Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.
Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.
Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.
Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.
Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?
Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.
Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Televisi, Jas Dilepas dan Prioritas
Langkah-langkah hitam itu turun dari mobil mewah.
Alaric Alverio, dengan setelan jas hitam bergaris halus dan dasi navy, membuka pintu sendiri—tak menunggu sopir. Matanya lurus ke depan. Dingin. Tegas. Tidak terganggu.
Di belakangnya, sekretaris pria usia 40-an mengejar langkah cepatnya sambil menenteng tablet. Sementara dua pengawal pribadi berpakaian gelap-seragam Alverio, mengikuti dari jarak aman, menyebar formasi ketika mereka memasuki lobi utama Alverio Group.
Gedung pencakar langit itu seolah menyambut tuannya yang baru. Kaca tinggi memantulkan cahaya pagi, memandikan lantai marmer dalam pantulan emas.
“Selamat pagi, Pak Alaric,” sapa resepsionis dengan nada gugup tapi penuh hormat.
Pintu lift terbuka bahkan sebelum Alaric sempat menoleh. Sistem keamanan biometrik mengenalinya dari langkah dan pola gerakannya. Sebuah fitur yang hanya ditanamkan untuk satu nama—nama pewaris.
Kini, semua bisik-bisik itu jadi kenyataan.
Kakeknya telah meninggal. Seluruh dewan menyerahkan kuasa mutlak padanya. Ia bukan lagi CEO cabang, Alverio Beauty. Alaric adalah pusat kekuasaan.
“Rapat jam sepuluh dengan bagian ekspansi Eropa,” ucap sekretarisnya cepat. “Jam dua, wawancara eksklusif dengan media Jepang—mereka meminta komentar mengenai merger tahun depan. Dan... jam empat—"
“Batalin jam empat,” potong Alaric tanpa menoleh.
“Tapi itu—”
“Kirim karangan bunga. Dan kirim naskah wawancara. Jangan biarkan mereka pegang saya, bahkan lewat kata.”
Lift berhenti di lantai eksekutif. Pintu terbuka pelan, disambut lorong sunyi dengan cat hitam matte dan ornamen emas.
Langkah Alaric tetap mantap. Setiap orang yang mereka lewati menundukkan kepala. Tak ada lagi panggilan ‘Tuan Muda’. Sekarang hanya: Pak Alaric, CEO Alaric, Tuan Alverio.
Kematian pria terkaya nomor satu di dunia—kakeknya, Ravenshire Alverio—telah mengubah segalanya.
Dan tak ada yang tahu, pewaris sebenarnya itu bukan hanya kehilangan posisi pelindung tapi juga satu-satunya keluarga yang pernah ia kagumi.
Dan entah bagaimana, itu membuat Alaric lebih berbahaya.
Bukan karena ia haus kekuasaan—tapi karena ia sudah kehilangan terlalu banyak untuk mundur.
...***...
Ruangan kerja CEO Alverio Group berada di lantai paling atas gedung.
Dinding kaca membentang hingga langit-langit, memperlihatkan langit kota yang samar-samar mendung.
Alaric melepas jasnya perlahan.
Disampirkan ke sandaran kursi kulit hitam. Kemeja putih masih rapi menempel di tubuhnya. Lengan digulung hingga siku. Kacamata bening kini bertengger di batang hidungnya. Bukan untuk gaya, tapi benar-benar untuk membaca puluhan dokumen yang menumpuk sejak pagi.
Di meja: tumpukan folder, tablet laporan keuangan dan layar besar di sisi ruangan menampilkan saluran berita hiburan. Biasanya hanya jadi background… tapi hari ini, tidak.
Wajah Aluna terpampang jelas. Duduk di sofa acara talkshow, mengenakan dress biru satin dengan model off-shoulder. Rambut panjangnya di-curly lembut, dan tawa kecilnya terdengar saat ia menoleh pada pria di sebelahnya.
Lawan mainnya. Aktor yang sama, yang menyentuh Aluna di adegan ranjang itu.
‘Kami tidak menyangka film ini akan tembus 8 juta penonton dalam sebulan.’
Aluna, senyumnya tulus.
‘Tapi kami bersyukur… chemistry kami ternyata kuat, ya?’
Aluna menoleh ke aktor di sebelahnya, menahan tawa.
Alaric bersandar di kursi. Tangannya memegang pena, tapi tak menulis apa pun. Matanya tak berkedip.
Bibir Aluna yang tersenyum. Gerak tangannya yang bebas. Suara tawanya yang ringan. Semuanya menggelitik ruang yang tak pernah ia akui ada di dalam dadanya.
‘Aku tahu banyak yang ship kami.’
Aluna tampak tertawa.
‘Tapi jangan khawatir, itu hanya di layar. Di dunia nyata, hidupku jauh lebih rumit dari naskah film manapun.’
Tiba-tiba, smartphone Alaric bergetar. Nada khas. Hanya satu orang yang diberi ringtone itu.
Renzo.
Alaric langsung menoleh, mengambil smartphone tanpa pikir panjang. Satu sentuhan, dan suara di seberang menyapa lembut.
“Bang, lo sibuk? Cuma pengen denger suara lo. Nggak penting juga.”
Alaric tertawa kecil. Perlahan, ia menurunkan kacamata dan memejamkan mata sejenak, bersandar penuh di kursi.
“Enggak penting itu kadang yang paling perlu, Ren. Lo gimana? Udah makan?”
Percakapan mereka berlangsung tenang. Suara Renzo seolah mematikan seluruh suara dari televisi.
Aluna menghilang dari pandangan. Wajahnya di layar kini hanya bayangan yang tidak lagi mendominasi.
Karena sejauh apapun Alaric melangkah, seberat apapun posisinya sekarang. Masih Renzo yang pertama. Selalu.
“Gimana kerjaan lo?” tanyanya santai. “Pemasaran itu dunia tajam, Ren. Nggak semua orang cocok.”
Suara Renzo terdengar dari seberang telepon, sedikit tergelak. “Nggak seganas yang lo gambarkan, Bang. Divisinya justru cukup nyaman. Rekan-rekannya juga… bisa diajak kerja sama. Gaya kerja gue kayaknya cocok di sini.”
“Bagus.” Alaric mengangguk kecil, suaranya tetap tenang. “Tapi jangan terlalu nyaman. Di kantor ini, orang paling santai pun bisa punya rencana paling licik.”
“Tenang aja.” Renzo menghela napas pendek. “Gue tahu gue adik sepupu lo, tapi gue nggak pengen disayang karena itu. Gue juga nggak pengen dibenci karena itu.”
Alaric terdiam sejenak. Lalu dengan nada menggoda, ia bertanya, “ada yang mulai menarik perhatian lo di kantor?”
Hening sepersekian detik. Lalu Renzo menjawab cepat, “nggak ada. Belum, lebih tepatnya.”
...***...
Kantor Divisi Pemasaran, Lantai 11. Salah satu perusahaan Alverio Group—Alvera Corp—berfokus pada lifestyle, brand management, strategic finance.
Warna dinding abu muda, interior minimalis. Renzo berdiri di dekat pintu pantry, smartphonenya sudah dimatikan. Matanya… tak sengaja tertuju pada seorang gadis.
Tubuh mungil, postur tegak. Seragam kerjanya rapi dengan blazer hitam dan rok panjang. Yang mencolok, hanya satu: hijab lembut warna lavender yang membingkai wajah manis dan teduh.
Gadis itu sedang menyeduh kopi untuk dirinya sendiri. Gerakannya pelan, teratur. Tidak banyak bicara. Tidak sibuk bergosip seperti dua staf lainnya yang tadi berlalu di belakangnya.
Renzo memperhatikan dalam diam. Bukan tatapan mendalam penuh hasrat. Hanya… curiosity.
Mungkin karena hanya dia satu-satunya yang berhijab di kantor ini. Atau mungkin… karena ada sesuatu dalam cara ia berdiri tegap—tenang, seolah badai apapun di luar tidak akan menggoyahkan pijakannya.
Renzo menggeleng pelan. Menertawakan pikirannya sendiri. “Tertarik? Ah, mungkin cuma karena beda aja.”
Tapi matanya tetap mengikuti gadis itu sampai hilang di balik dinding koridor kaca. Dan senyum tipisnya baru menghilang beberapa detik kemudian.
Dapur kantor lantai 11 tidak terlalu luas, hanya berisi satu mesin kopi otomatis, kulkas kecil, dan dua kursi bar yang menghadap jendela kaca. Sinar matahari siang menyorot lembut ke dalam ruangan.
Renzo melangkah masuk. Tangan kirinya membawa mug kosong. Matanya segera menangkap sosok yang sudah ia lihat beberapa kali sebelumnya—gadis berhijab lavender itu.
Ia sedang menuang air panas ke cangkirnya. Pelan. Tenang. Tak tergesa-gesa seperti pegawai kebanyakan.
Renzo tersenyum kecil, menghampiri sambil menyalakan mesin kopi.
“Kayaknya udah seminggu kerja bareng, tapi kita belum kenalan beneran, ya?”
Gadis itu menoleh pelan. Senyum ramah muncul, sopan tapi tidak palsu. Wajahnya natural, segar. Riasan hanya bedak tipis, alis yang disikat rapi, dan lipstik peach lembut.
“Iya, aku juga sadar,” katanya pelan. “Namaku Nadhifa.”
“Renzo,” balas Renzo tanpa menyentuh.
Nadhifa tertawa kecil. “Iya, aku tahu. Semua juga tahu. Kamu sepupunya Pak Alaric.”
“Duh, jangan panggil gue gitu. Nanti disangka gue bawa koneksi.”
Nadhifa hanya tersenyum sambil duduk di salah satu kursi bar. Renzo ikut duduk di sebelahnya.
“Udah lama kerja di sini?”
“Baru dua bulan,” jawab Nadhifa tenang. “Sebelumnya magang di divisi keuangan. Sekarang ditempatkan di pemasaran, katanya biar ‘lebih hidup’.”
“Lo umur berapa, kalau boleh tahu?”
“Dua empat. Baru lulus tahun lalu.”
“Pendidikan?”
“Akuntansi. Tapi katanya wajahku cocoknya di marketing.” Nadhifa tertawa kecil. “Nggak ngerti maksudnya. Tapi ya udah, dijalanin aja.”
Percakapan ringan itu mengalir seperti air. Renzo tak sadar mereka sudah mengobrol hampir sepuluh menit.
Sampai tiba-tiba, Nadhifa meletakkan cangkirnya. “Kamu kayaknya orang pertama yang ngajak ngobrol aku lama di sini.”
Renzo menoleh. “Serius?”
Nadhifa mengangguk pelan. “Mungkin karena aku… berbeda. Dan aku juga nggak banyak cerita. Teman kerja ngajak ke bar, aku selalu nolak.”
Suaranya merendah, matanya mengarah ke jendela. “Tapi… mungkin karena kamu terlihat kayak orang yang bisa jaga rahasia.”
Renzo terdiam. Penasaran. Tapi diam.
Nadhifa menoleh padanya, wajahnya tetap tenang, tanpa ragu—tapi tidak juga sembarangan.
“Aku… anak dari simpanan almarhum kakek Ravenshire.”
Dunia seakan berhenti sebentar. Suara mesin kopi berhenti. Napas Renzo pun tertahan sesaat.
“Apa? Maksud lo… kakek gue?”
Nadhifa mengangguk perlahan.
“Tapi… aku sadar diri. Aku nggak nuntut warisan. Aku nggak pernah ada di radar keluarga resmi. Cuma… aku kerja di sini karena Mama bilang—lihat saja dunia dia dari dekat. Itu cukup.”
Renzo menatap Najwa lama. Ada ribuan hal yang ingin ditanyakan. Tapi yang keluar hanya, “kenapa gue?”
Nadhifa menatap balik, lembut.
“Karena kamu satu-satunya yang menatap aku bukan karena hijabku. Tapi karena ingin tahu siapa aku.”