Cerita ini untuk pembaca dewasa. Baca dengan bijak❗
Cherry Gabriella mengambil satu keputusan nekat yang mengubah seluruh hidupnya, menjadi ibu pengganti bagi pewaris berhati dingin, Trevor Spencer.
Namun, ketika bayi mungilnya lahir, Cherry tak sanggup menyerahkan darah dagingnya, meski harus diburu oleh pria yang bisa membeli segalanya… bahkan nyawanya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
"Kalian mungkin bertanya-tanya, mengapa Tuan Trevor dan putranya hadir di sini. Beliau menyampaikan keinginan tulus untuk menyaksikan hari istimewa ini dan merayakan pencapaian para wisudawan. Ini juga menunjukkan dedikasinya terhadap pendidikan dan pembinaan talenta muda," ujar MC. Ruangan pun bergemuruh dengan tepuk tangan.
Trevor dan Arnold duduk di kursi kehormatan di atas panggung bersama para petinggi kampus yang akan menyerahkan diploma dan medali.
"Astaga, Cherry, kamu cantik banget. Lihat deh, cowok-cowok itu bukannya dengerin MC malah pada natap kamu. Kecantikan kamu ganggu konsentrasi mereka. Siap-siap aja, nanti pasti banyak yang deketin pas pulang," bisik Erika.
"Jangan jauh dari aku, Cherry. Kalau aku ada, mereka enggak bakal berani macam-macam," ujar Adrian serius.
"Ih, overprotective banget. Sama kayak yang satu itu, dari tadi matanya enggak lepas dari kamu," celetuk Erika.
"Siapa maksudmu?" Cherry menoleh.
"Itu, ayahnya anak kamu. Dari tadi natap kamu terus," jawab Erika sambil mengangguk ke arah Trevor.
"Kamu nih, jangan keras-keras ngomongnya. Kalau semua orang tahu aku ibunya Arnold, mereka bakal mikir aku jadi valedictorian karena dapat perlakuan khusus dari dia," bisik Cherry panik.
"Oh... jadi makanya tadi kalian pura-pura enggak kenal waktu mereka lewat? Dia yang minta begitu ya? Kalau gitu, dia sendiri yang melanggar. Dari tadi tatapannya jelas banget ke kamu. Kalau orang lain sadar, bisa dikira kalian punya hubungan khusus," gumam Erika.
Cherry melirik ke arah Trevor. Benar, pria itu memang sedang menatapnya dengan alis berkerut.
Kenapa? Apa karena wajahnya? Karena dia pakai make up? Dulu Trevor pernah tanya soal itu. Tapi Cherry masih belum bisa menebak apakah pria itu lebih suka dirinya tampil natural atau berdandan.
"Pak Trevor natap aku," bisik seorang mahasiswi di belakang.
"Enggak, aku kali."
"Jangan geer. Jelas-jelas dia natap Cherry. Mungkin terpesona, apalagi Cherry dandan sekarang."
"Nyebelin banget si Cherry itu. Selalu aja jadi penghalang di akademik, di popularitas, bahkan di cowok-cowok."
"Kamu iri sama kecantikan temen aku? Jangan salahin dia. Memang dia lebih unggul dari kamu di semua hal. Aku enggak heran kalau sampai Pak Trevor kagum sama dia. Temen aku emang cantik luar-dalam, pakai make up atau enggak," bela Erika.
"Erika, cukup," tegur Adrian cepat.
"Coba aja berani, ku tabokin kalian sekarang juga," gertak Erika.
"Udah, Erika," Cherry menenangkan.
"Hampir semua orang di sekitar kamu iri sama kamu, Cherry. Aku takut kalau nanti aku enggak ada, enggak ada yang bisa jagain kamu dari orang-orang kayak gini. Please, Cherry, kurangin sedikit kebaikan kamu," ujar Erika pelan, suaranya bergetar.
"Erika, jangan nangis sekarang. Aku masih harus pidato," Cherry menahan air matanya sendiri.
"Untung make up kamu waterproof. Kalau nangis pun enggak bakal luntur. Nanti nangisnya pas pidato aja, biar dapet momennya," ujar Erika mencoba bercanda.
Erika memang selalu jadi pelindungnya. Di kampus, Cherry populer karena banyak cowok menyukainya, dan justru itu membuatnya sering jadi sasaran iri hati. Kalau bukan karena Erika yang berani berkelahi, mungkin Cherry sudah lama ditindas.
Cherry kembali melirik Trevor. Untung kali ini pria itu sudah tidak menatapnya lagi. Tapi… matanya justru beralih ke para cowok yang tadi melirik Cherry. Tatapan tajam Trevor membuat mereka langsung duduk tegak, seperti lumpuh ketakutan.
Apa dia marah karena mereka tidak fokus ke acara?
"Selanjutnya, pembagian sertifikat!" umum MC.
Semua wisudawan berdiri dan mulai berbaris.
Adrian berada tepat di depan Cherry, jadi dia hanya mengikuti dari belakang, apalagi karena tadi tidak ikut latihan.
Cherry sedikit bingung ketika melihat Arnold tiba-tiba berdiri di barisan para petinggi. Bocah itu menghampiri sang dekan, menepuk bahunya, lalu berbisik sesuatu. Dekan itu menunduk, tersenyum, dan mengangguk.
Giliran Cherry naik ke panggung. Ia menyalami satu per satu petinggi kampus sambil membungkuk dan mengucapkan terima kasih.
Sampai di ujung, Cherry terkejut. Arnold berdiri di sana, memegang diploma yang digulung rapi. Senyumnya merekah lebar.
Cherry menerimanya, lalu Arnold mengulurkan tangan untuk bersalaman. Cherry membungkuk kecil sambil menjabat tangannya.
"Mama cantik banget," bisik Arnold pelan, hanya untuknya.
Cherry tersenyum. "Makasih," bisiknya balik.
Rasanya ingin langsung memeluk dan mencium pipi bocah itu, tapi ia berhasil menahan diri.
Cherry kembali ke kursinya, sementara Arnold berlari kecil kembali ke samping ayahnya. Ia sempat berbisik pada Trevor sebelum duduk tegak.
"Untung anakmu berusaha nyari cara buat ucapin selamat. Ayahnya? Cuma duduk aja, bahkan enggak nyalamin kamu," bisik Erika.
Enggak apa-apa. Tadi di helikopter dia pegang tanganku. Mungkin nanti juga begitu lagi. Cherry menggeleng, menegur dirinya. Jangan berasumsi, Cherry. Nanti sakit hati.
"Enggak apa-apa," jawab Cherry singkat.
"Hah, iri banget aku sama kamu. Aku juga pengen pegang tangan anakmu. Kenalin aku langsung dong, please," rengek Erika.
"Kan udah aku kenalin."
"Tapi aku pengen ketemu langsung. Anakmu gemes banget, pengen aku cubit pipinya," kata Erika.
"Maaf, belum bisa. Trevor pasti enggak setuju. Lain kali aja, ya," tolak Cherry halus.
"Emang bakal ada lain kali? Tsk, Pak Trevor rese juga ternyata. Aku enggak ngefans lagi sama dia," gerutu Erika.
"Berhenti kekanak-kanakan, Erika," tegur Adrian.
"Kamu juga rese," balas Erika, mendengus.
Cherry hanya tersenyum tipis.
Tapi bisik-bisik kembali terdengar di belakang mereka:
"Kenapa pas Cherry yang ambil sertifikat, anaknya Pak Trevor tiba-tiba maju kasih? Senyum lebar pula, terus bisik-bisik."
"Serem banget kalau dipikir. Jangan-jangan Cherry genit sama anaknya buat cari perhatian bapaknya?"
"Enggak malu apa? Udah punya anak, masih ngejar orang yang jelas-jelas udah punya anak juga."
"Kalau gombalin cowok kampus sih masih oke lah. Tapi kalau sampai Pak Trevor? Kebangetan."
Adrian langsung menoleh, wajahnya menegang. "Bisa diam enggak? Ini hari wisuda. Jangan bikin malu."
"Adrian, cukup," potong Cherry.
Salah satu mahasiswi itu malah menatap Cherry sinis. "Kamu salah satu yang dibodohi sama dia, kan? Coba pikir lagi. Kok bisa kamu percaya sama orang kayak dia?"
Cherry menarik napas panjang. "Bisa tolong berhenti? Maaf kalau aku ada salah. Tapi bisakah kita tunda masalah ini? Ini hari wisuda, mari rayakan dengan damai."
"Tsk, jangan sok suci. Kamu jelas ngejar Pak Trevor."
"Tidak. Dan kamu enggak punya bukti, jadi jangan asal tuduh. Kamu lulus sebagai pengacara, kan? Harusnya kamu tahu betapa pentingnya bukti sebelum menuduh orang," jawab Cherry tenang.