Di barat laut Kekaisaran Zhou berdiri Sekte Bukit Bintang, sekte besar aliran putih yang dikenal karena langit malamnya yang berhiaskan ribuan bintang. Di antara ribuan muridnya, ada seorang anak yatim bernama Gao Rui, murid mendiang Tetua Ciang Mu. Meski lemah dan sering dihina, hatinya jernih dan penuh kebaikan.
Namun kebaikan itu justru menjadi awal penderitaannya. Dikhianati oleh teman sendiri dan dijebak oleh kakak seperguruannya, Gao Rui hampir kehilangan nyawa setelah dilempar ke sungai. Di ambang kematian, ia diselamatkan oleh seorang pendekar misterius yang mengubah arah hidupnya.
Sejak hari itu, perjalanan Gao Rui menuju jalan sejati seorang pendekar pun dimulai. Jalan yang akan menuntunnya menembus batas antara langit dan bintang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boqin Changing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Murid yang Miskin
Malam semakin pekat, namun suasana terasa hangat. Cahaya bulan menyelinap di antara pepohonan, menimpa dua sosok yang duduk bersebelahan di teras rumah kayu itu.
Gao Rui masih kewalahan memahami apa yang baru saja ia terima. Pengetahuan rahasia tingkat tinggi, teknik yang bahkan tidak pernah disebut dalam kitab mana pun di sektenya. Namun sebelum pikirannya sempat menstabilkan diri, gurunya kembali mengangkat tangan.
Cahaya biru muncul lagi dari cincin ruang Boqin Changing.
Sruuut.
Kali ini, yang muncul adalah sebuah cincin ruang kecil berwarna hitam dengan ukiran naga di sisinya. Boqin Changing melemparkannya santai ke arah Gao Rui.
“Ambil.”
Gao Rui refleks menangkapnya, lalu membeku.
“C-cincin ruang?”
Ia melihat benda itu seolah memegang harta berharga. Napasnya memburu, pikirannya kacau.
“Gu-Guru… aku… aku tidak bisa menerima ini…”
Boqin Changing mengangkat alis, malas memanjang-lebarkan pembicaraan.
“Kenapa?”
“Ini… ini terlalu berharga! Bahkan di sekte besar sekalipun, hanya para murid kaya yang punya! Aku.....aku tidak pantas.”
Sebelum ia selesai, Boqin Changing menghela napas… panjang.
“Ah.” Ia menepuk keningnya. “Lagi-lagi masalah harga diri murid miskin yang terlalu dramatis.”
Gao Rui tercekat.
“Eh?”
Tanpa bicara lagi, Boqin Changing kembali mengulurkan tangannya ke udara.
Sssrrrttt!
Sebuah benda besar tiba-tiba muncul, karung lusuh yang diikat kuat. Ia menarik talinya… dan membuka sedikit bagian dalamnya.
Gao Rui langsung terbelalak.
Karung itu penuh dengan cincin ruang, menumpuk seperti kacang di karung pasar. Bukan satu, dua, atau sepuluh. Tapi mungkin ribuan. Cincin ruang dalam jumlah yang keterlaluan.
Gao Rui merasa lututnya melemas.
“I-itu semua…?! Bagaimana bisa… darimana… ah… ini…”
Boqin Changing menatapnya santai.
“Apa kau lupa kata-kataku. Kalau aku berkata aku orang terkaya kedua di Kekaisaran Qin…”
Gao Rui langsung melanjutkan kalimat itu tanpa sadar, terguncang oleh pemandangan di depannya.
“…maka mungkin tidak ada orang lain yang berani menyebut dirinya di posisi pertama.”
Boqin Changing tersenyum tipis.
“Pintar.”
Gao Rui hampir terjatuh dari kursinya. Boqin Changing menutup kembali karung itu, lalu menyimpannya lagi ke dalam cincin ruangnya. Setelah itu ia menatap Gao Rui dengan ekspresi datar.
“Dengar baik-baik. Di sisiku, tidak ada alasan untuk lambat berkembang. Kau butuh sumber daya, aku berikan. Kau butuh teknik, aku ajarkan. Kau butuh cincin ruang? Aku punya banyak.”
Ia menunjuk cincin yang diberikannya pada Gao Rui.
“Terima saja. Jangan membuang waktuku dengan penolakan bodoh.”
Gao Rui terdiam. Mulutnya terbuka tapi tak ada suara keluar. Perlahan, ia menunduk… dan mengepalkan cincin itu erat-erat.
“…Baik, Guru. Terima kasih”
Boqin Changing mengangguk pelan.
“Isinya kuberikan beberapa tumpuk Rumput Naga. Gunakan untuk memperkuat tubuhmu mulai besok.”
Gao Rui tercengang lagi.
“I-Isinya… Rumput Naga, banyak?!”
“Tumpukan.”
“Be… berapa tumpuk?”
Boqin Changing melirik santai sambil tertawa.
“Cukup untuk membuat seekor kuda pun jadi pendekar.”
Gao Rui lalu ikut tertawa mendengar jawaban gurunya itu. Boqin Changing kemudian berdiri.
“Malam ini kau belajar Teknik Pasir Penghisap. Satu bulan lagi, kau harus cukup kuat untuk mulai bertarung melawan binatang buas.”
Ia berbalik ke arah pintu.
“Bersiaplah, Gao Rui.”
Tatapannya tajam.
“Latihan keras hari ini hanyalah pemanasan kecil. Besok kita akan memulainya kembali.”
Hening. Angin malam melintas pelan. Gao Rui menatap cincin ruang di tangannya… dan dalam diam ia tersenyum.
...*****...
Selama seminggu ke depan, hidup Gao Rui berubah total. Selepas membuat sarapan, ia sudah duduk bersila di halaman belakang rumah, mengikuti instruksi gurunya untuk berlatih teknik pernapasan. Udara pagi yang dingin menusuk tulang, namun ia memaksa paru-parunya menahan dan mengatur napas sesuai ritme yang Boqin Changing ajarkan.
Setiap kali kelemahannya tampak, suara gurunya seakan selalu hadir, dingin namun tegas.
“Tubuhmu adalah wadah. Kalau wadahnya rapuh, bagaimana kau menampung kekuatan? Lagi.”
Begitu matahari mulai meninggi, latihan kedua dimulai latihan fisik. Menggerakkan badan, memanjat tebing, membawa keranjang batu keliling, hingga berlari menembus hutan. Di hari kelima, kulit telapak kaki Gao Rui pecah-pecah dan berdarah. Namun ia tidak berani mengeluh. Karena setiap keluhan akan dibalas tatapan gurunya yang membuat nyalinya menciut.
Malam hari, saat tubuhnya sudah remuk, barulah latihan terakhir dimulai Teknik Penyerap.
Boqin Changing berdiri di depan muridnya, menatapnya seperti pandai besi menilai logam mentah sebelum ditempa.
“Duduk. Tenangkan pikiran. Buka seluruh pori-pori tubuhmu.”
Malam demi malam, Gao Rui belajar menyerap sedikit demi sedikit energi alami dari rumput naga dengan menyerapnya melalui tangannya. Susah, pikirnya di awal. Tapi ketika guru bilang bisa, berarti harus bisa.
Tujuh hari itu terasa berat baginya. Namun saat hari ketujuh berakhir, ia tersadar sesuatu napasnya menjadi stabil. Tubuhnya lebih kuat.
...******...
Malam itu kembali sunyi. Angin membawa aroma tanah lembap setelah hujan sore tadi. Cahaya bulan menyusup melewati dedaunan, menimpa halaman rumah kecil di tengah hutan itu. Gao Rui duduk di teras, masih terasa pegal seluruh tubuhnya setelah hari ketujuh latihan. Ia meneguk air jahe hangat yang baru saja ia rebus. Bocah itu merasa seluruh tulangnya dihantam palu besi. Tapi anehnya, ia tersenyum puas.
Boqin Changing keluar dari dalam rumah sambil membawa kendi teh. Ia duduk di samping muridnya tanpa berkata apa-apa selama beberapa saat. Hanya suara malam yang mengisi kesunyian.
“Apa kau mulai rindu sektemu?” tanya Boqin Changing tiba-tiba, nada bicaranya ringan, seperti menanyakan sesuatu yang tak terlalu penting.
Gao Rui tidak menyangka pertanyaan itu muncul. Namun ia menjawab cepat, jujur tanpa ragu.
“Tidak.”
Boqin melirik sekilas. “Tidak sama sekali?”
Gao Rui menggeleng.
“Aku… merasa lebih nyaman di sini, Guru. Di sekte, semua orang sibuk bersaing, sibuk menunjukkan diri. Tapi di tempat ini… aku merasa fokus. Tujuanku jelas. Aku ingin kuat. Itu saja.”
Boqin Changing mendengus kecil.
“Hmph. Setidaknya kau tahu apa yang kau mau.”
Beberapa menit berlalu. Gao Rui tampak menimbang sesuatu di pikirannya. Akhirnya ia memberanikan diri bertanya.
“Guru… aku ingin bertanya sesuatu.”
“Tanya.”
“Pedang yang selalu berada di pinggangmu… dua-duanya. Apakah itu pusaka?”
Boqin Changing melirik santai.
“Menurutmu?”
Gao Rui mengangkat dagunya sedikit dan mencoba terdengar berwibawa.
“Dari aura saja aku bisa merasakan tekanan yang tidak biasa. Mungkin… pusaka kelas satu? Tidak, tidak mungkin. Pusaka kelas satu auranya tidak sepekat itu. Jadi....” ia menelan ludah, “....mungkin… itu pusaka raja.”
Boqin tidak menjawab. Gao Rui sedikit gugup.
“Gu-Guru… aku salah?”
Boqin Changing tiba-tiba menatapnya.
“Kau salah. Ini pusaka langit”
Gao Rui terdiam sejenak.
“A-Apa?!” Ia hampir jatuh dari duduknya. “Pu… pusaka langit?! Guru, itu....itu… legenda! Di sekteku saja, para tetua mengatakan keberadaan pusaka langit hanyalah rumor yang tidak bisa dipastikan! Bagaimana mungkin kau....”
Boqin Changing mengangkat tangan santai, meminta Gao Rui diam. Ia tertawa pelan.
“Aku punya empat.”
Gao Rui terpaku. Mulutnya terbuka tapi tidak keluar suara.
Ia menunjuk pedang hitam di pinggang gurunya.
“Kalau begitu… pedang itu… yang berwarna hitam… apa nama pedang itu?”
Boqin Changing melihat pedang bersarung pedang hitam di pinggangnya, seolah menyerap cahaya bulan. Suara aneh yang getir terdengar samar, seperti bisikan dari lembah neraka.
“Namanya Pedang Neraka Kegelapan.” kata Boqin Changing pelan.
Gao Rui bergidik.
“Apa… keistimewaannya?”
“Keistimewaannya?” Boqin Changing menatap muridnya, tersenyum samar. “Jika kau tahu… mungkin kau akan pingsan.”
Gao Rui mengerutkan kening.
“Kenapa bisa begitu?”
Boqin Changing tidak menjawab. Ia hanya menatap muridnya selama beberapa detik… lalu menarik bilah pedang itu keluar sejengkal.
Clanggg!!
Suara logam itu tidak biasa. Berat, dingin, mencekam.
Saat bilah itu muncul sedikit saja, udara di sekeliling mereka langsung berubah. Angin berhenti. Suara malam lenyap. Suhu udara turun drastis.
Aura kematian meledak dari pedang itu. Bukan sekadar tekanan. Ini… kehampaan murni. Seolah seluruh kehidupan di sekitarnya dipaksa berhenti. Gao Rui merasa paru-parunya tak bisa bergerak. Matanya membelalak. Urat-urat tubuhnya menegang. Tulangnya bergetar hebat. Ia benar benar merasakan ketakutan yang mendalam.
Salam sepersekian detik kemudian Gao Rui memekik tanpa suara. Wajahnya memutih, seputih kain mayat. Lalu ia jatuh pingsan seketika.
Boqin Changing memasukkan kembali pedangnya ke sarungnya dan berdiri sambil menghela napas.
“Sial. Sudah kuduga.”
Ia memandang muridnya yang terkapar dengan wajah beku ketakutan.
“Akhirnya benar-benar pingsan.”
Boqin Changing mengumpat sebentar. Ia kemudian mengangkat muridnya dan membawanya masuk ke rumah.