NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 6

Malam itu, udara Pondok Nurul Falah terasa lebih berat dari biasanya. Setelah shalat isya, suasana asrama putri tidak seperti biasanya yang penuh canda dan suara buku dibalik. Kini, lorong-lorong terasa sangat sunyi namun penuh gumaman. Setiap kelompok santri seakan punya cerita yang sama untuk dibicarakan, dan nama Dilara terus disebut-sebut di antara mereka.

Di kamar 3B, tempat Dilara tinggal, Salsa memandangi sahabatnya yang duduk di ranjang dengan wajah pucat. “Lara… kamu harus jelasin semua ini nanti. Jangan diam aja,” bisiknya sambil menunduk agar suara tidak terdengar dari luar.

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Sal,” jawab Dilara lirih. “Kalau aku bilang itu jebakan, siapa yang bakal percaya? Semua orang udah lihat kain itu di gudang, dan mereka pasti menuduh aku yang keluar dari pondok pesantren itu pakai kain itu…” Suara Dilara nyaris tak terdengar. Ia tidak menyangka akan ada yang memfitnahnya seperti ini.

"Padahal terakhir kali aku keluar saat bersama Gus Zizan. Itu juga beliau yang minta aku ke pasar. Dan semuanya tau." Sambung Dilara lagi penuh sesak.

Mita yang sejak tadi mendengar dari pojok ranjang ikut mendekat. “Justru karena itu kamu harus cerita. Kyai udah bilang sendiri, jangan menuduh tanpa bukti. Kamu juga berhak didengar.”

Dilara menghela napas panjang. Ia menatap kedua temannya, mencoba menyerap semangat yang mereka berikan. Tapi di dalam dirinya, bayangan wajah Wulan terus mengintai. Ada tatapan puas yang tak mungkin ia lupakan.

"Tapi, kalau kyai nggak percaya?"

"Kamu tenang, insya Allah ada jalan dari Allah." 

Sementara itu, di kamar 1A yang dihuni para santri senior, Wulan duduk di meja belajarnya, pura-pura menyalin catatan kitab. Di hadapannya, dua temannya—Rani dan Fitri—sedang heboh membicarakan kain Dilara.

“Kalau sampai ada noda begitu, berarti udah jelas kan? Kayaknya dia keluar pondok beneran,” kata Rani sambil membisik.

Wulan tersenyum samar, tapi tetap menunduk seolah tidak mau ikut campur. “Ya… kita nggak tahu pasti sih. Tapi kalau udah ada barang buktinya, ya susah dibantah. Aku yakin deh, dia pasti suka keluyuran nggak jelas kalau malam.”

Fitri mengangguk, lalu mendekat. “Eh, tapi kamu kan dekat sama pengurus logistik, Lan. Gimana kalau kamu nanti yang bantu jelasin ke Ustadzah? Biar jelas.”

“Nggak usah deh,” jawab Wulan santai. “Takutnya malah dibilang ikut nyebar gosip. Mending aku diam aja.”

Namun dalam hati, ia justru tahu—diamnya itulah yang akan membuat gosip ini semakin liar.

"Is kamu kok gitu sih Lan. Kita harus kasih paham buat yang suka keluar pondok pesantren diam-diam. Apalagi manjat tembok pakai kain itu."

Wulan tersenyum sangat tipis. "Aku nggak mau, biar Ustadzah saja yang menilai. Lagian pak satpam juga yang sering mergoki orang itu naik pagar pakai kain itu. Udahlah, kebenaran pasti akan terbongkar." Kata Wulan membuat kedua temannya menganggukkan kepalanya.

Di dalam hati, ia terus berharap jika Dilara akan di keluarkan dari pondok pesantren ini.

"Ck, siapa suruh dekat-dekat sama Gus Zizan. Aku tidak akan pernah berbuat seperti ini jika dia tidak berurusan dengan Gus Zizan. Gus Zizan hanya cocok bersamaku, bukan buat siapapun, termasuk santri baru itu." Batin Wulan sambil tersenyum miring.

Selepas shalat isya, panggilan lewat pengeras suara terdengar.

“Kepada seluruh pengurus dan santri yang terlibat bersih-bersih gudang tadi sore, harap berkumpul di ruang tamu asrama putri sekarang.”

Suara itu membuat jantung Dilara berdegup kencang. Salsa menggenggam tangannya erat. “Kita ikut bareng, ya.”

Ruang tamu asrama malam itu dipenuhi wajah-wajah tegang. Di kursi tengah, Ummi Latifah duduk bersama Ustadzah Siti dan pengurus lainnya. Di meja depan, kain bermotif bunga merah muda itu terlipat rapi, tapi noda lumpur dan noda gelap di ujungnya tetap terlihat jelas.

Ummi Latifah membuka pertemuan. “Anak-anak, kita semua sudah tahu kenapa dikumpulkan malam ini. Kain ini ditemukan di gudang yang jarang dibuka, dan pemiliknya mengaku ini memang miliknya. Namun, kita perlu penjelasan—mengapa kain ini ada di sana, dan bagaimana bisa ada noda seperti ini.”

Tatapan semua orang tertuju pada Dilara.

Dengan suara bergetar, Dilara berkata, “Itu memang kain saya. Tapi saya nggak pernah taruh di gudang, apalagi memakainya untuk keluar pondok, ummi. Saya… saya bahkan nggak tahu kain itu hilang dari lemari saya.”

Bisik-bisik kembali terdengar. Ummi Latifah mengangkat tangan, meminta hening. “Kalau begitu, siapa yang terakhir kali melihat Dilara memakai kain ini?”

Seketika, suara Wulan terdengar dari barisan belakang. “Saya, Ummi.”

Semua kepala menoleh.

Wulan berdiri perlahan, memasang wajah ragu-ragu seolah enggan bicara. “Beberapa hari lalu, saya lihat Lara pakai kain itu sore-sore, waktu ke sumur belakang. Saya pikir nggak masalah, tapi sumur itu kan dekat tembok samping… Pak satpam juga lihat”

Bisik-bisik semakin riuh. Beberapa santri mulai saling melirik dengan ekspresi mengerti.

Dilara terkejut. “Itu nggak benar! Memang aku ke sumur, tapi sama Salsa, Mita dan Dewi! Dan cuma sebentar, nggak ada hubungannya sama keluar pondok!”

Salsa langsung mengangguk. “Betul, Ummi! Aku sama Dewi ada di situ!”

Namun Ummi Latifah menatap tajam. “Baik. Besok pagi kita akan panggil beberapa saksi lain. Malam ini, kain ini akan disimpan sebagai barang bukti. Dan mulai malam ini, Lara… untuk sementara kamu tidak boleh meninggalkan asrama tanpa pendamping pengurus.”

Dilara merasa darahnya berhenti mengalir. Larangan itu sama saja dengan pengasingan sementara.

Malam semakin larut. Asrama perlahan sunyi, tapi di lorong belakang, Wulan berdiri sendirian sambil menatap bulan. Dalam genggamannya, ada secarik kertas kecil yang ia tulis sore tadi, “Bukti pertama berhasil. Bukti kedua menyusul.”

Ia merobek kertas itu menjadi potongan kecil dan membiarkannya terbang terbawa angin. Di bibirnya, senyum licik perlahan muncul kembali.

Karena di rencananya, besok bukan hanya kain yang akan menjerat Dilara… tapi sesuatu yang jauh lebih sulit dibantah—sesuatu yang akan membuat semua orang yakin bahwa Dilara memang bersalah.

Dan kali ini, bahkan Salsa dan Dewi pun mungkin tak akan bisa menyelamatkannya.

Dan di tempat lain, Gus Zizan malam itu tidak dapat tidur, ia tiba-tiba terbayang wajah cantik salah satu santriwati-nya– Dilara.

Ia berusaha mencoba menepisnya, mengucapkan istighfar berulangkali, namun sialnya ia tetap selalu saja terbayang.

Gus Zizan bangkit, duduk di ranjangnya, ia memegangi dadanya yang berdebar sangat kencang. "Ada apa ini? Kenapa Devan aku? Ya Allah, tolong apapun yang terjadi semoga Dilara baik-baik saja.."

1
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!