Naia Seora 25 tahun, pengantin baru yang percaya pada cinta, terbangun dari mimpi buruk ke dalam kenyataan yang jauh lebih mengerikan yaitu malam pertamanya bersama suami, Aryasatya, berakhir dengan pengkhianatan.
Naia dijual kepada pria bernama Atharva Aldric Dirgantara seharga dua miliar. Terseret ke dunia baru penuh keangkuhan, ancaman, dan kekerasan psikologis, Naia harus menghadapi kenyataan bahwa kebebasan, harga diri, dan masa depannya dipertaruhkan.
Dengan hati hancur namun tekad menyala, ia bersumpah tidak akan menyerah meski hidupnya berubah menjadi neraka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 35
Atharva segera meraih ponselnya dan menekan nomor teleponnya Maulana salah satu anak buah kepercayaannya yaitu orang yang selama ini bertugas mengawasi Claudia di penjara rahasia milik Leons Corp, jauh di tengah hutan yang tak terjangkau sinyal publik dan hanya diketahui oleh beberapa orang tertentu saja.
Jemarinya bergerak cepat, sementara rahangnya mengeras menahan luapan amarah.
“Kenapa wanita iblis itu bisa lolos!?”
geramnya serak, suaranya berat penuh bara.
“Padahal aku belum sempat menghukumnya dengan tanganku sendiri!” kesalnya karena rencananya harus gagal.
Nada suaranya tajam, bergema di seluruh ruangan CEO Leons Corp yang kini terasa sesak oleh aura kemarahan. Ia menghantam meja kerja dengan kepalan tangan kanannya, hingga permukaannya bergetar.
Brak!!
Atharva baru saja menerima laporan mendadak dari Arman yang datang langsung membawa kabar buruk kalau Claudia, mantan sekretaris dekalifus kaki kanannya yang berkhianat karena cemburu kepada Naia Seora istri kelimanya Atharva.
Claudia menjadi tahanan sekitar lima bulan lalu, orang yang paling dia benci, berhasil melarikan diri. Firasatnya benar malam ini bukan malam biasa tapi malam yang kelam.
“Aargh!!” Pekik lantang Atharva.
Prang!!
Sebuah vas bunga antik yang kebetulan ada di atas meja kerjanya terhempas karena kekuatan tangan Atharva.
“Gara-gara perempuan ular itu… istriku, Naia Seora, harus kabur dari genggamanku! Dan karena dia juga, aku hampir jadi mayat hidup!” murka Atharva yang suaranya parau, nyaris seperti raungan.
Mike, Lampard, dan Dio berdiri terpaku di seberang meja. Tak satu pun berani membuka suara.
Mereka hanya bisa saling pandang, mencoba membaca amarah Atharva yang nyaris tak bisa dikendalikan.
Lampard menelan ludah, jantungnya berdetak cepat. “Sejak kecelakaan itu, tatapan Tuan Muda Atharva nggak pernah sama lagi. Seolah di balik satu matanya yang buta, tersimpan dendam yang nggak akan padam sebelum Claudia benar-benar hancur.”
Dio memandangi bosnya dengan sorot matanya yang menyiratkan kecemasan.
“Kalau Claudia benar-benar lolos, bisa-bisa semua orang yang tahu rahasia markas akan habis di tangannya. Tuan Muda bisa kehilangan kendali lagi, seperti dahulu.” gumamnya Dio.
Sementara Mike menggertakkan giginya hingga terdengar suara gemelatuk. Ia paling memahami beban Atharva bagaimana pria itu kehilangan separuh penglihatannya, kakinya lumpuh selama berbulan-bulan, dan istrinya menghilang karena pengkhianatan Claudia.
“Aku nggak bisa salahin dia kalau marah seperti ini. Tapi kalau kemarahan ini terus dipelihara, dia bisa hancur sendiri.” batinnya Mike.
Atharva menatap layar ponsel yang masih memperdengarkan nada sambung. Wajahnya menegang, bola mata kirinya memerah, dan nafasnya terdengar tersengal.
“Maulana, angkat teleponmu sebelum aku kirim orang buat menyeretmu dari lubang persembunyianmu!” desisnya, dingin dan tajam seperti bilah pisau.
Suasana ruangan membeku. Lampard, Dio, dan Mike hanya bisa berdiri dalam diam, menyaksikan sisi paling gelap dari pemimpin yang selama ini mereka hormati yaitu Atharva Aldric Dirgantara, sang CEO yang dikenal jenius, perfeksionis, disiplin dan tentunya kejam, kini dipenuhi oleh dendam dan luka yang belum sembuh malah semakin bertambah besar.
“Jika Claudia benar-benar bebas…” pikir Mike dalam hati, “maka bukan cuma Atharva yang akan kehilangan segalanya tapi kami semua juga akan merasakannya.”
Nada sambung di ponsel masih berdering, namun Maulana belum juga mengangkat. Atharva menatap layar itu tajam, seolah mampu menembus jarak ribuan kilometer di balik sinyal yang sepi. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun cepat.
Lampard yang berdiri di sisi kanan, melangkah hati-hati mendekat. Ia tahu benar, satu kata yang salah bisa memicu ledakan kemarahan yang lebih parah.
“Tuan Muda… tolong tenangkan diri Anda dulu,” ucap Lampard pelan, nyaris berbisik.
“Anda baru benar-benar pulih beberapa minggu. Dokter bilang, emosi berlebihan bisa memperparah kondisi saraf kaki dan mata Anda.” ujarnya Lampard pelan-pelan yang berusaha untuk menenangkan atasannya yang sudah dianggap adik kandungnya sendiri.
Atharva tak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke arah jendela, matanya yang tajam menyiratkan luka yang belum kering.
Mike menimpali, mencoba membantu Lampard dengan nada lebih tegas namun tetap hormat.
“Benar, Tuan Muda. Kami semua tahu rasa sakit yang Anda tanggung, tapi kalau Anda terus seperti ini, Claudia justru akan menang. Dia pasti ingin melihat Anda kehilangan kendali dan semakin jatuh ke dalam jurang kehancuran,” sahutnya Mike.
Atharva memutar tubuhnya perlahan, menatap keduanya dengan sorot mata tajam yang membuat udara di ruangan seolah berhenti.
“Kalian pikir aku bisa tenang setelah semua yang dia lakukan ha!?” tanyanya yang sedikit membentak.
Suaranya parau, penuh amarah dan luka bercampur jadi satu.
“Aku kehilangan Naia, kehilangan setengah hidupku dan kalian menyuruhku untuk tenang?” ketusnya.
Lampard menunduk dalam, tak berani menatap balik. Sementara Mike menahan napas panjang sebelum menjawab.
“Tidak, Tuan Muda. Kami tidak menyuruh Anda melupakan. Kami hanya tidak ingin Anda kehilangan diri sendiri sebelum membalasnya.” balasnya.
Kata-kata itu membuat Atharva terdiam sejenak. Ponsel di tangannya masih bergetar lemah, panggilan tak dijawab yang kini berubah menjadi keheningan.
Dalam batinnya, Lampard merasa sesak melihat sosok pemimpin yang dulu tenang dan penuh wibawa kini dikuasai oleh api dendam yang semakin membara.
“Andai Nona Muda Naia masih di sini, mungkin Tuan Muda nggak akan segelap ini…” gumamnya dalam hati.
Dio, yang sejak tadi hanya diam di belakang, menunduk dan mengepalkan tangan.
“Kita sudah berhutang budi banyak padanya. Tapi kalau dia terus seperti ini, Leons Corp bisa runtuh bukan karena musuh, tapi karena luka hatinya sendiri.” cicitnya.
Atharva akhirnya menurunkan ponselnya. Ia menghela napas berat, menahan rasa sakit di dada yang entah dari luka lama atau amarah yang menggerogoti atau bisa diperparah dengan kerinduannya kepada Naia yang sudah hampir setahun berpisah dengannya tanpa diketahui jejak keberadaannya hingga detik ini.
“Baik,” katanya datar. “Tapi kalau Maulana berkhianat aku sendiri yang akan menghabisinya tanpa ampun.”
Lampard dan Mike hanya bisa saling pandang mereka tahu, ancaman itu bukan sekadar kata-kata tapi pasti akan dibuktikan jika apa yang mereka takutkan menjadi kenyataan.
Beberapa saat kemudia, sementara itu, di lokasi tersembunyi yang dikelilingi pepohonan rimbun, Maulana mondar-mandir di depan mobil hitamnya sambil menggenggam pistol Glock yang dingin di tangan kirinya. Napasnya tak beraturan, sorot matanya gelisah.
“Apapun yang terjadi, nggak boleh ada yang tahu aku bantuin Claudia keluar dari sini. Semoga dia sudah sampai di alamat yang aku kasih, aku terlalu mencintai Claudia,” gumamnya lirih, menatap ke arah jalan tanah yang baru saja dilalui kendaraan kecil beberapa jam lalu.
Ia buru-buru membereskan sisa-sisa bukti plester berdarah, suntikan, dan kain perban bekas luka tembak Claudia ke dalam kantong plastik hitam. Baru saja hendak membakarnya, suara langkah kaki terdengar mendekat.
Maulana refleks menyembunyikan kantong itu ke bawah jok mobil dan berusaha menenangkan diri. Tak lama, dua sosok muncul dari balik pepohonan yaitu Mike dan Arman.
“Kalian sudah datang,”
ucap Maulana cepat, mencoba mengalihkan kegugupannya dengan senyum kaku.
Namun Mike tak menjawab. Ia justru melangkah cepat dan langsung menampar pipi Maulana keras-keras.
“Brengsek! Kamu benar-benar nggak bisa diandalkan!” bentaknya garang.
“Cuma disuruh jagain satu perempuan saja, dan kamu malah lalai sampai dia kabur! Claudia itu bukan orang biasa, dan kamu tahu seberapa berbahayanya dia!”
Maulana menunduk, rahangnya mengeras menahan perih.
“Aku... aku nggak sengaja. Semua udah kuusahain sebaik mungkin tapi kalian tentunya tahu kemampuan Claudia,” jawabnya terbata, berusaha mencari alasan.
Tapi Mike tak berhenti. Ia kembali mendorong dada Maulana dengan cukup kuat saking marahnya.
“Apa kamu lupa kalau gara-gara Claudia lah, Tuan Muda Atharva hampir gila! Dia yang menghasut dan membantu Naia kabur, dia juga yang menyabotase rem mobil Tuan Muda sampai matanya buta sebelah dan kakinya lumpuh berbulan-bulan! Kamu ngerti nggak seberapa besar dosamu kalau sampai perempuan itu lolos!?”
Arman ikut maju, wajahnya tak kalah murka sambil menendang perutnya Maulana.
“Aahh!” Jerit tertahan dari Maulana seraya memegangi perutnya yang sakit.
“Cih!! Kamu memang payah, Maulana! Tugasmu cuma satu pastikan Claudia nggak keluar hidup-hidup dari tempat ini! Sekarang semuanya berantakan karena kamu tolol!” gerutunya Arman kakak sepupunya Maulana.
Maulana mengangkat kedua tangannya, mencoba menenangkan mereka, meski darah sudah menetes di ujung bibir akibat tamparan Mike dan tubuhnya sedikit kesakitan.
“Dengarlan aku dulu, aku udah jagain dia sebaik mungkin seperti perintah Tuan Muda. Tapi kalian sendiri tahu, Claudia bukan perempuan lemah. Dia hafal setiap sudut markas ini. Dia juga dilatih bela diri sama seperti kita. Aku nggak punya kesempatan begitu dia mulai bertindak,” katanya berusaha membela diri padahal pada kenyataannya itu hanya kebohongan dan karangannya semata.
Mike mendengus kasar, menendang batu di depan kakinya karena dia juga kasihan melihat Maulana yang sudah meringis menahan kesakitannya.
“Alasan basi! Kalau Claudia berhasil kabur, Atharva nggak akan segan menyingkirkan kita semua.” ujarnya kemudian.
Arman menatap Maulana tajam, nadanya penuh ancaman.
“Lebih baik kamu berdoa semoga perempuan itu nggak balik ke sini dengan membawa bala. Karena kalau sampai Atharva tahu kamu terlibat, hidup kita semua tamat termasuk keluarga kita!”
Maulana hanya diam mendengar ucapan kakak sepupunya itu. Di dalam dadanya, suara hatinya bergetar pelan.
“Aku rela menanggung semua amarah mereka, bahkan kemarahan Tuan Muda Atharva sekali pun asalkan Claudia selamat. Dia satu-satunya alasan kenapa aku masih hidup karena sejak awal aku melihatnya tiga tahun lalu sejak aku menjadi bodyguard Tuan Muda Atharva aku sudah tergila-gila kepadanya.”
Ia menggenggam kuat Glock di tangannya, menatap jalan hutan yang kini gelap, seakan menatap masa depan yang sama suramnya.
“Claudya, aku mohon jaga calon anak kita jangan gugurkan,” Maulana membatin.
Mampir baca yah Novel aku yang baru lain judulnya Asi Untuk Bayi Kembar Duda Hot dan Pawang dokter impoten.
Ketahuan kan.. ❤️❤️❤️❤️❤️