Berkali-kali dikhianati membuat Marwah mengalami trauma, dia tidak mau menjalin hubungan dengan pria mana pun juga. Hingga akhirnya dia bertemu dengan seorang pengusaha berkedok ustaz yang sedang mencari orang untuk mengurus ibunya.
Nahyan ternyata tidak jauh berbeda dengan Marwah. Keduanya tidak beruntung dalam hal percintaan.
Akankah Allah menjodohkan mereka berdua dan saling mengobati luka satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon poppy susan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 15 Tamu Tidak Diundang
Setelah pamitan, Marwah pun pergi bersama Nahyan. "Tunggu, Ustaz!" teriak Iwan.
Nahyan dan Marwah menghentikan langkahnya. Marwah langsung melangkah berdiri di belakang tubuh Nahyan membuat Nahyan mengerutkan keningnya. "Anda suaminya Nazwa 'kan?" tanya Nahyan.
"Iya, Ustaz," sahut Iwan.
"Ada apa?" tanya Nahyan.
"Ustaz boleh saya minta alamat rumah Ustaz di Jakarta? biar keluarga bisa dengan mudah memantau Marwah karena banyak kejadian yang tidak diinginkan. Lagi pula, nanti kalau Marwah mau pulang biar saya yang jemput tidak usah Ustaz yang mengantarnya ke sini," ucap Iwan.
Nahyan mengerutkan keningnya, lalu sedikit menoleh ke arah Marwah yang saat ini menundukkan kepalanya sembari meremas baju gamisnya. Nahyan tahu ada sesuatu antara Marwah dan Iwan. "Tenang saja, anda tidak usah khawatir karena saya tidak akan ngapa-ngapain Marwah. Saya bukan orang jahat yang seperti anda pikirkan, lagi pula kalau ada apa-apa Marwah tinggal hubungi saja orang tua atau adiknya soalnya Marwah juga punya ponsel 'kan," sahut Nahyan.
Iwan seketika terdiam. "Bukan begitu saya hanya-----"
"Stop Kang! lebih baik Akang urusan Nazwa dan Namira, jangan pikirkan aku. Mereka lebih membutuhkan Akang, ingat Kang, Namira masih kecil butuh biaya untuk ke depannya." Nada bicara Marwah mulai meninggi padahal selama ini dia tidak pernah bentak-bentak orang.
"Ustaz, bisa kita pergi sekarang!" ajak Marwah.
"Iya. Assalamualaikum." Nahyan dan Marwah pun pergi.
Wajah Iwan terlihat sangat kesal, dia tidak suka Marwah dekat-dekat dengan Nahyan. Seperti biasa, Marwah duduk di kursi belakang dia tidak mau duduk di depan bersama Nahyan. Selama dalam perjalanan tidak ada pembicaraan sama sekali, hingga beberapa jam kemudian mereka pun sampai di rumah Nahyan.
Marwah menarik dalam-dalam napasnya lalu menghembuskannya secara perlahan. Mulai hari itu dia harus menahan kesabaran lagi menghadapi Halimah. "Bismillah, Ya, Allah berilah Hamba kesabaran yang lebih besar lagi," batin Marwah.
Marwah mengetuk pintu kamar Halimah dan membukanya secara perlahan. "Assalamualaikum, Bu," ucap Marwah.
Seperti biasa tidak ada jawaban sama sekali. Marwah duduk di sofa, baru saja dia mendudukkan tubuhnya Marwah dikejutkan dengan ucapan Halimah. "Kenapa kamu datang lagi?" seru Mama Halimah tiba-tiba.
"Saya akan terus di sini karena saya memang ditugaskan untuk menjaga Ibu," sahut Marwah.
"Saya tidak butuh perawat," sinis Mama Halimah.
"Saya bukan perawat, saya ada di sini karena ingin menemani Ibu saja," sahut Marwah.
Halimah mengerutkan keningnya tapi ia tidak menoleh ke arah Marwah sama sekali. Halimah baru menemukan orang yang bicara seperti itu. Biasanya para perawat hanya membawakan makanan, obat, dan merawat keperluan lainnya tanpa mau berbicara sedikitpun.
"Apa Ibu sudah makan?" tanya Marwah lembut.
Halimah bukanya menjawab, dia justru mengubah posisi kursi rodanya membelakangi Marwah. Lagi-lagi Marwah menghela napasnya berat. Dia bingung harus bagaimana untuk meluluhkan hati Halimah.
Hingga tidak lama kemudian terdengar teriakan seseorang dari luar. "Ma, Mama!"
Pintu kamar Halimah terbuka, Halimah dan Marwah menoleh bersamaan. Seorang wanita berhijab tapi pakaiannya masih terlihat ketat masuk ke dalam kamar Halimah bersama ibu-ibu. Marwah bisa memastikan jika wanita itu tidak pandai berhijab karena pakaiannya pun masih memperlihatkan lekuk tubuhnya.
"Ya, Allah Mama, apa kabar?" seru wanita itu sembari menghampiri Halimah.
Wanita itu hendak mencium punggung tangan Halimah tapi Halimah dengan cepat menarik tangannya. Wanita itu tersenyum sinis dan terlihat menahan kesal diperlakukan seperti itu. Dia lalu menoleh ke arah Marwah.
"Kamu siapa?" tanyanya dengan sinis.
"Aku Marwah, Mbak. Orang yang menjaga Ibu Halimah," sahut Marwah ramah.
"Nahyan ke mana?" tanyanya lagi.
"Ustaz pergi ke kantor," sahut Marwah.
"Mulai sekarang kamu pergi dari sini, karena aku sudah membawa orang untuk menjaga calon Mama mertuaku," sinis wanita itu.
"Sebentar ya, Mbak. Saya hubungi Ustaz Nahyan dulu," ucap Marwah.
Marwah baru saja ingin menghubungi Nahyan, wanita itu melarang Marwah. "Tidak usah kamu bilang kepada Nahyan karena aku adalah calon istrinya jadi semua keputusan di rumah ini menjadi keputusan aku juga, lebih baik sekarang kamu kemasi barang-barang kamu dan pergi dari sini!" usir wanita itu.
Halimah hanya diam saja, dia sama sekali tidak berminat untuk bicara. Entah kenapa hati Halimah sudah membeku, malas bicara, malas berdebat, dia berpikir biarlah Nahyan yang urus semuanya. Sedangkan Marwah tampak bingung, dia tidak tahu harus bagaimana.
"Kenapa diam? cepat pergi!" bentak wanita itu.
"Tapi, Mbak-----"
"Kamu berani melawan aku!" wanita itu mendorong tubuh Marwah sampai Marwah tersungkur di lantai dan bersamaan dengan kedatangan Nahyan.
"Astagfirullah, ada apa ini?" tegas Nahyan.
"Eh, sayang kamu sudah pulang? aku ke sini bawa orang untuk menjaga Mama jadi aku suruh wanita itu untuk pergi," sahutnya.
"Hera, kenapa kamu datang lagi ke sini? hubungan kita sudah lama berakhir, dan sekarang lebih baik kamu pergi dan bawa orang itu karena aku sudah punya Marwah yang akan menjaga Mama," sahut Nahyan dingin.
"Apaan sih Sayang, kenapa kamu jadi kasar seperti ini?" kesalnya.
"Sudah lebih baik sekarang kamu pergi, tidak baik jika tetangga melihat seorang wanita yang bukan siapa-siapa masuk ke rumah ini," ucap Nahyan.
"Kalau begitu kenapa kamu memelihara wanita itu? memangnya kamu gak takut tetangga berpikiran yang macam-macam sama kamu? mana dia tinggal di sini lagi?" ketus Hera.
"Kalau Marwah urusannya beda, dia bekerja di sini sebagai perawat Mama dan aku juga sudah lapor RT RW di sini jadi tidak akan ada tetangga yang berpikiran macam-macam," sahut Nahyan.
"Nahyan, aku mohon. Aku mau menikah sama kamu, dulu kamu bilang kalau aku harus pakai hijab dan sekarang aku sudah melakukannya demi kamu bahkan aku juga sudah membawa orang untuk menjaga Mama Halimah," ucap Hera dengan wajah memelas.
"Sudah terlambat, sekarang kamu pergi dan bawa orang itu," tegas Nahyan.
"Nahyan, beri aku kesempatan sekali lagi," mohon Hera.
"Aku mohon dengan sangat, kamu keluar dari rumah ini," ucap Nahyan.
Akhirnya dengan terpaksa Hera pun pergi dari rumah Nahyan bersama ibu-ibu yang dia bawa. Dulu Nahyan dijodohkan oleh sahabatnya dengan Hera. Nahyan dibohongi dan ditipu, karena sahabatnya bilang kalau Hera wanita solehah yang sudah memakai hijab bahkan Hera sengaja mengirim foto dirinya dengan memakai hijab.
Nahyan tahu agama, dia pun memutuskan untuk ta'aruf dengan Hera. Nahyan selalu memberikan apa pun yang Hera mau meskipun mereka belum saling bertemu. Hera memeras Nahyan, hingga suatu saat Nahyan melihat jika Hera masuk ke sebuah club dengan baju yang sangat seksi dari saat itu Nahyan langsung mengakhiri ta'arufnya dengan Hera.