Harin Adinata, putri kaya yang kabur dari rumah, menumpang di apartemen sahabatnya Sean, tapi justru terjebak dalam romansa tak terduga dengan kakak Sean, Hyun-jae. Aktor terkenal yang misterius dan penuh rahasia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Pagi harinya,
BUKKK!
Harin tiba-tiba terjatuh dari tempat tidur. Lagi-lagi dia ceroboh. Ia kaget dan memekik kencang.
"Auwww!"
Seluruh tubuhnya terbentur lantai. Tubuhnya kaku seketika karena kaget dan kesakitan. Untung sakitnya tidak seberapa dibandingkan dengan jarinya yang kejepit pintu semalam.
Aduh, kenapa gue apes banget gini sih?
Rutuknya dalam hati. Badannya belum bisa bergerak, ia tidak bisa bangkit sendiri. Harin mengerucut meratapi nasibnya. Matanya menatap langit-langit kamar sambil berharap Sean tiba-tiba muncul untuk menjadi penyelamatnya. Setidaknya membantu mengangkat dia ke ranjang. Tidak mungkin dia berjam-jam berbaring di lantai kan?
Tok tok tok ...
Tiba-tiba pintu kamar itu di ketuk dari luar. Apa itu Sean? Kalau benar, doanya langsung di jawab.
"Sean? Masuk!" Serunya dari dalam. Suaranya memang keras, tapi tubuhnya masih kaku di gerakan.
Ketika pintu kamar terbuka, yang muncul bukan Sean, tapi kakaknya. Ekspresi Harin langsung berubah.
Kenapa dia lagi sih? Kenapa tiap kali gue apes, yang muncul harus si pria kutub itu sih?
Harin berkata dalam hati. Dia ingin kembali ke satu menit yang lalu dan bilang jangan masuk. Tapi sudah terlambat kan? Lelaki itu berdiri di atas sana dengan tangan terlipat di dada. Caranya menatap mengintimidasi seperti biasa. Lelaki itu sudah mengenakan setelan rapi, bukan gaya pekerja kantoran, tapi rapi saja. Keliatan dari orangnya sih dia sosok yang perfeksionis.
"Apa kau selalu ceroboh?" itu kalimat pertama yang keluar dari mulutnya. Ketika melewati kamar itu tadi, ia mendengar suara keras seperti benda jatuh di sertai dengan pekikan kencang. Jadi dia datang memeriksanya. Ternyata bukan benda mati yang jatuh. Mereka baru bertemu semalam, tapi gadis itu sudah sangat merepotkan.
Harin tersenyum canggung.
Biasanya dia memang ceroboh, tapi tidak sefatal ini.
"Mm ... Hyeong,"
"Jangan panggil hyeong." balas Hyun-jae langsung.
"Samchon?"
"Aku bukan pamanmu. Panggil oppa saja." akhirnya Hyun-jae memberinya ijin memanggil oppa. Dari pada hyeong atau samchon, semuanya terdengar aneh.
"Ah oppa,"
Entah kenapa Hyun jae merasa aneh saat mendengar gadis itu menyebutnya dengan sebutan tersebut. Wajahnya tetap datar, pandangannya terus menatap ke bawah.
"Bi-bisakah oppa memindahkan aku ke ranjang? Bukan modus, tapi aku bener-bener susah berdiri sendiri."
Hyun-jae menatap Harin cukup lama, seakan ingin memastikan gadis itu tidak sedang berlebihan. Tatapannya tetap dingin, tapi di baliknya ada keraguan kecil.
"Kau yakin tidak bisa bangun sendiri?" tanyanya curiga. Bisa saja kan gadis ini hanya pura-pura dan memanfaatkan kesempatan karena dia seorang aktor terkenal.
Harin menggembungkan pipinya.
"Oppa, apa aku terlihat seperti orang yang lagi main-main? Coba lihat posisi kakiku deh." suara manja.
Memang benar, satu kaki Harin masih tertekuk dengan canggung, sementara tangannya gemetar menahan sakit. Ia sudah berusaha mendorong tubuhnya, tapi malah semakin tidak seimbang.
Hyun-jae menghela napas berat.
Gadis ini merepotkan sekali.
Ucapnya dalam hati. Ia pun jongkok perlahan, melepaskan jas yang tadi ia kenakan agar tidak kusut. Ia menaruhnya di kursi dekat pintu. Lalu, dengan gerakan mantap, ia menggendong tubuh Harin dengan hati-hati.
Harin langsung membelalak, kedua tangannya refleks melingkar di leher Hyun-jae.
"Oppa! Nggak perlu di gendong!" serunya kaget bercampur malu.
"Diamlah. Kau terlalu berisik," balas Hyun-jae datar, meski langkahnya sangat berhati-hati agar gadis itu tidak semakin kesakitan.
Harin menunduk, wajahnya semakin panas. Ia bisa merasakan detak jantungnya sendiri berpacu tidak karuan. Tubuh Hyun-jae terasa hangat dan wangi parfum maskulin yang lembut memenuhi indera penciumannya.
Aduh, jangan sampai aku salah tingkah di depannya, batinnya.
Dalam beberapa langkah, Hyun-jae menurunkannya perlahan di atas ranjang. Harin segera meringkuk di atas kasur, menghela napas lega.
"Te-terima kasih," ucapnya berusaha menutupi rasa malunya.
Hyun-jae menegakkan tubuhnya, merapikan lengan kemejanya yang sedikit kusut, lalu keluar dari kamar itu meninggalkan Harin sendirian tanpa bicara sepatah katapun. Harin mencebik.
"Kok bisa ya sifatnya dan Sean berbeda bak langit dan bumi." gumamnya pelan. Sean penyayang, ramah, serta lembut. Tapi laki-laki itu, kebalikan dari semuanya. Dia heran orang sedingin itu malah jadi aktor.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hyun jae keluar dari apartemen. Manajernya sudah menunggu di bawah untuk pergi ke tempat syuting video klip.
Mobil hitam yang menjemput sudah terparkir rapi di depan lobi apartemen. Seorang pria paruh seusianya, cukup tampan, segera keluar, menghampiri Hyun-jae. Mereka sudah berteman sejak kuliah.
"Kau terlihat lelah?" kata si manajer sambil membuka pintu mobil.
Hyun-jae hanya mengangguk singkat tanpa menjelaskan. Wajahnya tetap datar, tapi sesekali ingatan tentang gadis ceroboh di lantai kamar tadi muncul begitu saja. Dia bisa merasakan bagaimana tubuh mungil itu terasa ringan saat ia gendong, juga suara manja Harin yang memanggilnya oppa. Ia menghela napas dalam, berusaha mengusir bayangan itu.
"Jadwal hari ini cukup padat," lanjut sang manajer sambil menyodorkan tablet berisi agenda.
"Syuting video klip dari jam sembilan sampai sore, lalu wawancara singkat. Malamnya kita ada rapat dengan tim drama."
"Mm." balas Hyun-jae singkat, matanya tetap menatap lurus ke luar jendela mobil.
Namun pikirannya tak benar-benar fokus pada jadwal.
Kenapa aku harus repot-repot menggendong gadis itu? Padahal jelas-jelas bukan urusanku.
Ia menggeram pelan dalam hati. Tapi kemudian, wajah Harin yang bersemu merah dan senyumnya yang polos terlintas lagi. Mau tidak mau, sudut bibirnya sedikit terangkat tanpa sadar.
Sang manajer melirik lewat kaca spion, agak heran.
"Ada yang lucu?"
"Tidak ada," jawabnya cepat, kembali memasang ekspresi dingin.
Sementara itu, Harin masih terbaring di ranjang sambil menatap langit-langit. Pipinya belum berhenti panas sejak insiden tadi.
"Astaga, kenapa aku malah malu begini? Itu cuma di gendong, Harin! Biasa aja dong," omelnya pada diri sendiri. Ia berguling pelan, lalu meringis karena tubuhnya masih pegal.
Ia meraih ponselnya di nakas. Ada enam panggilan tidak terjawab dari papanya dan pesan whatsapp. Dia membuka pesan itu.
📩 Kamu mau kekanak-kanakan sampai kapan Harin? kamu pikir dengan kabur dari rumah, kamu bisa hidup mandiri? Baik, kamu coba saja. Tapi ingat, semua kartu kredit kamu akan papa tangguhkan sampai kamu setuju menikah dengan Kyle tunangan kamu. Kamu juga harus dengerin mama kamu.
Harin langsung mematikan ponselnya. Huh! Menikah dengan laki-laki yang tidak dia suka? Jangan harap. Papanya hanya mementingkan bisnis sampai anak sendiri di manfaatkan. Tunangan? Bertemu laki-laki itu saja dia tidak pernah, enak saja di bilang tunangan. Dan lagi, dengerin mama kamu? Enak saja. Mamanya sudah lama meninggal, dia tidak punya mama lagi sekarang. Jangan harap dia akan menerima ibu tiri yang matre itu.