Sebuah novel dengan beragam jenis kisah horor, baik pengalaman pribadi maupun hasil imajinasi. Novel ini terdiri dari beberapa cerita bergenre horor yang akan menemani malam-malam mencekam pembaca
•HOROR MISTIS/GAIB
•HOROR THRILLER
•HOROR ROMANSA
•HOROR KOMEDI
Horor Komedi
Horor Psikopat
Horor Mencekam
Horor Tragis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayam Kampoeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35 SEKTE SESAT Part 10
Pagi setelah kekacauan di gua Bawakaraeng...
Sariwati terbangun di rumah sakit di Makassar, jahitan di bahunya terasa perih setiap kali dia bergerak. Bau antiseptik memenuhi ruangan, tapi tak bisa menutupi aroma amis darah yang masih melekat di ingatannya. Dokter bilang lukanya tak dalam, hanya goresan dari pisau Andi, tapi Sariwati tahu, darah yang mengalir malam itu bukan sekedar luka fisik. Itu bagian dari ritual, persembahan yang membuat Ratu Bayang semakin kuat.
Kompol Budi duduk di kursi samping ranjangnya, wajahnya lelah dengan lingkar hitam di bawah mata. "Kamu beruntung, Nona. Tim kami selamatkan kamu tepat waktu. Dua polisi terluka parah, tapi syukur mereka selamat. Pak Rahman dan Bu Aisyah... Mereka lenyap. Kami sudah tutup mulut guanya sementara. Desa itu sekarang zona karantina. Tak ada yang boleh keluar masuk tanpa izin."
Sariwati mendudukkan dirinya, mata itu mencari-cari seseorang. "Andi? Adik saya... Mana?"
Kompol Budi menggelengkan kepala. "Tak ada jejaknya. Kami temukan darah di altar, campuran darah hewan dan manusia. Forensik bilang itu darah segar, mungkin dari ritual tadi malam. MUI sudah datang. Mereka bilang ini aliran sesat yang mengubah tradisi dasar. Warga desa... Mereka menolak semua tradisi. Dan sekarang tak ada lagi doa pagi, tak ada lagi ritual adat lokal. Mereka ganti dengan tarian gaib, seperti yang dilaporkan di kasus Maros dulu."
Sariwati merinding. Dia ingat rumor tentang Tarekat Ana Loloa di Maros. Sekte yang menolak tradisi standar, mengganti dengan tarian aneh di gunung untuk memanggil "roh suci".
"Mereka... sudah gila. Ratu Bayang yang perintahkan itu." ujar Sariwati.
Kompol Budi menghela nafas. "Kami tangkap beberapa pengikut. Mereka bilang, 'Tradisi lama tidak berguna. Ratu memberi yang baru.' Satu dari mereka, namanya Ibu Siti, dia bilang Jaka sudah 'di surga', dan sekarang dia menolak makan makanan biasa. Hanya minum darah ayam mentah."
Kompol Budi kemudian menyerahkan laporan tipis dari MUI. "Lihat ini. Mereka curiga sekte ini mengubah sumpah setia dan memuja Ratu Bayang. Sedangkan ritual harian? Diganti dengan tarian lingkaran di bawah bulan, katanya untuk 'bersatu dengan bayangan'."
Sariwati membaca laporan itu, tangannya gemetar. Di dalamnya, catatan tentang warga desa yang mulai menolak tradisi, tak lagi ikut upacara panen adat, tak lagi percaya pada Tuhan atau melakukan doa seperti biasa.
Sebaliknya, mereka berkumpul malam-malam, melakukan tarian gaib dengan gerakan aneh, yaitu tangan merayap seperti ular, mulut melantunkan mantra kuno.
"Ini seperti kasus Maros," gumam Sariwati. "Di sana, sekte menolak untuk haji ke Mekkah, diganti ke gunung. Di sini, ke gua Bawakaraeng."
Kompol Budi bangun. "Kamu istirahat. Besok, kamu beri kesaksian lengkapnya. Kami butuh detail visi-visi itu untuk laporan ke Polda."
Tapi Sariwati tetap tak bisa beristirahat. Saat Kompol Budi pergi, bisikan datang lagi, lebih kuat, seperti suara angin di telinganya, "Kembali... Lihat penolakan... Mereka milikku..."
Sariwati menutup telinganya, tapi sebuah visi datang. Tampak desa Bawakaraeng di mana warga desanya berkumpul di balai sedang demo menolak tradisi lama.
Malam itu, meski dijaga polisi, Sariwati kabur dari rumah sakit. Nalurinya berkata dia harus kembali. Bukan untuk bergabung, tapi untuk menghentikan semuanya sebelum terlambat. Dengan bus malam, dia tiba di pinggir desa saat fajar menyingsing. Zona karantina tidak terlalu ketat. Polisi hanya memasang pita kuning di jalan utama. Dia pun menyusup lewat hutan.
Desa Bawakaraeng berubah. Tak ada lagi suara adzan atau nyanyian adat dari desa kecil itu. Sebaliknya, dari balai desa, terdengar irama drum pelan dan gumaman. Sariwati bersembunyi di balik pohon, mengintip. Puluhan warga desa berkumpul, Pak Rahman tak ada, tapi Bu Aisyah yang memimpin. Wajahnya pucat dengan matanya merah. Mereka duduk melingkar, lalu mangkuk berisi darah ayam dibagikan. Satu per satu meminum cairan itu sampai tandas.
"Ini tradisi baru!" seru Bu Aisyah, suaranya terdengar serak. "Yang lama kita tolak! Ratu Bayang memberi tarian gaib. Sekarang gerakkan tubuh kalian, rasakan bayangannya!"
Warga desa yang berkumpul serempak bangun, mulai menari dengan tangan merayap di tanah seperti ular, kaki berputar seperti ular melingkar, dengan mulut bergumam "Ratu... Ratu...".
Sariwati tercengang. Dia melihat hal itu mirip kasus Maros, yaitu tarian ekstasi yang memicu kesurupan massal untuk "memanggil roh gunung".
Sariwati melihat Ibu Siti di barisan depan. Dia meminum darah ayam, matanya menatap kosong.
"Jaka... dia senang di surga," gumam Bu Siti.
Hingga saat tarian sampai pada puncak pemujaan, angin dingin berhembus, bayangan hitam merayap pelan di atas tanah. Ratu Bayang muncul, wujudnya kini lebih jelas, wajahnya berubah menjadi wajah Jaka yang tersenyum mengerikan. Warga desa seketika jatuh kesurupan satu per satu. Tubuh mereka kejang dan berucap bahasa kuno.
Tak tahan lagi akhirnya Sariwati maju. "Berhenti! Ini bukan tradisi, ini sesat!" teriaknya. Warga desa menatap tajam padanya, tapi Bu Aisyah tersenyum.
"Sariwati... kau kembali. Ikuti tarian kami. Tolak tradisi lama, atau Ratu akan mengambil jiwa Andi."
Sariwati mundur, tapi bayangan Ratu Bayang meraih kakinya. Pegangan tangan bercakar itu sedingin es. Visi pun datang memasuki pikiran Sariwati. Dia melihat Andi di gua, menarikan tarian gaib sendirian, tubuhnya berubah setengah menjadi bayangan hitam. "Gabung... atau tolak... maka... mati..."
Tepat di saat bersamaan, Polisi tiba di sana. Kompol Budi dengan timnya memecah kerumunan, lalu menangkap Bu Aisyah yang meronta-ronta. Tapi saat polisi mendekati altar di balai desa, tiba-tiba tanah bergoyang seperti gempa kecil. Bayangan Ratu Bayang lenyap, tapi bisikannya terdengar, "Aku hancurkan... Kalian semua... Hihihi"
Akhirnya, Sariwati dibawa kembali ke Makassar. Desa Bawakaraeng kini seperti desa zombie. Warga desanya menolak segala yang sifatnya normal. Mereka mulai mengkonsumsi darah segar, lalu menarikan tarian gaib yang memicu lebih banyak kesurupan. Dan Ratu Bayang, dari kegelapan tersenyum puas...
*
Sariwati kembali terbaring di ranjang rumah sakit yang sama di Makassar. Kali ini dengan luka baru di lengannya akibat cakaran saat mencoba menolong Ibu Siti di balai desa. Perban tebal membalut goresan-goresan itu, dan infus menancap di tangannya. Kompol Budi berdiri di sampingnya, raut wajahnya menunjukkan kekalahan.
"Kami menangkap beberapa pengikut, Nona. Termasuk Bu Aisyah," kata Kompol Budi, suaranya terdengar berat. "Tapi mereka seperti robot. Hanya bergumam tentang Ratu Bayang dan tradisi baru. Mereka tidak mengakui perbuatan Pak Rahman atau hilangnya nyawa anak-anak. Otopsi menunjukkan bahwa petugas kami yang meninggal di gua itu bukan dibunuh. Tulang-tulangnya hancur seperti ditekan benda raksasa. Anehnya, tidak ada tanda-tanda perkelahian."
Sariwati menatap Kompol Budi dengan sedih. "Itu Ratu Bayang, Pak. Dia makhluk gaib. Dia bisa melakukan apa saja."
Kompol Budi menghela nafas panjang. "Saya tahu, Nona. Saya mulai percaya. Ada sesuatu yang tidak masuk akal di desa itu. Tim penyelidik dari Polda dan MUI sudah tiba di sana. Mereka akan melakukan pemeriksaan lebih menyeluruh, tapi... mereka tidak bisa menemukan jejak Pak Rahman. Dan Andi, adikmu... Dia juga hilang."
Hati Sariwati mencelos mendengar nama Andi. "Bagaimana dengan Ibu Siti? Apa dia baik-baik saja?"
Kompol Budi menggelengkan kepala. "Ibu Siti... Dia juga kami bawa ke rumah sakit jiwa. Dia tidak mau makan, hanya terus mengucapkan 'Jaka bahagia di surga' dan minum darah ayam. Dia juga bilang... dia melihat Jaka datang setiap malam, memintanya bergabung dengan Ratu Bayang."
Malam itu, Sariwati tak bisa tidur. Pikirannya melayang pada Ibu Siti. Wanita tua yang malang itu telah kehilangan putranya, lalu kehilangan akal sehatnya, dan sekarang ia dirasuki oleh halusinasi mengerikan. Sariwati membayangkan betapa kesepiannya Ibu Siti di rumah sakit jiwa dan hanya ditemani bayangan Jaka yang memintanya melakukan hal-hal mengerikan.
Tiba-tiba, ponsel Kompol Budi berdering. Sariwati bisa mendengar nada suaranya yang berubah panik. Kompol Budi bergegas keluar ruangan, meninggalkan Sariwati sendirian dengan pikiran-pikiran kalut.
Beberapa jam kemudian, Kompol Budi kembali. Wajahnya sangat pucat. "Nona, Ibu Siti... dia meninggal."
Sariwati terkejut. "Meninggal? Kenapa? Apa yang terjadi?"
Kompol Budi duduk di kursi, seolah dia tak punya tenaga lagi. "Perawat menemukannya di kamar. Terduduk di lantai, matanya terbelalak, dan mulutnya menganga. Perawat bilang... Bu Siti meninggal sambil tersenyum. Tapi senyumnya yang mengerikan."
"Apa penyebab kematiannya?" tanya Sariwati, tubuhnya mulai gemetar.
"Tidak ada tanda-tanda kekerasan," jawab Kompol Budi, suaranya lirih. "Tidak ada penyakit. Tidak ada jejak racun. Dokter bilang, dia meninggal karena ketakutan yang luar biasa. Atau, karena jantungnya berhenti mendadak."
Sariwati dibelai hawa dingin yang merayap di punggungnya. Ia teringat tulisan tangan Ibu Siti di secarik kertas lusuh. "Jaka telah pergi. Persembahan untuk Ratu Bayang. Tiket ke surga untuk semua. Jangan cari aku."
Dan Sariwati juga mengingat bisikan Ratu Bayang di pos polisi. "Darahmu... akan jadi persembahan yang sempurna..."
"Satu lagi," lanjut Kompol Budi, menatap Sariwati dengan pandangan kosong. "Perawat menemukan sesuatu di tangan Ibu Siti. Sebuah ukiran di telapak tangannya. Ukiran yang sama persis dengan yang ada di patung Ratu Bayang. Dan di sekujur tubuhnya, kulit Ibu Siti mulai membusuk dengan cepat."
Sariwati mual. "Membusuk? Maksudnya... seperti mayat yang sudah lama mati?"
"Ya. Seperti mayat yang usianya seminggu. Tapi Ibu Siti baru meninggal beberapa jam yang lalu. Dokter bilang ini tidak mungkin. Proses pembusukan seharusnya membutuhkan waktu berhari-hari. Tapi tubuh Ibu Siti... Sudah membusuk."
Sebuah visi pun melintas di benak Sariwati. Dia melihat Ibu Siti yang di rumah sakit jiwa, sendirian. Tiba-tiba, bayangan hitam panjang merayap dari sudut ruangan. Bayangan itu berbentuk Jaka, tersenyum dengan mata merah menyala. "Ibu... ayo ikut Jaka... Ratu sudah menunggu..." Ibu Siti tersenyum, matanya terbelalak, dan tubuhnya mulai membusuk saat rohnya ditarik oleh bayangan Jaka.
Sariwati tahu. Ini bukan kematian biasa. Ini adalah ulah Ratu Bayang. Ibu Siti telah menjadi "persembahan" terakhir, dibunuh oleh entitas gaib yang menjanjikan "tiket ke surga" dan kini telah mengambil jiwanya. Proses pembusukan yang dipercepat itu adalah tanda kekuasaan Ratu Bayang, bukti bahwa batas antara hidup dan mati, antara dunia nyata dan gaib, telah hancur.
"Kompol Budi," ucap Sariwati, suaranya pelan tapi tegas. "Kita tidak bisa melawan ini dengan cara biasa. Ratu Bayang bukan kriminal biasa. Dia iblis."
Kompol Budi menatap Sariwati, matanya menunjukkan ketakutan yang mendalam. "Lalu, apa yang bisa kita lakukan, Nona? Tim dari Polda dan MUI bahkan belum bisa masuk ke gua Bawakaraeng. Ada kekuatan yang menghalangi mereka."
"Kita harus mencari tahu lebih banyak tentang Ratu Bayang," jawab Sariwati. "Dari mana dia berasal? Apa yang dia inginkan? Dan bagaimana cara mengalahkannya."
Sariwati teringat buku catatan dan foto-foto lama yang dia temukan di pos polisi. Bukti-bukti itu kini menjadi kunci. Kunci untuk memahami sejarah tarekat ini, sejarah tentang Ratu Bayang.
Sariwati tahu, semua ini bukan lagi tentang menyelamatkan Andi atau menghentikan sekte. Ini soal menyelamatkan jiwa-jiwa lain di desa Bawakaraeng. Kematian Ibu Siti adalah peringatan. Jika mereka tidak segera bertindak, satu per satu, korban akan berjatuhan...
*
buat othor ganteng ni kukasi kue dah xixixi 🥧🍰🧁🍮🍧🥮🥠
Sebelum ikut-ikutan nge-bully, coba deh tanya ke diri sendiri. Apa yang akan aku rasakan jika ini terjadi padaku atau adik/keluargaku?
☺️🥰