"Janji di Atas Bara" – Sebuah kisah tentang cinta yang membakar, janji yang teringkari, dan hati yang terjebak di antara cinta dan dendam.
Ketika Irvan bertemu Raisa, dunia serasa berhenti berputar. Cinta mereka lahir dari kehangatan, tapi berakhir di tengah bara yang menghanguskan. Di balik senyum Raisa tersimpan rahasia, di balik janji manis terselip pengkhianatan yang membuat segalanya runtuh.
Di antara debu kota kecil dan ambisi keluarga yang kejam, Irvan terperangkap dalam takdir yang pahit: mempertahankan cintanya atau membiarkannya terbakar menjadi abu.
"Janji di Atas Bara" adalah perjalanan seorang pria yang kehilangan segalanya, kecuali satu hal—cintanya yang tak pernah benar-benar padam.
Kita simak kisahnya yuk, dicerita Novel => Janji Di Atas Bara
By: Miss Ra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 6
"Jaga mulutmu kalau bicara dengan Ayahku!" bentaknya dengan napas berat.
Dharma berdiri kaget, sementara para tukang panik, sebagian mencoba melerai tapi tak berani mendekat. Roy bangkit dan berusaha membalas, tapi Irvana lebih cepat__ satu tendangan keras menghantam perutnya hingga ia tersungkur lagi.
"Berhenti, Irvan!" teriak Darwis. Tapi anak muda itu tak mendengar.
Roy kemudian berlari memasuki ruangan dengan wajah berdarah, Irvana mengejarnya dengan marah membara. Mereka berlari melewati lorong-lorong panjang rumah Dharma, suara bentakan dan langkah kaki menggelegar di dalam rumah mewah itu.
Beberapa pelayan menjerit kaget saat mereka melintas cepat, menjatuhkan nampan dan vas bunga.
Hingga akhirnya, Irvana hampir melewati satu pintu kamar yang setengah terbuka__ kamar Raisa.
Dari dalam, Raisa yang sedang membaca di kursinya terlonjak kaget melihat Irvana berlari dengan wajah penuh amarah.
"Irvan!" serunya, spontan melangkah ke depan.
Sebelum pria itu bisa terus mengejar, Raisa menarik pergelangan tangannya dengan kuat.
“Cukup! Masuk sini!”
Tanpa sempat berpikir, Raisa menarik Irvana masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu dengan cepat.
Di luar masih terdengar suara gaduh dan langkah-langkah orang lain, tapi di dalam kamar itu, dunia seolah berhenti.
Irvan berdiri terengah-engah, dadanya naik-turun keras. Wajahnya masih menegang, matanya merah karena amarah yang belum reda.
Sedangkan Raisa berdiri di hadapannya, menatapnya dengan tatapan campuran antara terkejut, cemas, dan__sesuatu yang lain.
Keheningan itu menggantung berat.
"Kenapa kamu--" Raisa berbisik, masih memegang pergelangan tangan Irvan yang hangat dan bergetar.
Irvan masih terengah-engah, matanya menatap tajam ke arah pintu kamar, seolah siap menerjang keluar kapan saja. Napasnya berat, dada naik turun dengan cepat__amarahnya belum padam, malah semakin bergejolak karena darah mudanya mendidih.
"Aku harus keluar," katanya serak, mencoba menyingkir dari hadapan Raisa. "Orang itu kurang ajar dengan Daddyku!"
Namun baru dua langkah ia ambil, Raisa dengan cepat memeluknya dari belakang.
*Irvan, jangan!" suaranya pelan tapi tegas.
Irvan terkejut, tubuhnya menegang. Ia berusaha melepaskan diri, menarik tangan Raisa dari dadanya.
*Raisa, lepaskan!" bentaknya, nadanya bergetar antara amarah dan bingung.
Namun Raisa tidak menyerah. Pelukannya justru semakin erat, kedua lengannya melingkar kuat di dada Irvan. Wajahnya menempel di punggung pria itu, merasakan degupan jantung yang berdentum cepat.
"Biarkan dulu seperti ini," bisiknya lembut, nyaris tak terdengar. Hening beberapa saat lalu Raisa kembali bersuara. "Kata Ibu-- kalau seseorang sedang dilanda emosi, peluklah dia beberapa menit-- maka semua emosi itu akan hilang."
Irvan berhenti bergerak. Kedua tangannya masih menggantung di udara, seolah ragu apa harus mendorong atau membiarkan. Napasnya pelan-pelan melambat, meski dada masih panas oleh sisa amarah.
Raisa tetap tak melepaskan pelukannya. Ia bisa merasakan betapa tubuh Irvan yang keras dan tegang itu perlahan mulai tenang, meski masih bergetar halus.
Suasana kamar menjadi sunyi. Hanya terdengar napas dua insan yang saling bertaut dalam diam.
Irvan akhirnya menunduk sedikit, matanya memejam, membiarkan udara dingin bercampur dengan kehangatan pelukan Raisa. Ada sesuatu yang berubah__amarah yang tadinya seperti api, kini perlahan padam, digantikan oleh sesuatu yang lebih halus, lebih dalam.
Beberapa detik kemudian, suaranya keluar pelan, nyaris seperti gumaman.
"Kalau kamu terus begini, aku nggak yakin amarahnya yang hilang-- mungkin akalku yang akan hilang lebih dulu."
Raisa terdiam, lalu senyum kecil muncul di bibirnya__senyum lembut yang menyiratkan lega sekaligus canggung. Tapi ia tetap tak melepaskan pelukannya.
"Kalau itu membuatmu tenang," bisiknya, "lakukan saja sekarang."
Irvan menunduk, akhirnya mengembuskan napas panjang. Tangan yang semula tegang kini perlahan terulur, menyentuh lengan Raisa yang masih melingkar di dadanya__bukan untuk melepaskan, melainkan sekadar memastikan-- bahwa pelukan itu nyata.
Raisa perlahan menarik napas dalam, kemudian menatap Irvan yang masih diam membelakanginya. Dengan lembut, ia memutar tubuh pria itu hingga mereka kini saling berhadapan. Kemudian Raisa tersenyum simpul.
Tatapan Irvan masih tajam, namun kini ada kebingungan dan lelah di sana. Wajahnya keras, tapi matanya menyiratkan luka yang jarang terlihat.
Tanpa banyak kata, Raisa menatapnya dalam__lalu memeluknya lagi, kali ini dari depan. Pelukan yang tidak lagi sekadar menenangkan amarah, tapi seolah menjadi cara untuk mengatakan hal-hal yang tak bisa diucapkan.
Irvan terdiam. Tangannya sempat menggantung di udara sebelum akhirnya, atas dorongan lembut Raisa, perlahan melingkar di pinggang gadis itu.
Keheningan kembali memenuhi kamar. Rasanya waktu berhenti; hanya ada dua orang dengan napas yang perlahan seirama, Hidung Irvana sedikit mencium aroma harum dari tengkuk Raisa. Tangannya bergerak menyingkirkan rambut yang menghalangi keharuman itu kemudian menciumnya dengan tenang.
Raisa menutup matanya sejenak saat merasakan sentuhan itu, lalu melepaskan pelukannya perlahan. Senyuman kecil menghiasi wajahnya, kali ini bukan untuk menenangkan__tapi untuk mengubah suasana.
"Sudah cukup marahnya," katanya lembut, menatap Irvan dengan mata yang berkilau. "Sekarang ikut aku. Kita akan berpesta hari ini."
Irvan mengerutkan kening, masih terkejut dengan perubahan nada suaranya.
"Pesta?" ulangnya, nyaris tak percaya.
Raisa tersenyum lebih lebar, menepuk pelan dadanya.
"Iya. Kadang, cara terbaik melupakan masalah… bukan dengan marah, tapi dengan sedikit kebahagiaan."
Senyum itu__hangat, sederhana, dan sulit ditolak. Irvan menatapnya lama, sebelum akhirnya sudut bibirnya terangkat tipis.
"Tapi kali ini, kamu yang bertanggung jawab kalau pesta ini membuat suasana di rumah berubah jadi ribut besar lagi."
Raisa tertawa kecil. "Kita lihat saja nanti."
Mereka pun melangkah keluar dari kamar, meninggalkan semua ketegangan di taman__ dua jiwa yang perlahan mulai saling menenangkan, dengan cara mereka sendiri.
Raisa menggenggam tangan Irvan dan menariknya dengan cepat keluar dari kamar.
"Ayo! Sebelum Ayahmu dan Ayahku saling lempar kursi!" katanya sambil tertawa kecil di tengah kekacauan.
Gadis itu terus menariknya berlari kecil melewati lorong rumah, menuruni tangga marmer, lalu keluar ke pintu depan.
Suara ribut di taman belakang masih terdengar samar__teriakan para tukang, suara orang-orang yang mencoba melerai. Raisa terus berlari sambil tertawa, menyeret Irvan ke arah jalan besar di depan rumah.
"Raisa, kau mau bawa aku ke mana sebenarnya?" tanya Irvan, masih setengah terengah.
"Ke tempat yang lebih waras!" jawab Raisa tanpa menoleh.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di tengah keramaian pasar pameran yang sedang berlangsung itu. Musik Dj bercampur dengan tawa orang-orang, dan aroma manisan serta jagung bakar memenuhi udara.
Raisa berhenti, menatap sekeliling dengan mata berbinar. "Nah! Ini yang aku maksud pesta."
Irvan memandang sekeliling, masih belum bisa percaya dengan perubahan suasana secepat itu. "Pesta di tengah pasar rakyat?"
"Kenapa tidak?" Raisa menatapnya, senyum kecilnya menular. "Kamu butuh udara segar. Dan aku butuh alasan untuk tertawa hari ini."
Mereka berjalan di antara kerumunan__mencoba permainan lempar gelang, tertawa saat Irvan gagal terus, lalu menikmati es serut warna-warni yang meleleh cepat di tangan.
Ia tampak berbeda di siang hari menjelang sore itu__bebas, hidup, dan begitu nyata.
Irvan memandangnya lama dari kejauhan, lalu menggeleng pelan. "Gadis ini benar-benar gila,"
Raisa menatapnya sambil bergoyang dan tersenyum lebar.
Irvan tertawa kecil, akhirnya ikut menari di taman pameran bersama Raisa, membiarkan riuh sore hari itu menelan sisa amarahnya. Untuk pertama kalinya setelah hari yang panjang, ia benar-benar merasa tenang.
...----------------...
Next Episode...
oh cintaaaa
kumaha ieu teh atuh nya
lanjut
badai akan segera d mulai
hm
lanjut
haruskah