Hidup dalam keluarga yang tidak bahagia. Ayahnya, ibunya, serta kakak laki-lakinya lebih perhatian dan melimpahkan kasih sayang pada putri tiri mereka, Rachel Carnida.
Ruby merasa tidak dicintai dan tidak dihargai oleh keluarganya sendiri. Dia berusaha untuk membuktikan dirinya dan mendapatkan perhatian keluarga, tetapi setiap upaya yang ia lakukan selalu gagal.
Ruby tidak pernah menyerah. Sampai suatu hari, Ruby dibawa paksa oleh Cakra ke sebuah club dan diserahkan pada teman-temannya sebagai bentuk kakalahan Cakra dari taruhan. Ruby terkejut, perbuatan Cakra semakin menambah deretan luka yang selama ini sudah ia dapatkan.
Ruby pun akhirnya menyerah. Ia tidak lagi berusaha untuk mendapatkan cinta dari keluarganya. Tujuannya kini hanya satu; membalas dendam terhadap mereka yang selama ini telah menyakiti hatinya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Diana Putri Aritonang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RYB 2. Gadis Penyakitan.
Ingin rasanya tak percaya, tapi inilah realita. Ruby kembali dikorbankan. Lagi, untuk kesekian kalinya, dan ini lebih keji dari semua perlakuan semena-mena yang pernah Ruby terima dari keluarganya.
Ia dijadikan penebus kekalahan oleh kakanya sendiri.
Ruby terisak. Teriakan marah serta kekecewaannya tak memiliki arti—lenyap begitu saja ditelan hembusan malam seiring kepergian Cakra yang benar-benar meninggalkannya.
Dunia seorang Ruby Carlene telah berhenti berputar. Kini, ia dibawa masuk ke dalam sebuah kamar dan dikunci.
"Biarkan dia di sana. Kita tunggu Emer datang."
"Aku kira Cakra hanya memiliki Rachel sebagai adiknya, ternyata dia masih memiliki adik lain yang jauh lebih cantik," suara lain menimpali.
"Kita lihat saja, apa Emer akan menerimanya."
"Aku yakin Emer akan langsung menyukainya," jawabnya dengan tertawa.
Ruby bisa mendengar suara-suara para pria itu dari balik pintu yang sudah dikunci. Netranya yang menatap lurus kian memerah menahan tangis dan amarah. Tangannya mengepal kuat. Jadi yang mereka inginkan sebenarnya adalah Rachel? Tapi kenapa dirinya yang diberikan Kak Cakra?
Senyum pahit terukir di bibir Ruby. Air matanya kembali menetes. Meratapi nasibnya yang tidak pernah dicintai bahkan kini harga dirinya dikorbankan—setidak bernilai itu dirinya di mata keluarganya sendiri.
"Kenapa? Kenapa harus aku, Kak?" isak Ruby. Seakan masih bisa melontarkan protesnya pada Cakra. "Mereka menginginkan Rachel. Bukan aku! Tapi kau malah memberikanku! Kau selalu tidak adil padaku!"
Parau sudah suaranya. Tangisnya pecah, tubuhnya bergetar membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya pada dirinya.
Ruby menghapus kasar air mata saat pintu kamar terbuka. Seseorang masuk dan mereka saling menatap.
Emer yang baru datang terdiam tanpa suara. Sempat terkejut saat melihat sosok yang ada di dalam kamar ternyata bukanlah seseorang yang ia harapkan.
"Kau adiknya Cakra?" tanya Emer, suaranya tegas dan dingin, mata tajamnya menembus jiwa, sementara wajah tampan dengan rahang yang kuat membuatnya terlihat seperti patung hidup.
"Bukan!" jawab Ruby lekas. Sebisa mungkin ia menyembunyikan getar takut di balik suaranya saat menerima tatapan Emer. "Cakra sudah menipumu. Adiknya adalah Rachel. Aku bukan adiknya!" Lebih tegas lagi Ruby mengatakannya.
Selain berharap pria yang ada di hadapannya bisa terpengaruh dan membatalkan semua niat buruknya, kata-kata Ruby juga seakan menggambarkan kemarahannya saat ini—Cakra bukan lagi kakaknya.
Melepas blazer yang menjadi outer kaos putih yang ia kenakan, Emer dengan santainya mendekati Ruby. Pria itu memperhatikan Ruby intens; wajah sembab, mata merah dan bengkak, serta bibir yang juga ikut memerah, tapi tetap terlihat memiliki daya tarik yang kuat.
Emer tersenyum kecil. Ruby tidak terlalu buruk, pikirnya. Ia mendorong tubuh gadis itu hingga terjerembab ke atas ranjang dan Emer langsung mengukungnya.
"Aku pasti akan mengurus Cakra sialan itu nanti, karena berani menipuku. Saat ini aku menginginkanmu."
Emer mencium Ruby. Ia juga langsung mencengkram erat tangan Ruby yang berontak memukulinya. Ia memangut paksa bibir lembut itu, menyusuri leher jenjang Ruby dan meninggalkan jejaknya di sana.
Ruby menangis, tubuhnya bergetar hebat di bawah paksaan yang terus Emer lakukan. Menjijikan!! batin Ruby terisak dan berteriak. Air matanya mengalir deras. Ia frustasi dan putus asa.
"Tunggu..." parau Ruby. Suaranya tercekat di tenggorokan. "Tunggu..."
"Apa lagi?" Emer akhirnya menghentikan aksinya. Ia menatap tajam Ruby yang menangis di bawah kungkungannya. "Cakra sudah memberikanmu padaku! Kau milikku sekarang! Jadi sia-sia saja kau berontak ataupun menolak!"
Ruby mengangguk. Ia menghentikan isakannya dan menatap Emer. "Biarkan aku bersiap. Ini...ini pertama kalinya untukku."
Netra Emer melebar, terkejut dengan ucapan Ruby.
"Aku hanya perlu mandi."
Sejenak Emer tampak berpikir, sebelum akhirnya beranjak turun dari atas tubuh Ruby. Ia juga yang menarik gadis itu untuk bangun, dan menggerakkan kepalanya—mengizinkan Ruby untuk mandi.
"Tunggulah," kata Ruby sebelum ia beranjak masuk ke dalam kamar mandi.
Emer hanya diam, ia duduk di tepi ranjang menunggu Ruby yang mempersiapkan diri untuk ia tiduri.
Sementara itu di dalam kamar mandi, Ruby benar-benar membersihkan dirinya. Tanpa melepaskan pakaiannya, gadis itu terduduk di bawah derasnya shower dingin yang mengguyur seluruh tubuhnya.
"Menjijikan," isaknya dengan tangan yang mengusap bibir serta lehernya yang sempat dicumbu Emer. Ruby terus melakukannya, ia menggosok kuat tubuhnya, lehernya bahkan semakin memerah karena perbuatannya itu.
Shower mengalir begitu deras, mampu menyamarkan banyaknya air mata yang Ruby tumpahkan. Dinginnya menusuk kulit, membuatnya mulai menggigil, tapi Ruby tidak perduli. Ia membiarkan air itu terus menerus menghantam dirinya, bahkan saat Emer memanggilnya pun Ruby hanya diam, mengabaikannya.
Hingga beberapa saat berlalu, Ruby akhirnya mengakhiri pembersihan dirinya. Dengan hanya menggunakan bathrobe putih, gadis itu keluar.
"Kenapa lama sekali? Kau tidur di dalam sana?!" tanya Emer tajam, karena Ruby terlalu lama berada di dalam kamar mandi.
Ruby tak menjawab, ia berlalu melewati Emer begitu saja dan berdiri di tepi ranjang. "Kau bisa memulainya," ucap Ruby. Ia siap menghadapi takdirnya.
Emer bisa melihat perbedaan dari wajah Ruby. Wanita itu terlihat pucat, sorot matanya tak lagi berpendar. Namun, Emer tetap maju. Ia tetap menginginkan Ruby.
Ruby membiarkan apapun yang ingin Emer lakukan. Gemuruh di hatinya terus meningkat, tapi ia tak lagi menangis. Wajahnya yang pucat kian memutih, benaknya terus berharap bahwa kekurangannya bisa membuatnya bebas dan Emer tidak lagi menginginkannya.
"Hacimmm!"
Bersin Ruby menghentikan cumbuan Emer.
"Hacimmm! Hacimmm!"
Ruby mengusap hidungnya yang mengeluarkan cairan. Ia akhirnya flu dan bersin-bersin. Entah kenapa kali ini Ruby bahagia akan kedatangan penyakitnya.
"Hacimmm! Hacimmm!"
Bersin Ruby tak berhenti, bahkan mengenai wajah Emer. Pria itu dengan kasar menjauh dari Ruby dan mengusap wajahnya.
"Kau bervirus?!" tanya Emer tajam.
Ruby mengangguk, ia meraih tali bathrobe saat ingin membuang ingus dari hidungnya. Ia melakukan itu semua di bawah sorot mata tajamnya Emer.
Begitu banyak. Menjijikan sekali! batin Emer beranjak semakin jauh dari Ruby.
"Dasar gadis penyakitan! Sialan kau, Cakra!" umpat Emer kesal pada Cakra yang memberikan padanya gadis penyakitan.
"Aku tidak apa-apa. Aku masih bisa melayanimu... Hacimmm! Hacimmm!" Ruby kembali mengeluarkan cairan dari hidungnya, bahkan lebih banyak dari sebelumnya.
Membuat Emer semakin jijik. Ia tidak ingin menyentuh Ruby.
"Menjauh dariku. Kau membawa virus!" Emer langsung meraih blazernya dan keluar dari dalam kamar dengan membanting pintu.
Sekarang pokoknya bahagia dulu aku, Emer dan Ruby jadi nikah juga. Pernikahannya sudah di umumkan 💃🕺💃🕺💃