya semakin tidak ingin meninggalkan tubuh Juragan," ucap Wulan setelah menelisik dengan jelas makhluk yang bersemayam di dalam tubuh juragan.
Justru saya curiga pada laki-laki tua ini. Wulan bergumam di dalam hati.
"Tidak mungkin, Wulan! Selama ini cara yang diberikan mbah Kari selalu berhasil. Bagaimana mungkin tidak bisa menyembuhkan?" ucap juragan tak percaya pada perkataan Wulan.
"Itu terserah Juragan. Mau percaya atau tidak kepada saya, bulan purnama yang akan datang saya akan membuktikannya," tegas Wulan seraya beranjak dari tempat tersebut dan kembali ke villa dengan langkah yang terburu-buru.
Langit bukit mulai berubah, awan-awan jingga bertebaran memayunginya. Perlahan kegelapan mulai merayap menampakkan dirinya. Juragan terdiam, tapi kemudian segera menyusul Wulan setelah mendengar derit batang bambu yang seolah-olah sedang memperingatinya.
Semua penjaga villa, telah menutup gorden dan mengunci setiap jendela. Tak lupa juga pintu-pintu villa, setelahnya tak ada satu pun dari mereka yang akan keluar dari villa saat malam tiba.
"Juragan mau apa?" tanya Wulan saat melihat juragan Nata membuka bajunya.
"Mau mandi, apa lagi? Bukankah saya tidak boleh menyentuh Wulan?" godanya sembari tersenyum nakal.
Wulan menghela napas, menatap tajam pada juragan.
"Jangan mandi! Jangan melakukan apapun dulu sebelum senja pergi. Duduklah," ujar Wulan menepuk ruang kosong di sisinya.
Keduanya berada di dalam kamar, ada perasaan aneh yang datang. Juragan menurut dan duduk di sana. Menatap langit-langit kamar yang terasa mencekam.
"Ada apa, Wulan? Apa kamu melihat sesuatu?" bisik Juragan menggoda.
Senyum nakal kembali terukir, tapi anggukan kepala Wulan serta wajahnya yang serius membuat juragan terdiam. Memang ada sesuatu yang datang. Entah apa.
Wulan meletakkan jari telunjuk di bibir tanpa suara. Meminta juragan untuk diam tak berkata-kata. Sementara para pengurus villa sudah memahami situasinya. Mereka semua berdiam diri di dalam kamar dan tidak bersuara. Lampu-lampu dibiarkan menyala, menerangi seluruh villa.
Ada apa di villa itu?
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa