NovelToon NovelToon
Nikah Kilat Dengan Murid Ayah

Nikah Kilat Dengan Murid Ayah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Pernikahan Kilat / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Meymei

Keinginan terakhir sang ayah, membawa Dinda ke dalam sebuah pernikahan dengan seseorang yang hanya beberapa kali ia temui. Bahkan beliau meminta mereka berjanji agar tidak ada perceraian di pernikahan mereka.

Baktinya sebagai anak, membuat Dinda harus belajar menerima laki-laki yang berstatus suaminya dan mengubur perasaannya yang baru saja tumbuh.

“Aku akan memberikanmu waktu yang cukup untuk mulai mencintaiku. Tapi aku tetap akan marah jika kamu menyimpan perasaan untuk laki-laki lain.” ~ Adlan Abimanyu ~

Bagaimana kehidupan mereka berlangsung?

Note: Selamat datang di judul yang ke sekian dari author. Semoga para pembaca menikmati dan jika ada kesamaan alur, nama, dan tempat, semuanya murni kebetulan. Bukan hasil menyontek atau plagiat. Happy reading...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mulai Terbuka

Acara peringatan ke-40 Pak Lilik dilaksanakan bakda isya’. Selain mengundang tetangga satu RT, Dinda juga mengundang beberapa teman baik sang ayah yang sejak awal peringatan tidak pernah absen.

“Kapan kalian mengadakan resepsi?” tanya Pak Muklis saat masih menunggu Pak Ustadz datang.

“Belum tahu, Pak. Saya ikut Dinda saja, maunya kapan.”

“Lebi cepat lebih baik. Takutnya keburu hamil si Dindanya, nanti kalian akan mengundurnya lagi karena alasan kehamilan.”

“Baik, Pak. Saya akan membahasnya dengan Dinda secepatnya.”

“Katakan saja kalau perlu bantuan, saya pasti akan bantu!”

“Terima kasih, Pak.”

Tak lama kemudian, Pak Ustadz yang memimpin acara datang. Tahlilan segera dimulai dan ditutup dengan doa untuk almarhum Pak Lilik.

Kali ini, tidak ada makan bersama melainkan pulang dengan membawa nasi dan kue yang disiapkan Mama Adlan di dalam rantang. Satu-persatu warga mengambil rantang yang sudah di susun di teras dan berpamitan.

Saat semua tamu sudah pulang, Adlan dan beberapa orang yang sengaja tinggal membersihkan sisa acara.

“Terima kasih, Pak. maaf selalu merepotkan.” Kata Adlan setelah semua kembali rapi.

“Tidak perlu sungkan, Pak Adlan.”

“Bapak boelh panggil saya Adlan, karena Bapak lebih tua dari saya.”

“Kesannya tidak menghormati Pak Adlan kalau saya panggil nama.”

“Tidak apa-apa, Pak. Saya justru sungkan kalau dipanggil Bapak.”

“Ya sudah, kami panggil Mas Adlan saja, bagaimana?”

“Baik, Pak.”

Setelah semuanya berpamitan, Adlan masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Dinda dan sang mama yang baru saja selesai merapikan dapur menghampiri Adlan yang duduk di ruang tamu.

“Mama tadi dengar percakapan kamu. Kapan kalian mau mengadakan resepsi?”

“Aku ikut Dinda, Ma.”

“Dinda mau kapan?”

“Mama saja yang cari hari baik, Dinda ikut Mama.”

“Baiklah, kalau Mama yang menentukan. Bagaimana kalau satu bulan lagi? satu bulan sepertinya cukup untuk menyiapkan semuanya.”

“Mama yakin?” tanya Adlan.

Ia meragukan sang mama karena teman-temannya yang sudah menikah, rata-rata memerlukan waktu tiga sampai enam bulan untuk mempersiapkan semuanya.

“Yakin. Hanya resepsi saja, tidak ada akad dan lain-lain. Acara ini hanya sebagai pengumuman kalau kalian itu sudah menikah, jadi yang diundang keluarga, teman dan saudara. Paling-paling tidak sampai 500 orang. Nanti acaranya di rumah Mama saja.”

“Terserah Mama saja. kalau perlu apa-apa, katakan saja!”

“Santai saja! Yang penting kartu yang dibawa Dinda jangan sampai kekurangan isi.”

“Aman, Ma. Pakai saja!” Mama Adlan tertawa puas.

Sementara Dinda hanya mendengarkan percakapan mereka. Dinda tidak tahu harus mengatakan apa karena dirinya tidak tahu bagaimana persiapan resepsi itu.

“Dinda bagian apa?” tanya Dinda.

“Kamu bagian menikmati hasil saja! Tapi nanti kamu perlu ikut Mama belanja. Kemarin seserahan yang diberikan Adlan sedikit, nanti kamu pilih semua yang kamu mau!”

“Kemarin sudah beli banyak, Ma.”

“Kemarin dan seserahan itu beda!”

“Tapi…”

“Tidak ada tapi!”

“Kakak…” Dinda ingin meminta pembelaan dari Adlan.

Baru sekali belanja dengan mama mertuanya, Dinda sudah merasa trauma karena beliau belanja tanpa melihat harga. Apa yang disuka, itu yang diambil dan dibayar. Sangat berbeda dengan dirinya yang selama ini diajarkan untuk membeli sesuatu disesuaikan dengan kebutuhan.

“Ikuti Mama saja.”

Adlan tahu Dinda tidak suka belanja, tapi pura-pura tidak tahu. Baginya, ini adalah kesempatan untuk memanjakan istrinya dengan belanja.

Waktu telah ditetapkan, Mama Adlan segera Menyusun persiapan acara dengan anak buahnya yang ada di katering. Mulai dari menu yang akan mereka sajikan, undangan, tenda, dekorasi, hiburan dan sebagainya.

“Kak… Barang-barang yang Kakak beri dan yang baru dibeli kemarin masih baru. Baru Sebagian yang aku gunakan. Tidak perlu beli lagi.” kata Dinda saat mereka akan berangkat tidur.

“Akan ada waktu untuk memakainya nanti. Lagi pula barang-barang itu tidak akan basi.”

“Tapi sayang uangnya.”

“Tenang saja. Suamimu ini pemilik bengkel dengan penghasilan dua digit setiap bulannya.”

“Tapi…”

Cup!

Adlan menghentikan kalimat Dinda. Saat Dinda ingin membuka mulutnya lagi, Adlan sudah menyerangnya dan menerobos masuk.

Keduanya saling terbuai, sampai Adlan menghentikan permainannya sebelum sesuatu di antara kakinya tidak bisa dikendalikan. Adlan memeluk Dinda dan membawanya tidur.

“Kenapa rasanya menggantung?” batin Dinda.

Sejak pertama kali merasakan ciuman dan sentuhan tangan Adlan, tubuh Dinda yang jujur mulai terbiasa. Kini dirinya merasa menggantung karena tubuhnya menginginkan lebih.

“Kenapa tubuh dan hatiku tidak sinkron?” Dinda merutuki dirinya dalam hati.

Sebenarnya, Dinda sudah memiliki perasaan terhadap Adlan yang membuatnya nyaman dengan sentuhan dan pelukan suaminya. Sayangnya ia belum sadar karena tertutupi perasaan Sukanya kepada Gibran.

Hari berlalu, keintiman keduanya semakin terlihat oleh Mama Adlan. Dinda juga tidak lagi sungkan untuk menggandeng tangan atau duduk berdekatan dengan Adlan di depan umum. Saat membonceng, Dinda juga berpegangan erat di pinggang Adlan tanpa di minta.

“Sepertinya Mama akan cepat punya cucu!” seru Mama Adlan.

“Kalau rezeki pasti punya, Ma.” Jawab Adlan santai.

“Kamu ini bukannya jebolan pesantren? Kenapa ilmunya tidak diterapkan, supaya Mama lekas punya cucu?”

“Anak itu rezeki dari Allah, apa hubungannya dengan ilmu yang diterapkan?”

“Benar juga! Kalau begitu, kalian periksa berdua dan ikut program. Siapa tahu dengan begitu Mama lekas punya cucu.”

“Sabar, Ma. Kalau sudah rezeki tidak akan ke mana.” Mama Adlan menghembuskan nafas berat.

Benar yang dikatakan anaknya. Mau usaha seperti apa, kalau Allah tidak memberikan rezeki itu kepada mereka tidak akan ada hasil.

Sementara itu, Dinda yang melihat jam tangannya sudah menunjukkan waktu pulang sekolah, segera menyudahi kelasnya dan meminta anak-anak untuk berkemas. Setelah semua berkemas, ketua kelas memimpin doa.

Saat Dinda keluar terakhir dari kelasnya, ia berpapasan dengan Gibran yang berjalan ke parkiran.

“Siang, Bu Dinda.” Apa Gibran.

“Siang, Pak Gibran. Hati-hati di jalan.”

“Terima kasih.”

Dinda melihat kepergian Gibran dengan penuh pertanyaan.

Kenapa beberapa hari ini jantungnya baik-baik saja saat bertemu dengan Gibran? Biasanya jantungnya akan berdegup lebih kencang saat mereka berpapasan atau saat berbicara. Kenapa sekarang tidak?

Adlan yang baru saja sampai dan melihat istrinya memegangi dada, segera menghampiri dan bertanya apakah ada yang sakit.

“Tidak, Kak. Hanya merasa aneh saja.”

“Aneh? Apanya?” Dinda menatap suaminya yang panik dan jantungnya berdegup lebih kencang.

“Sepertinya hatiku sudah berhasil beralih.” Batin Dinda.

Dinda tersenyum dan menggandeng tangan suaminya untuk ke kantor. Ia perlu mengambil tasnya lebih dulu sebelum pulang bersama Adlan.

Adlan merasakan perubahan dalam diri Dinda, tetapi ia tidak bisa menebak perubahan apa yang terjadi. Baginya, Dinda sudah mulai terbuka dan menerimanya adalah kebahagiaan.

Sesampainya di rumah, Dinda segera mengganti pakaiannya dan menyiapkan makan siang. Adlan menunggu sambil memperhatikan setiap gerak-gerik Dinda yang sedang memasak.

Pandangannya menjadi buyar, kala ponselnya berdering dan terlihat nomor baru menghubunginya. Kebiasaannya yang berhubungan dengan pelanggan, membuatnya mengangkat panggilan tersebut.

“Halo, dengan siapa ini?”

“Adlan! Ini aku, Meri!”

“Meri?”

“Ya. Merisa Agustina, fakultas ekonomi.”

“Ada apa?”

“Jangan dingin seperti itu! Aku baru saja sampai di kotamu. Aku ikut papa yang dipindahkan dinas.”

“Jika tidak ada yang penting aku tutup dulu.”

“Tunggu! Aku ingin memperbaiki mobilku. Kemarin aku baru saja ditabrak di manuver.”

“Maaf, bengkelku tidak bisa memperbaikinya. Silahkan kamu ke bengkel deco.” Adlan memutuskan sambungan tanpa mengucapkan salam.

Dinda yang diam-diam mendengarkan, merasa penasaran dengan “Meri” yang menghubungi suaminya. Tetapi ia bisa tenang dengan sikap Adlan saat menghadapi “Meri”.

“Apa aku cemburu?”

1
𝐈𝐬𝐭𝐲
kenapa Dinda gak pindah sekolah aja ngajar di sekitar rumah baru saja dripada harus kekampung dia lagi...
indy
selamat berbulan madu
𝐈𝐬𝐭𝐲
namanya Adlan atau Aksa sih Thor🤔
Meymei: Maaf typo kak 🤭
total 1 replies
Dewi Masitoh
Adlan kak🤣kenapa salah ketik jd aksa🙏
Dewi Masitoh: baik kak🙏
total 2 replies
Fitri Yani
next
indy
kayaknya sdh bisa resepsi biar gak ada lagi yang julid. wah ternyata gibran naksir dinda juga
indy
nanti resepsinya setelah masa duka selesai
indy
lanjut kakak
indy
ada yang bertengger di pohon kelengkeng
𝐈𝐬𝐭𝐲
ceritanya bagus aku suka😍😍
Meymei: Terima kasih kakak… 😘
total 1 replies
𝐈𝐬𝐭𝐲
lanjuut Thor
𝐈𝐬𝐭𝐲
hadir Thor
indy
kasihan pak Lilik
indy
hadir kakak
Rian Moontero
mampiiir kak mey/Bye-Bye//Determined/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!