NovelToon NovelToon
Tangisan Di Malam Pertama

Tangisan Di Malam Pertama

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cinta Terlarang / Beda Usia
Popularitas:7.9k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Naia Seora 25 tahun, pengantin baru yang percaya pada cinta, terbangun dari mimpi buruk ke dalam kenyataan yang jauh lebih mengerikan yaitu malam pertamanya bersama suami, Aryasatya, berakhir dengan pengkhianatan.


Naia dijual kepada pria bernama Atharva Aldric Dirgantara seharga dua miliar. Terseret ke dunia baru penuh keangkuhan, ancaman, dan kekerasan psikologis, Naia harus menghadapi kenyataan bahwa kebebasan, harga diri, dan masa depannya dipertaruhkan.


Dengan hati hancur namun tekad menyala, ia bersumpah tidak akan menyerah meski hidupnya berubah menjadi neraka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 28

Tak terasa waktu terus bergulir. Kandungan Naia kini telah memasuki usia tujuh bulan. Perutnya semakin besar, menandakan kehadiran buah hati yang kian dinanti.

Pagi itu, ia menerima undangan dari Pak Budi, mandor yang sudah lama setia bekerja di peternakannya.

Putri tunggal Pak Budi akan melangsungkan pernikahan, dan sebagai majikan sekaligus bagian dari masyarakat Desa Pulosari, Naia tak mungkin menolak.

Hari pesta pun tiba. Rumah Pak Budi tampak ramai, penuh tenda dan kursi. Aroma masakan khas desa menguar ke udara, membuat suasana semakin hangat.

Warga berdatangan dengan wajah sumringah. Naia hadir sederhana tapi tetap terlihat mencolok dari warga lainnya dengan gamis modis bahan kain dan motif adem dan lembut berwarna pastel. Meski perutnya tampak besar, ia tetap anggun.

“Alhamdulillah, sehat-sehat terus ya, Bu Naia. Semoga lancar sampai hari lahiran,” ucap seorang ibu-ibu sambil menyalaminya.

“Terima kasih, Bu. Mohon doanya selalu,” balas Naia dengan senyum tulus.

Satu per satu warga menghampiri, mendoakan dirinya dan bayi-bayi yang dikandungnya.

Nama Naia memang harum di telinga masyarakat bukan hanya, karena usianya yang masih muda dan parasnya cantik, tapi juga karena kerendahan hati serta kepeduliannya pada pekerja dan warga sekitarnya.

Di tengah suasana meriah itu, Naia berjalan pelan menuju meja hidangan setelah berpamitan kepada Leni.

Tangannya berusaha meraih piring, namun langkahnya mendadak goyah. Perut besarnya membuat ia kehilangan keseimbangan.

“Ya Allah…” desisnya kaget, tubuhnya hampir terhuyung ke depan.

Seketika sebuah tangan kokoh menyambut tubuhnya, menahan agar ia tidak jatuh.

Naia menoleh dengan nafas terengah. Di hadapannya berdiri seorang lelaki bertubuh tegap, tinggi, dengan wajah teduh.

“Maaf, Ibu. Hati-hati. Perut sebesar itu jangan sampai terburu-buru,” ucap lelaki itu ramah.

Naia berusaha menenangkan diri. “Terima kasih hampir saja saya terjatuh untungnya ada bapak yang menolong saya,” katanya lirih sambil memegangi perutnya.

Lelaki itu tersenyum tipis. “Syukurlah sempat saya pegang. Perkenalkan, saya Adiwira Mahesa,” ujarnya sambil sedikit menunduk hormat.

Naia mengangguk sopan. “Naia Seora kebetulan Saya juga tamu undangannya Pak Budi.”

“Oh, jadi ini Ibu Naia yang sering diceritakan warga? Juragan kebun teh dan peternakan itu?” Adiwira menatapnya penuh rasa hormat.

Naia tersipu kecil, tak suka dipuji berlebihan. “Ah, hanya usaha kecil-kecilan saja. Yang penting bisa bermanfaat untuk orang banyak.”

Adiwira menatap kagum sejenak sebelum menambahkan, “Saya salut. Jarang ada yang muda, apalagi perempuan, bisa membangun usaha sebesar itu dan tetap rendah hati.”

Naia menunduk, senyumnya hangat. “Doakan saja semoga saya bisa terus kuat, terutama demi anak-anak ini,” ucapnya sambil mengusap perut buncitnya dengan lembut.

Sekitar mereka, musik hajatan dan riuh warga terus bergema.

Naia kembali menata langkahnya, kali ini lebih hati-hati. Adiwira masih berdiri di sampingnya, memperhatikan tanpa banyak bicara.

“Dia kan wanita yang beberapa bulan lalu aku nggak sengaja lihat di pasar? Dia semakin cantik dan mempesona padahal sedang hamil. Jarang-jarang ada bumil yang seperti dia,” batinnya Adiwira.

Dari sorot matanya, jelas ada kekaguman yang tak bisa ia sembunyikan.

Dalam hatinya, Adiwira bergumam lirih, “Dia begitu cantik, sederhana, anggun dengan hijabnya. Bersahaja, ramah pada semua orang. Sayangnya, dia sudah menjadi istri orang lain. Mungkin aku terlambat mengenalnya, tapi kalau hanya sekadar berteman, rasanya tidak apa-apa kan.”

Ia menarik nafas panjang, mencoba mengusir rasa yang baru saja tumbuh di dalam hatinya.

Sementara itu, Naia tersenyum kecil padanya sebelum kembali berbaur dengan tamu lain, tak menyadari tatapan kagum yang diam-diam mengikuti langkahnya.

“Aku akan mencari tahu dimana dia tinggal dan apa benar dia masih bersama dengan suaminya dan asalnya dari mana karena kayaknya dia bukan asli sini,” monolognya Adiwira.

Malam itu, setelah menunaikan shalat Isya di mushola kecil rumahnya, Naia duduk tenang di atas sajadah. Tangan mungilnya mengusap lembut perut yang semakin membuncit.

Dengan suara bergetar penuh harap, ia melantunkan doa dari ayat suci Al-Qur’an untuk anak-anak yang sedang bertumbuh dalam rahimnya.

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan sekalian orang-orang mukmin pada hari diadakan perhitungan (kiamat).”

Air matanya menetes pelan, dalam hati ia berbisik lirih, “Semoga anak-anakku kelak tumbuh menjadi hamba yang shalih, penyejuk mata, dan penerus kebaikan. Semoga aku bisa menjadi ibu yang kuat untuk mereka.”

Malam itu, setelah selesai membaca doa Nabi Ibrahim, Naia kembali menundukkan kepala, lalu melantunkan ayat lain yang sudah ia hafal sejak lama ayat doa untuk keluarga dan keturunan yang shalih.

“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan-pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”

Naia menutup mushaf, lalu menatap perutnya yang berisi empat janin mungil. Dengan air mata mengalir, ia berbisik,

“Ya Allah… kuatkanlah aku. Jadikanlah anak-anakku kelak cahaya hatiku, penyejuk jiwa dan penguat langkahku di dunia dan akhirat.”

Baru saja Naia menyelesaikan doa-doa dan bacaan Al-Qur’annya ketika bel rumah dua lantai di Desa Pulosari itu berbunyi nyaring, memecah kesunyian malam.

Leni, yang kebetulan melintas di ruang tamu menuju dapur, spontan menoleh. Dengan langkah tergesa, ia membuka pintu depan.

Namun, alisnya langsung bertaut ketika pintu sudah terbuka lebar dan melihat sosok tamu yang berdiri tegak di teras dengan senyuman khas yang membuatnya sedikit terkejut.

“Maaf, Pak. Anda mencari siapa malam-malam begini datang bertamu ke rumah orang?” tanya Leni, suaranya tegas, tanpa basa-basi.

Senyuman datar tersungging di bibirnya, seolah memberi jarak dengan orang asing itu.

Dari dalam, Naia yang tengah mengusap perutnya yang semakin membesar mendengarkan dengan hati-hati.

Ia sedikit mencondongkan tubuhnya, mencoba mengenali suara yang terdengar di depan pintu.

Tamu itu kemudian memberi salam dengan nada ramah, “Assalamualaikum, Mbak. Saya Adiwira Mahesa, temannya Mbak Naia.”

Lelaki itu mengulurkan beberapa paperbag berisi makanan dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang sebuket bunga mawar putih yang masih segar.

Leni sempat menatap curiga sebelum akhirnya menoleh ke arah Naia yang mulai berdiri dari sajadahnya. “Naia, ini benar temanmu?” tanyanya pelan, seolah meminta konfirmasi.

Naia menghela napas, lalu melangkah perlahan ke pintu sambil tersenyum sopan. “Waalaikumsalam, Mas Adiwira. Silakan masuk.”

Adiwira membalas senyum itu dengan mata berbinar, lalu menundukkan kepalanya sedikit penuh hormat.

“Terima kasih, Mbak. Maaf kalau kedatangan saya mengganggu malam yang tenang ini.” ucapnya.

Sejak pertama kali matanya menangkap sosok itu dipasar dan beberapa waktu lalu ketika di pesta pernikahan anaknya Pak Budi, ada sesuatu yang berbeda mengusik hati Adiwira Mahesa.

Di tengah riuh tawa para tamu, lantunan musik hajatan, dan aroma nasi liwet yang mengepul dari dapur, ia justru terdiam.

Tatapannya tertuju pada seorang perempuan sederhana berbalut gamis hijau tosca dengan kerudung yang menjuntai anggun.

Senyumnya ramah, geraknya tenang, tapi ada wibawa halus yang memancar.

"Naia… begitu orang-orang menyebut namanya," gumamnya dalam hati.

Adiwira tidak mengira, pemilik peternakan yang sering diceritakan Pak Budi itu ternyata seorang perempuan muda.

Wajahnya teduh, tapi menyimpan sorot mata yang seakan pernah melewati jalan panjang penuh luka.

Ada kesan kuat sekaligus rapuh, yang justru membuat hatinya bergetar.

Sejak malam itu, bayangan Naia kerap hadir tanpa diundang. Saat ia menutup mata, ia teringat senyum yang sederhana tapi mampu meneduhkan.

Saat ia sibuk dengan urusan kerja, tiba-tiba saja nama Naia kembali muncul di ingatannya.

Ada rasa kagum, ada hormat, sekaligus rasa ingin tahu yang semakin hari semakin tumbuh. Ia tahu, Naia bukan sekadar perempuan biasa.

Ada aura yang membuatnya berbeda bukan karena hartanya, bukan pula karena ketenarannya di desa, melainkan karena ketegaran dan kelembutan yang berpadu dalam dirinya.

Namun, di balik kekaguman itu, Adiwira juga menyimpan perasaan getir. Ia sadar Naia bukan perempuan yang bisa mudah dicapai.

Perut yang kian membesar menandakan ia tengah mengandung, dan tentu ada masa lalu yang tak sederhana.

Meski begitu, dalam hatinya ia berbisik, “Andai suatu hari aku bisa menjaga perempuan itu, aku takkan biarkan air matanya jatuh lagi. Dia terlalu berharga untuk sekedar dikenang dari jauh.”

Dari balik tatapannya yang tajam, Leni bisa membaca sesuatu yang tak diucapkan Adiwira.

Caranya menatap Naia terlalu lama, senyumnya seakan tak bisa disembunyikan, dan sikapnya yang penuh perhatian jelas bukan sekadar basa-basi tamu yang datang berkunjung.

Dalam hati, Leni bergumam, “Astaga, lelaki ini jelas-jelas matanya berbinar tiap kali memandang Naia. Jangan bilang dia jatuh hati. Padahal Naia masih berstatus istri orang, istrinya Tuan Atharva. Walaupun Naia sedang jauh dari suaminya, tetap saja hal ini nggak boleh dibiarkan berlarut…”

Perut Naia yang semakin besar membuat Leni semakin waspada. Ia tahu betul bagaimana sahabatnya itu mencoba bangkit, membangun kehidupan baru di desa, dan menenangkan hati yang sempat porak-poranda.

Kehadiran seorang pria baru, apalagi yang terlihat jelas menaruh hati, bisa jadi bara yang berbahaya.

Leni menghela napas pelan, menatap Naia yang menerima bunga mawar putih dari Adiwira dengan senyum kikuk.

“Naia polos sekali, dia pasti tak sadar kalau sikap ramahnya bisa disalahartikan. Aku harus bicara empat mata dengannya. Harus kuingatkan, sebelum semuanya jadi rumit. Jangan sampai sahabatku terjerumus dalam masalah yang sama lagi.” gumam Leni.

Niat itu sudah bulat di benak Leni. Malam ini mungkin belum tepat, tapi besok atau lusa, ia akan duduk bersama Naia, menatap matanya dan berkata dengan jujur.

“Hati-hati, Naia. Jangan biarkan orang lain mengisi ruang yang seharusnya belum pantas terbuka.”

1
Isma Isma
baguss Leni kasih tau niaa biar Ndak timbul masalah baruu 🥰🥰🥰🥰
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: kan bagus kalau banyak fans 🤭🤣
total 1 replies
Hana Ariska
gak sabar nunggu kelanjutan nya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak.. insya Allah besok double update
total 1 replies
Milla
Pasti nyaaa anak buah tuan muda arthava 🤭 semangat up thorrr🙏🌹
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Belum tentu 🤭🤣
total 1 replies
Hijriah ju ju
sangat bagus menghibur
Marlina Taufik
seru ni di tunngu lanjut y
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kak 🙏🏻🥰

insha Allah besok lanjut soalnya kalau malam mau jualan dulu cari tambahan penghasilan meski dikit ☺️🤗🙏🏻
total 1 replies
Milla
Lanjutt thorrr💪🌹
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: insha Allah besok kakak 🙏🏻🥰
total 1 replies
Hijriah ju ju
sungguh miris kisah hidupmu
Rahmi Jo
kenapa nggak dibantu??
Hijriah ju ju
najong loh Arya
Rahmi Jo
kok bisa dahulu bisa jatuh cinta??
Hijriah ju ju
wajar dikasari
Uba Muhammad Al-varo
semoga semua usaha kamu berhasil Naia dan kamu bisa bangkit sementara Artharva menjalani kesembuhan, sebenarnya Artharva orang nya baik tapi caranya salah besar membuat Naia menderita dan kau Arya tunggu detik2 kehancuran mu
Uba Muhammad Al-varo: 👍👍👌 ditunggu kehancurannya Arya dan kedua orang tuanya yang mulutnya embreng
total 2 replies
Uba Muhammad Al-varo
sungguh memilukan hidup mu Naia, semoga ditempat baru nanti hidup mu akan bahagia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: amin ya rabbal alamin
total 1 replies
Uba Muhammad Al-varo
ayo Naia pergi dari kampung mu,cari daerah/tempat untuk menata hidup mu lebih baik lagi dan bikinlah hidup mu dan anakmu kuat,agar bisa membalas semua perbuatannya si Arya
Uba Muhammad Al-varo
kenapa kejadian tragis hanya terjadi pada Artahrva seharusnya terjadi juga pada si Arya keparat
Siti Aminah
ceritanya bagus
AsyifaA.Khan⨀⃝⃟⃞☯🎯™
semoga bahagia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: amin ya rabbal alamin
total 1 replies
Ana Natsir
setuju
Ana Natsir
semoga nggak gila
Ana Natsir
sedih jdi mewek
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!