Anara adalah siswi SMA berusia 18 tahun yang memiliki kehidupan biasa seperti pada umumnya. Dia cantik dan memiliki senyum yang manis. Hobinya adalah tersenyum karena ia suka sekali tersenyum. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Fino, laki-laki dingin yang digosipkan sebagai pembawa sial. Dia adalah atlet panah hebat, tetapi suatu hari dia kehilangan kepercayaan dirinya dan mimpinya karena sebuah kejadian. Kehadiran Anara perlahan mengubah hidup Fino, membuatnya menemukan kembali arti keberanian, mimpi, dan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Koridor sekolah ramai. Bisik-bisik mulai terdengar di antara murid-murid.
“Lo denger nggak? Murid pindahan itu, dia bakar gudang.”
“Yang atlet itu? Seriusan?”
“Iya, katanya dulu dia sampai dipaksa berhenti jadi atlet gara-gara bermasalah. Emang pembawa sial.”
“Gila... tampan-tampan, ternyata biang masalah.”
Kata-kata itu menusuk telinga Fino. Tapi ia hanya menunduk, berjalan melewati kerumunan seakan tak peduli. Di sampingnya, Anara mengepalkan tangan, jelas tak terima mendengar gosip itu.
“Fino, Anara,” panggil salah satu teman kelas dengan wajah canggung. “Kalian dipanggil Pak Guru ke ruang BK.”
Tanpa banyak kata Fino langsung melangkah pergi.
Diruang BK
Guru BK membuka suara. “Fino, apa kamu tahu kenapa kamu dipanggil ke sini?”
Fino tidak menjawab. Ia hanya menunduk.
Wakil kepala sekolah menyilangkan tangan.
“Gudang sekolah hampir terbakar habis. Dan kamu ada di lokasi saat kejadian. Anak-anak lain bilang api muncul saat kamu ada di sana.”
“Tidak!” Anara langsung menyela, suaranya meninggi.
“Itu bukan salah Fino! Saya ada di sana. Ada anak-anak lain yang merokok, mereka yang bikin api menyala! Fino justru yang coba menghentikan mereka.”
Guru BK menghela napas. “Anara, kami menghargai penjelasanmu. Tapi... tidak ada saksi lain yang membenarkan? Mereka bilang jelas melihat fino?”
Anara menoleh ke Fino, berharap dia akan bersuara. “Fino, katakan sesuatu... jelaskan yang sebenarnya...”
Namun Fino tetap membisu. Hanya genggaman tangannya yang makin mengeras di atas paha.
“Keputusan tetap harus diambil. Fino, kamu harus bertanggung jawab. Sekolah menuntutmu membayar ganti rugi atas kerusakan.”
“APA?!” Suara Anara terdengar lebih keras.
“Ini nggak adil! Fino nggak salah! Kalian nggak lihat apa yang sebenarnya terjadi!”
“Cukup, Anara,” potong guru BK. “Keputusan sudah diambil.”
Setelah itu, Fino hanya bangkit perlahan, siap meninggalkan ruangan.
Anara langsung menarik lengannya.
“FINO!” serunya lantang.
“Kenapa kamu nggak ngomong apa-apa?! Kenapa kamu biarin mereka nuduh kamu begitu?!”
Fino terdiam sejenak. Tatapannya kosong, wajahnya datar.
“Ini bukan salah kamu,” Anara menambahkan, suaranya lirih namun penuh marah.
“Kamu harusnya bilang yang sebenarnya!”
“Apa kamu begitu ingin menolong orang sial?”
Anara terdiam, terkejut mendengar kata-kata itu.
Fino melanjutkan,
“Jika iya... pergi ke toilet, lihat dirimu sendiri di cermin... Apakah kamu sadar senyum yang kamu pakai itu menyedihkan.”
Kata-kata itu seperti tamparan keras di wajah Anara. Matanya membesar, napasnya tercekat.
Tanpa menunggu balasan, Fino melangkah keluar ruangan. Pintu ditutup pelan, meninggalkan Anara sendirian.
**
Keesokan harinya matahari bersinar terik, tapi perhatian Fino bukan pada panasnya cuaca, melainkan pada sosok yang tiba-tiba muncul menghampirinya—Pak Hadi, pelatih panahan yang baru bergabung di sekolah mereka.
Wajah Pak Hadi langsung berbinar saat mengenali Fino.
“Fino Malik, kan? Wah, luar biasa akhirnya bisa ketemu langsung. Aku pernah nonton rekaman pertandinganmu waktu lomba nasional dua tahun lalu. Kamu pemanah hebat, Nak.”
Fino hanya mengangguk singkat.
“Gabung ke klub panahan di sekolah ini, ya?” ajak Pak Hadi antusias.
“Kami butuh orang sepertimu. Kamu punya teknik yang nggak semua orang bisa pelajari cuma dalam hitungan bulan.”
“Maaf, Pak. Saya sudah nggak tertarik lagi memanah.”
Pak Hadi tertegun. “Kamu yakin? Bakatmu terlalu berharga untuk ditinggalkan, Fino. Kamu bisa jauh lebih hebat kalau lanjut.”
Fino tak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, lalu melangkah pergi.
Tak jauh dari sana, Anara yang kebetulan mendengar percakapan mereka, langsung melangkah mendekat ke arah Pak Hadi.
“Pak, syarat ikut kelas panahan apa ya?” tanyanya polos.
Pak Hadi yang kaget spontan melompat kecil, “Astaghfirullah, kamu bikin kaget aja!”
Anara tertawa kecil, “Hehe, maaf, Pak.”
“Kamu mau ikut kelas panahan?”
Anara menggeleng, “Enggak.”
Pak Hadi menaikkan alis, “Terus?”
“Buat Fino.” Anara menjawab dengan senyum lebar penuh arti.
Ia tahu ini bukan hal mudah. Tapi Anara akan membawa Fino kembali ke dunia panahan—Bagaimana pun caranya.
Pak Hadi menatap Anara dengan bingung, lalu tersenyum samar, “Kamu ini… nekat juga ya.”
Anara terkikik, lalu menoleh ke arah tempat Fino menghilang.
“Dia cuma lupa caranya percaya, Pak. Saya pengen bantu dia ingat lagi,” katanya lirih, tapi penuh keyakinan.
Keesokan harinya, di jam istirahat, Anara dengan semangat mendatangi ruang klub panahan. Ia berdiri di depan pintu, mengetuk pelan.
“Permisi, Pak Hadi!”
Pelatih itu menoleh dari dalam, melihat Anara yang berdiri dengan wajah penuh tekad. “Lho, kamu lagi?”
Anara mengangguk cepat. “Saya serius, Pak. Saya mau daftar klub panahan.”
Pak Hadi mengerutkan dahi. “Tapi kemarin kamu bilang bukan buat kamu—”
“Saya berubah pikiran,” potong Anara cepat. “Kalau Fino nggak mau balik ke klub ini… saya yang akan tarik dia balik.”
Pak Hadi terdiam sejenak, lalu tertawa pelan,
“Kamu ini unik.”
**
Beberapa hari kemudian, di lapangan belakang, terlihat Anara yang sedang kesulitan menarik busur panah.
“Duh, kenapa sih ini susah banget!” keluhnya sambil memicingkan mata, anak panah yang ia tembakkan melenceng jauh dari papan sasaran.
Dari kejauhan, Fino memperhatikan diam-diam. Sorot matanya sedikit melunak, apalagi saat mendengar suara Pak Hadi berteriak:
“Anara! Itu bukan gaya nariknya! Nanti bahumu bisa keseleo!”
“Aku nyerah!” seru Anara sambil menjatuhkan busurnya.
Anara menoleh, seolah tahu Fino sedang mengintip. Ia tersenyum tipis ke arah tempat Fino berdiri. “Lihat kan? Aku nyoba belajar biar kamu nggak sendiri di dunia itu.”
Senyum itu—sederhana, ceroboh, tapi hangat—lagi-lagi muncul di wajah Anara.
Tiba-tiba Bagas datang dan duduk di samping Fino. Tatapannya ikut terarah pada Anara yang begitu serius berlatih panah dengan senyum bersemangat.
“Lo tahu,” ucap Bagas tiba-tiba, suaranya tenang tapi sarat makna, “yang ngajarin Anara tersenyum itu gue.”
“Gue ketemu dia waktu kelas satu. Saat itu dia nggak punya teman. Setiap jam istirahat, dia selalu bingung mau duduk di mana di kantin.”
Bagas tersenyum tipis, matanya sendu.
“Lalu gue datang dan bilang, ‘tersenyum.’ Karena dengan itu semua akan kelihatan baik-baik aja. Orang lain nggak akan tahu meski kita lagi sedih, kalau kita tetap senyum.”
“Jadi itu yang mau lo bilang?” tanyanya datar.
Bagas diam sejenak, lalu menatap Anara lagi.
"Gue mau lindungi dia gimana pun caranya, supaya dia nggak terluka lagi. Hidup dia udah terlalu suram.”
Bagas, Fino terdiam. Tatapa mereka tanpa sadar jatuh pada Anara yang masih sibuk dengan busur panah di tangannya.