Tidak ada rumah tangga yang berjalan mulus, semua memiliki cerita dan ujiannya masing-masing. Semuanya sedang berjuang, bertahan atau jutsru harus melepaskan.
Seperti perjalanan rumah tangga Melati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Viola sudah berbaring di meja operasi, persalinannya dilakukan sekarang karena Viola merasakan sakit yang luar biasa pada perutnya. Jauh lebih sakit dari yang pertama tadi.
Mas Kalingga tidak jauh sedikitpun dari Viola, wanita itu selalu minta ditemani dan tidak pernah melepaskan tangan Mas Kalingga.
Setelah hampir satu jam setengah perjuangan team Dokter mengeluarkan bayi dari dalam rahim Viola akhirnya bayi itu keluar dengan selamat tanpa kekurangan apapun. Bahkan setelah beberapa menit langsung terdengar suara tangisnya yang kencang.
"Selamat, Pak, Dokter Viola, atas kelahiran putri cantiknya."
"Putri cantik?," Viola mendengar jelas apa yang dikatakan Dokter.
"Iya, seorang putri yang sangat cantik."
Viola menggeleng sambil menatap Mas Kalingga.
"Itu pasti bukan anakku, Dokter, anakku berjenis kelamin laki-laki. Anakku seorang jagoan." Dunianya menjadi tak indah karena pasti ada kesalahan.
"Vi, anak laki-laki atau anak perempuan sama saja. Itu memang anak kita," Mas Kalingga meyakinkan istrinya.
"Tidak, Mas!, anak kita laki-laki. Dua rumah sakit sudah mengatakan itu. Tidak mungkin sekarang berubah begini."
Dokter pun ikut membantu menjelaskan setelah bayi yang baru dilahirkan Viola dibawa perawat untuk dibersihkan.
"Kemungkinan itu selalu ada, Dokter Viola. Dokter Viola sendiri juga pernah mengetahui kejadian-kejadian seperti ini di rumah sakit ini."
"Tapi aku tidak pernah berpikir akan terjadi padaku juga, Dokter. Aku sangat menginginkan anak laki-laki."
"Anak laki-laki atau perempuan anugerah dari Tuhan, kita harus sangat mensyukurinya. Ada jutaan wanita di luar sana yang menginginkan posisi seperti Dokter Viola sekarang."
Viola terdiam namun air matanya sudah mengalir deras. Viola sudah selesai dengan operasinya dan dia di bawa ke ruangan.
Namun Viola lebih banyak melamun, tidak ada satu pun kata-kata Mas Kalingga yang didengarnya. Lamunannya begitu dalam sehingga sulit untuk membawanya kembali. Bahkan suara tangis kencang bayi perempuan yang telah dilahirkannya sekali pun tidak terdengar juga.
Mas Kalingga menggendongnya, mendekapnya dalam pelukan penuh kehangatan.
"Papa bersyukur kamu lahir dengan selamat tanpa kekurangan suatu apapun. Selamat datang dalam hidup, Papa." Mas Kalingga mencium bayi yang sudah tenang dalam gendongannya.
Mas Kalingga menyentuh pelan pundak Viola, wanita itu pun menoleh menatap wajah Mas Kalingga lalu tertuju pada bayi yang ada dalam gendongan Mas Kalingga.
"Itu bukan bayi kita, Mas." Lirihnya kembali menatap Mas Kalingga.
"Vi, bagiku sama saja mau itu bayi perempuan atau laki-laki." Sudah berulang kali Mas Kalingga menegaskan dia tidak mempermasalahkan jenis kelamin anak-anaknya. Dia akan menerima, mencintai, menyayangi dan merawatnya.
"Tidak, Mas, Ibu dan Bapakmu menginginkan bayi laki-laki. Aku pun sama sangat menginginkan seorang jagoan yang akan melindungi kita." Air matanya kembali menetes.
Rasanya ini seperti pukulan keras bagi Viola. Tidak siap dengan kenyataan yang sebenarnya tidak apa-apa malah tetap harus bersyukur. Tuhan menjadikannya seorang Ibu yang belum tentu bisa dirasakan wanita lain.
Tapi entahlah apa yang ada di dalam pikiran Viola.
Bayi yang tenang di dalam gendongan Mas Kalingga kini menangis kencang. Mungkin menginginkan pelukan Ibunya atau juga ingin menyusu pada Ibunya. Akan tetapi Viola tidak mau memberikannya. Dia pun tidak merasakan ada perubahan pada payudaranya.
Tidak putus asa, terus saja Mas Kalingga membujuk Viola untuk menggendong dan menyusui bayi mereka. Tapi Viola tetap kekeh bergeming dengan kekerasan hatinya. Tidak mengakui jika itu bukan anaknya. Sementara hanya ada Viola di ruangan bersalin beberapa jam yang lalu.
Mas Kalingga kembali menenangkan bayi perempuannya sampai bayi itu kembali tenang lalu dibawanya menemui salah satu perawat untuk memberikan tempat pada putrinya karena untuk sekarang ini tidak mungkin ditaruhnya bersama Viola.
"Selamat atas kelahiran putrinya, Pak Kalingga." Langit yang berpapasan langsung menyalami Mas Kalingga.
"Terima kasih, Dokter Langit."
"Maaf, tapi aku harus kembali ke ruangan Viola." Pamitnya.
"Silakan, Pak Kalingga."
Sementara itu di rumah, Melati bersiap mengantar anak-anak ke rumah sakit menemui Papa dan Adik baru mereka. Melati tidak bisa mengabaikan hubungan antara Ayah, anak dan anaknya yang lain.
"Mama tidak ikut masuk?," tanya Lili saat mobil Melati sudah parkir di depan rumah sakit.
"Mama tunggu di depan saja."
"Baik, Ma."
Mereka bertiga turun dari mobil dan kedua anaknya langsung menemui Papa mereka sedangkan Melati menunggunya di tempat yang sudah dikatakannya tadi pada anak-anak.
"Mel, di sini?." Sapa Karim.
"Iya," jawabnya pendek.
"Berobat atau menjenguk siapa?."
"Mengantar anak-anak menemui Papa dan Adiknya."
"Oh, iya, aku lupa. Viola sudah melahirkan."
Melati hanya mengangguk.
"Kapan kita bisa bicara, Mel. Ada yang mau aku sampaikan sama kamu, mungkin kita bisa makan malam atau mungkin apa?."
"Maaf, Karim, aku..." Melati tidak melanjutkan lagi kata-katanya karena dia melihat Langit memperhatikannya.
Karim pun mengikuti arah tatapan Melati lalu melambaikan tangan pada Langit dan Langit hanya mengacungkan jempol lalu kemudian pergi.
"Aku sedang tidak ada waktu, Karim. Jadi aku tidak menjanjikan apapun padamu, maaf."
"Oke," Karim pun paham akan penolakan Melati yang kesekian kalinya. Dia pun pergi dari hadapan Melati.
Perlahan tangan Melati mengusap perut lalu memegangi dadanya yang terus bergejolak. Dia duduk di kursi sambil menarik napas dalam-dalam sampai suasana hatinya kembali baik. Saat memegangi dada dia merasakan sesuatu yang basah dan terjadi juga pada saat kehamilan Lili. Air susunya sudah melimpah di saat usia kehamilannya baru berjalan dua bulan.
Dia pun segera ke apotik untuk membeli dibutuhkannya lalu ke kamar mandi. Memberi ganjalan pada payudaranya supaya tidak merembes.
Cukup lama hampir dua jam Melati berada di sana, pelan namun pasti langkahnya mulai menjauh dari tempat menunggunya tadi. Dia ingin mencari tahu apa yang terjadi pada Lili dan Sakura. Mengikuti sesuai petunjuk yang ada di setiap jalan.
Pemandangannya Mas Kalingga sedang menggendong bayinya yang sedang menangis kencang. Belum lagi dua anak perempuannya ikut membantu menenangkan dengan cara mereka melucu. Tapi tetap saja bayinya menangis kencang.
Nalurinya sebagai seseorang yang sudah menjadi Ibu dan akan menjadi Ibu lagi dari bayi yang sedang dikandungnya. Langkah panjang Melati membawanya ke hadapan mereka bertiga.
"Dede bayinya menangis terus, Mama." Sakura begitu sedih.
"Padahal sudah kita hibur," Lili ikut menambahkan.
Melati dan Mas Kalingga bersitatap kemudian Melati memfokuskan tatapannya pada bayi yang terus menangis.
"Mungkin bayinya haus," walau canggung tapi Melati bisa menyampaikan apa yang ada di dalam isi kepalanya.
"Pasti, karena sudah dua hari ini belum ada minum susu."
Melati diam dengan raut wajah heran.
"Kenapa bisa?."
Sekarang Mas Kalingga yang diam.
"Viola tidak mau menyusuinya karena bayinya seorang bayi perempuan."
"Astagfirullah," Melati memegangi dada yang tiba-tiba berdebar hebat. Hanya karena jenis kelamin sampai tidak mau memberikan hak yang seharusnya didapatkan bayi yang tidak berdosa.
"Berikan padaku bayinya, biar aku yang menyusuinya."
Seketika tatapan Mas Kalingga tertuju pada perut Melati.
Bersambung