"Pada akhirnya, kamu adalah luka yang tidak ingin aku lepas. Dan obat yang tidak ingin aku dapat."
________________
Bagaimana rasanya berbagi hidup, satu atap, dan ranjang yang sama dengan seseorang yang kau benci?
Namun, sekaligus tak bisa kau lepaskan.
Nina Arunika terpaksa menikahi Jefan Arkansa lelaki yang kini resmi menjadi suaminya. Sosok yang ia benci karena sebuah alasan masa lalu, namun juga cinta pertamanya. Seseorang yang paling tidak ingin Nina temui, tetapi sekaligus orang yang selalu ia rindukan kehadirannya.
Yang tak pernah Nina mengerti adalah alasan Jefan mau menikahinya. Pria dingin itu tampak sama sekali tidak tertarik padanya, bahkan nyaris mengabaikan keberadaannya. Sikap acuh dan tatapan yang penuh jarak semakin menenggelamkan Nina ke dalam benci yang menyiksa.
Mampukah Nina bertahan dalam pernikahan tanpa kehangatan ini?
Ataukah cinta akan mengalahkan benci?
atau justru benci yang perlahan menghapus sisa cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumachi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Sisi yang Terluka
Jefan memasuki rumah orang tuanya dengan napas berat. Jika ia tau malam ini, ayahnya tiba-tiba memanggilnya, Jefan tidak mungkin berkata seperti itu pada Nina tadi pagi.
Hari ini gadis itu pasti akan menderita lagi dalam sunyi.
Tapi, itu tidak begitu buruk kan. Setidaknya dia aman.
"Ada apa ayah memanggilku?" ujar Jefan begitu menghampiri Ayahnya yang sudah menunggu diruang kerja pribadi nya.
"Mana istri mu? Aku memintamu membawanya kan"
"Cukup sampaikan saja padaku"
Erwin tertawa berat, anaknya selalu seperti itu setiap kali dirinya ingin mendekat pada gadisnya. Sejak dulu, anaknya itu tak pernah berubah, seperti menjadi tameng tanaman putri malu yang mudah kuncup dengan sedikit sentuhan.
"Padahal aku ingin bertemu menantuku" sarkasnya sembari menyeringai.
Jefan mengatupkan rahangnya kencang.
Lelaki tinggi tegap itu memandang tajam kearah ayahnya, mencoba membuat pertahanan penuh untuknya agar tak lagi mengusik apa yang dimiliki nya.
"Aku tidak punya banyak waktu, katakan saja apa maumu"
Belum sempat Erwin menjawab pertanyaan putranya itu, dering ponsel terdengar menyela, Jefan merogoh ponsel yang ada didalam saku jas nya.
Melihat ekspresi Jefan yang sedikit berubah Erwin kembali menyeringai "Istrimu ya? Angkat saja, aku juga ingin bicara padanya"
Jefan tak menghiraukan, ia kembali memasukkan ponselnya itu ke dalam saku. Dan mendesah berat.
"Aku akan pergi sekarang jika memang tidak ada hal penting"
"Baiklah, duduklah dulu apa kau tidak bisa jadi orang yang sedikit lebih sabar?"
"Menurutmu siapa yang membuatku jadi seperti ini?"
Erwin terkekeh pelan, ia berdiri dari kursinya dan berjalan menghampiri Jefan. Entah sejak kapan putranya itu tumbuh jauh lebih tinggi darinya.
"Tidak apa, itu berarti membuktikan bahwa kau benar-benar putra kandungku. Aku juga tidak bisa bersabar bahkan untuk sedikit saja"
Jefan tak bergeming. Ia hanya memandang ayahnya yang terus membual dengan menyebalkan. Satu-satunya yang menahan Jefan tidak memakinya adalah, karena lelaki tua itu adalah manusia nekat tak punya hati yang bisa melakukan apa saja demi mewujudkan keinginan.
"Untuk itu, kalian bisa kan segera memberiku cucu? Kau pasti tau keturunan di keluarga ini sangat penting"
Jefan mengepalkan tangan nya "Pernikahan kami bahkan belum genap satu bulan"
"Ya aku tau, tapi satu tahun harusnya sudah cukup untuk membuat istrimu mengandung pewaris kita kan?"
Jefan menghembuskan nafas berat, ia memejamkan matanya untuk meredam emosi yang sudah diubun-ubun. Bagaimana bisa manusia ini membicarakan perempuan layaknya seperti mesin pencetak anak?
"Aku tidak berencana memiliki anak denganya"
Pandangan Erwin sedikit menajam, wajahnya yang sedari tadi penuh seringai jahat kini kaku. Itu karena Erwin tau, ucapan putranya itu bukan hal yang asal ucap.
"Aku sudah mengizinkan mu menikah denganya, untuk itu kau harus memenuhi syarat sebagai imbalan bukan?"
"Kalau waktu itu ayah tidak mengizinkan pun, aku akan tetap menikahinya"
"Kau tak mungkin tak mengerti ayahmu ini orang yang seperti apa kan Jefan? Kau yakin ingin melawanku?"
"Apa pengabdianku masih belum cukup? Aku sudah menurutimu selama ini! Aku bahkan sudah meninggalkan seluruh kebahagiaanku sejak lama hanya untuk mengikuti perkataan mu!"
Napas Jefan memburu, dada nya naik turun, dan matanya memerah.
"Oleh karena itu, tidak ada salahnya bagimu untuk mengikuti perkataan ku sekali lagi" Erwin meremas pundak Jefan yang masih menengang menahan emosi.
"Aku kan tidak memintamu meninggalkannya lagi seperti dulu, kalian bisa terus bersama, bahagia, dan punya keturunan untuk pewaris keluarga kita" lanjut Erwin tenang namun penuh tatapan menusuk
"Kehidupan kami biar jadi urusanku. Dia istriku, dia milikku! Jangan pernah menjadikannya alat untuk meneruskan pewaris sialan keluarga ini!"
Jefan menepis kasar tangan Ayahnya yang meremas pundaknya. Ia berjalan cepat keluar ruangan dan menutup kasar pintu meninggalkan bunyi cukup kencang yang menggema.
Diperjalan pulang ia terus merutuki dirinya sendiri lahir ditengah keluarga yang seperti ini. Andai, ia bisa lahir di tengah keluarga yang sedikit lebih baik mungkin dia bisa menyelamatkan kehidupan Nina agar jadi lebih indah.
Tidak. Mungkin lebih baik jika mereka berdua tumbuh di keluarga yang sama baiknya. Pasti mereka sudah sejak lama bersama dan bahagia.
Jefan menarik napas dalam sebelum membuka pintu rumahnya, rasa bersalah menyelimuti pria itu. Dan perasaan itu semakin membelenggu nya saat ia melihat pemandangan menyedihkan diruang tamu.
Gadis itu. Istrinya yang sangat cantik. Harus tertidur dalam posisi terduduk, seperti ia tertidur tanpa sadar.
Jefan melangkah dengan perlahan mendekati istrinya. Napasnya naik turun perlahan, menandakan tidurnya sudah sangat pulas. Tapi kenapa wajahnya begitu lelah, apa Jefan terlalu membuatnya menderita?
Apa benar perkataan Hera kalau ia menjadikan kehidupan Nina seperti neraka baru untuk nya?
Jefan mendesah berat. Lagi-lagi ia merutuki dirinya yang bodoh. Dengan perlahan ia mengangkat tubuh mungil istrinya itu, hatinya kembali tersayat saat merasakan tubuh Nina jadi semakin ringan dibanding beberapa waktu lalu saat Jefan menemukannya tergeletak tak sadarkan diri dikamar.
Apa yang sudah dilakukan nya pada gadis ini?
Padahal Jefan hanya ingin, Nina hidup lebih baik. Jauh dari tekanan keluarga yang membuat nya menderita.
Jefan pikir dengan itu dia bisa menebus kesalahanya dimasa lalu, dengan menarik Nina dari kehidupan nya yang lama dan memberikan kehidupan baru yang tenang.
Jefan tau, bahkan lebih dari tau, Nina sangat membencinya. Untuk itu, ia pikir dengan cukup memberinya kehidupan yang layak dan menjauh darinya itu akan menjadikan hidup Nina menjadi nyaman.
Tapi sepertinya, justru itu sama menyiksanya.
Jefan seperti penyiksa baru dihidup gadis yang ingin ia selamatkan itu.
Jefan menidurkan tubuh Nina dengan perlahan, sembari terus memandang intens wajah istrinya. Dengan hati-hati ia menyelimutinya dan mengecup nya lama. Hal yang selalu ia lakukan tiap malam saat pulang kerja.
Jefan selalu melakukan ini, bahkan sejak malam pertama mereka menikah. Nina tentu tidak menyadari nya, karena jika Nina menyadari pasti ia akan sangat marah mendapatkan itu dari laki-laki yang ia benci.
Tapi, Jefan tak bisa menahan diri untuk tidak melakukan nya, ia sangat tenang saat bisa sedikit saja memberi kecupan meski singkat di kening Nina.
Memandangi wajah sendu Nina tiap malam setelah pulang bekerja, walau hanya beberapa menit, mengecup nya pelan mampu membuat Jefan merasa Nina masih berada dalam radarnya, dalam jangkauannya.
"Maaf, membuatmu menunggu" Jefan berbisik lembut ditelinga gadis yang sedang tertidur lelap itu. Air matanya sudah menggenang dipelupuk mata, menatap wajah sendu istrinya.
Seperti dia mengulang kesalahan yang sama. Dia lagi-lagi menyakiti nya. Sama seperti dulu.