Menikah dulu... Cinta belakangan...
Apakah ini cinta? Atau hanya kebutuhan?
Rasa sakit dan kecewa yang Rea Raveena rasakan terhadap kekasihnya justru membuat ia memilih untuk menerima lamaran dari seorang pria buta yang memiliki usia jauh lebih tua darinya.
Kai Rylan. Pria buta yang menjadi target dari keserakahan Alec Maverick, pria yang menjadi kekasih Rea.
Kebenaran tanpa sengaja yang Rea dengar bahwa Kai adalah paman dari Alec, serta rencana yang Alec susun untuk Kai, membuat Rea menerima lamaran itu untuk membalik keadaan.
Disaat Rea menganggap pernikahan itu hanyalah sebuah kebutuhan hatinya untuk menyembuhkan luka, Kai justru mengikis luka itu dengan cinta yang Kai miliki, hingga rahasia di balik pernikahan itu terungkap.
Bisakah Rea mencintai Kai? Akankah pernikahan itu bertahan ketika rahasia itu terungkap? Apa yang akan terjadi jika Alec tidak melepaskan Rea begitu saja, dan ingin menarik Rea kembali?
Ikuti kisah mereka....!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FT.Zira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31.
Rea duduk di lantai sembari memeluk kedua lututnya sendiri, membenamkan wajah pada kedua lututnya untuk menyembunyikan tangis.
Ada beberapa hal yang ingin ia jelaskan pada suaminya, tetapi saat melihat kekecewaan di wajah suaminya serta bagaimana situasi yang ia hadapi beberapa saat lalu membuat ia urung untuk bicara. Ia hanya berharap, bisa menjelaskan semuanya saat suaminya kembali ke kamar.
Drrtt... Drrtt
Suara dering ponsel yang berada di atas nakas kembali terdengar setelah Rea berulang kali mengabaikan panggilan dari seseorang yang belum ia ketahui. Satu tangannya terulur meraih ponsel, mendapati nomor tak di kenal tertera pada layar yang segera ia geser untuk menjawab panggilan.
"Akhirnya kamu menjawab panggilanku,"
Suara yang terdengar melalui ponsel sontak membuat Rea segera menjauhkan ponsel dari telinga, menatap sejenak layar ponselnya sebelum menempelkan lagi ke telinga.
"Siapa?" tanya Rea parau.
"Sayang... Ini aku... Ada apa? Kamu menangis? Apakah terjadi sesuatu?"
"Bukan urusanmu!" jawab Rea ketus.
"Tunggu!"
Suara Alec terdengar cepat saat Rea akan mengakhiri panggilan, menahan Rea untuk mematikan ponsel. Diam.
"Bisakah kita bertemu besok? Aku merindukanmu..."
"Kamu bisa ceritakan apa yang terjadi besok,"
"...."
"Sayang..."
"BERHENTI MENGGANGGUKU, DASAR BRENG*SEK!"
Tanpa aba-aba, Rea berteriak pada ponselnya dan segera menghempaskan ponsel itu ke lantai, kembali menelungkupkan wajahnya pada lutut, terisak. Dalam benaknya berharap suaminya kembali ke kamar sesegera mungkin. Ia bahkan tak mengerti mengapa bersikap demikian di saat ia tidak pernah bersikap begitu ketika hubungannya bersama Alec masih terjalin.
Sayangnya, sekian lama ia menunggu, suaminya tak kunjung kembali ke kamar, seakan ingin meminta waktu untuk menyendiri sejenak. Seiring dengan malam yang kian merangkak naik, suara tangis Rea perlahan mereda, wajahnya terangkat, dan beranjak dari duduknya menuju kamar mandi.
Namun, tepat saat Rea masuk ke dalam kamar mandi, apa yang pernah Rea rasakan ketika dirinya berada di acara pertemuan bisnis itu kembali terulang. Dengungan pada kepalanya terasa seiring dengan kilasan yang masih tidak Rea pahami berputar di kepalanya.
"Jahat! Kenapa membunuhnya?"
Rea merasakan dirinya yang kembali mengecil menangis, entah apa penyebabnya. Sosok yang hanya sedikit lebih tua darinya kembali muncul. Satu-satunya yang bisa ia lihat hanyalah sosok itu adalah laki-laki sebaya kakaknya. Akan tetapi, setiap kali Rea melihat ke arah wajah, kegelapan menyelimuti wajah itu.
"Itu salahnya. Dia berisik," dia berkata tanpa belas kasih.
"Ukh...!"
Rea mencengkram kuat kepalanya, kilasan itu terus berputar tanpa henti, bermain dalam lingkaran yang diselimuti kabut hitam. Sampai suara ketukan tongkat yang pernah Rea dengar sebelumnya kembali muncul, menarik perhatian Rea untuk menoleh, hingga ia melihat wajah yang semula diselimuti kegelapan perlahan memudar digantikan dengan wajah familiar yang terlihat masih sangat muda.
"P-Paman... Ukh..."
Kedua mata Rea terpejam, berulang kali mengetuk-ngetuk kepalanya kala rasa sakit pada kepalanya menguat, lalu berangsur-angsur hilang diikuti dengan napas Rea yang memburu.
"Apa itu tadi? Kenapa Paman ada di dalam ingatanku? Berapa banyak yang aku lupakan sebenarnya?"
Rea bergumam, menggelengkan kepala, dan perlahan menurunkan tangannya. Ia membasuh wajahnya berulang kali, mengatur napas, lalu menatap pantulan dirinya di cermin.
"Kenapa aku tidak bisa mengingat dengan jelas masa kecilku?" Rea kembali bergumam, menatap sejenak bayangan dirinya, lalu menghembuskan napas panjang sebelum melangkah keluar.
Hening...
Pandangan Rea terhenti pada sisi tempat tidur yang biasanya ditempati suaminya kini tidak ada siapapun. Bayangan ketika suaminya duduk di atas tempat tidur, bersandar pada headboard sambil membaca buku braille, lalu tersenyum ketika ia berbicara membuat Rea merasakan rasa tidak nyaman ketika tidak ada sang suami di sisinya.
Suhu pendingin ruangan yang biasanya meningkat saat malam, kini terasa normal. Namun, justru membuat Rea merasa kosong untuk pertama kalinya.
"Apa yang salah denganku?" Rea berkata pada dirinya sendiri.
Harapan bahwa suaminya akan kembali sirna saat pada pagi harinya Rea terbangun, sisi tempat tidur di sampingnya tetap kosong. Bahkan, saat ia turun ke bawah untuk sarapan bersama, suaminya tak tampak sama sekali.
"Tuan sudah berangkat pagi-pagi sekali. Tuan mengatakan akan sarapan di kantor hari ini,"
Begitulah yang disampaikan pelayan pada Rea saat wanita itu bertanya di mana suaminya. Menghempaskan harapannya untuk berbicara dengan sang suami. Rea bahkan meninggalkan ruang makan tanpa menyentuh makanan yang sudah disiapkan untuknya, hingga ia tidak mengetahui seseorang sengaja memakan sebagian kecil makanan yang dipersiapkan untuk Rea.
"Nyonya, Tuan Ryan datang bersama Tuan Alec dan Nona Evie. Mereka ingin bertemu, Anda,"
Rea urung melangkah menuju kamar saat pelayan memberikan laporan yang mmebuat suasana paginya kian memburuk. Ia hanya mengangguk, mengubah langkahnya menuju ruang tamu untuk menemui tiga orang yang tidak ia harapkan untuk datang.
"Sayang..."
Alec segera membawa langkahnya mendekat begitu ia melihat kekasihnya muncul, bersiap untuk memeluk sang kekasih, tetapi yang ia dapatkan justru tatapan tajam serta peringatan keras menggunakan tangan untuk tidak mendekat.
"Aku tidak akan ragu untuk menendangmu lagi meski kau membawa kakakku bersamammu!" peringat Rea.
"Ada apa sekarang? Apa yang Kakak inginkan?" sambungnya bertanya beralih pandang pada sang kakak.
"Kalian bertengkar terlalu lama," ucap Ryan.
"Heh..." Rea berdecih sinis.
"Kakak membawa pasangan ini ke hadapanku hanya untuk membuatku meminta pada suamiku agar berinvestasi lagi padanya, bukan?" sambil menunjuk Alec.
"Aku tidak menginginkan investasi itu lagi," Alec menjawab percaya diri, lalu tersenyum.
"Aku hanya ingin bertemu denganmu. Bukankah kita saling mencintai?"
"Apa yang sebenarnya terjadi denganmu, Rea?" Evie bertanya lembut. "Kamu terdengar tidak baik-baik saja saat Alec menghubungimu, itu sebabnya kami datang,"
"Aku baik-baik saja sebelum kalian datang kemari," jawab Rea.
"Jangan keterlaluan kamu, Rea!" sentak Ryan.
"Kalau begitu, pergi dari sini sekarang juga!" usir Rea. "Dan jangan datang lagi bersama si breng*sek ini!" menunjuk Alec.
"Sayang... Aku datang karena khawatir. Saat aku menghubungimu, kamu menangis," ucap Alec lembut.
"Bukan urusanmu!" Rea menjawab ketus.
"Sejak kecelakaan itu, kamu berubah kasar, Re!" ucap Alec menahan kekesalan yang mulai menyelimuti hatinya.
Rea tertawa. Menatap tiga orang di depannya secara bergantian. Mulai bosan untuk sekedar berbicara dengan mereka yang sedikitpun tidak memahami hatinya.
"Apakah kau ingin tau apa alasanku berubah, Alec?" tanya Rea, tersenyum samar.
"Apa? Karena si buta itu yang mengatakan omong kosong padamu?" sambut Alec.
"Karena burung beo mu tidak lebih besar darinya, dan kau masih sibuk berkicau di depanku. Apakah kau tidak malu?" ucap Rea tanpa beban.
Wajah Alec seketika memerah karena amarah dan malu menjadi satu, begitu pula dengan Evie yang memerah menahan malu, sementara Ryan berusaha sekuat tenaga agar tidak menyemburkan tawa.
"REA....!"
. . . .
. . . .
To be continued...
*Untuk memenuhi permintaan kakak yang meminta doble up..🥰🥰
Merci beaucoup...
Terima kasih atas dukungannya.