Shinta Bagaskara terbangun kembali di masa lalu. Kali ini, ia tak lagi takut. Ia kembali untuk menuntut keadilan dan merebut semua yang pernah dirampas darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu Ketahuan
Setelah kembali ke rumah keluarga Bagaskara, Shinta kembali melanjutkan rutinitasnya seperti biasa. Sejak pagi, ia sudah duduk di depan komputer, sibuk menerima pesanan sistem keamanan dari berbagai klien.
Beberapa pesanan besar bahkan sudah menunggunya.
Ada yang meminta pembuatan sistem keamanan baru, ada pula yang hanya minta pemeliharaan berkala, dua-duanya sama-sama menghasilkan bayaran besar. Untuk pemasangan sistem, tarifnya bisa mencapai empat ratus juta rupiah, sedangkan untuk pemeliharaan separuhnya.
Meski mahir mengoperasikan komputer dan sistem jaringan, Shinta tahu bahwa merancang atau memperbaiki sistem keamanan bukan pekerjaan ringan. Bahkan untuk dirinya sendiri, pekerjaan itu butuh waktu minimal tiga jam penuh.
Malam sebelumnya, ia baru saja menyelesaikan satu proyek besar. Pelanggannya sudah mentransfer bayaran penuh, dan sistem itu bekerja dengan sempurna. Hari ini, ia tengah mengerjakan pesanan kedua, pemeliharaan sistem lama milik klien yang puas dengan pekerjaannya sebelumnya.
Tiga jam lagi, order itu akan selesai.
Menjelang sore, aroma masakan tercium dari bawah. Shinta menarik napas panjang, menyimpan semua file, lalu memutuskan untuk turun makan malam.
Begitu kakinya menyentuh lantai ruang makan, pandangan Dira langsung tertuju padanya. Ada kilatan dingin di mata gadis itu, seperti sedang menunggu waktu untuk menyalak.
Shinta sempat menoleh ke arah Pak Haryo dan Bu Laraswati, yang duduk berhadapan di meja makan. Ia tahu, dari cara Dira memandang, sepertinya ada masalah baru. Tapi Shinta memilih diam. Ia menarik kursi dengan tenang, lalu duduk di ujung meja, mulai mengambil sesendok sayur dari piring.
Keheningan itu hanya bertahan sebentar.
Pak Haryo menaruh mangkuknya, suaranya berat dan penuh tekanan.
“Shinta, Aku dengar kamu akhir-akhir ini dekat sama seorang pria?”
Shinta menoleh perlahan, alisnya terangkat tipis. “Dekat? Itu teman saya.”
Nada suaranya tenang, tanpa penjelasan tambahan. Tapi bagi yang mengenalnya, nada itu bukan ketakutan, melainkan sikap dingin orang yang sudah terlalu sering disalahpahami.
Sebelum ia sempat menambahkan apa pun, Dira langsung menyela dengan nada dibuat-buat manis.
“Tapi Kak, aku lihat sendiri lho, waktu itu dia ngupasin udang buat kamu. Teman biasa nggak akan seakrab itu, kan?”
Suasana meja makan seketika mengeras.
Dira menunduk sedikit, seolah merasa tidak enak, tapi sudut bibirnya naik tipis. Ia tahu betul kalimat itu akan memancing amarah ayahnya.
Dalam hati, Dira menyeringai. Ia ingin sekali membuat Shinta terpojok, membuat ayah mereka semakin muak pada gadis itu.
Dira sadar posisinya di rumah ini rapuh. Ia memang anak angkat. Maka satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan mencuci otak orangtuanya dengan menjelek-jelekkan Shinta sedikit demi sedikit, sampai mereka benar-benar percaya bahwa gadis itu sumber masalah.
Shinta tetap diam. Ia terus makan dengan tenang.
Penjelasan tidak ada gunanya. Di rumah ini, apa pun yang ia katakan tidak akan pernah didengar. Ia sudah tahu betul, setiap kata darinya akan dipelintir jadi sesuatu yang buruk.
Dira menatapnya lagi dengan ekspresi prihatin pura-pura.
“Aku nggak ada maksud jahat kok, Kak. Aku cuma takut Kak Shinta tertipu.”
Kata-kata itu terdengar seperti kekhawatiran tulus, tapi nada suaranya terlalu lembut, terlalu dibuat-buat.
Melihat Dira bicara seperti itu, Laraswati yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara.
“Dira, kamu itu terlalu baik. Ada orang yang meskipun kau peduli, tetap tidak akan menghargai. Malah bisa membencimu. Jangan sampai kamu rugi sendiri. Kamu anakku, bukan pelayan siapa pun.”
Nada suaranya tegas tapi penuh sindiran.
Pak Haryo yang duduk di samping istrinya kini sudah tampak geram.
“Ngupasin udang?!”
Nada suaranya meninggi.
“Shinta, umurmu itu baru berapa? Baru pindah ke kota dan sudah sibuk mikirin laki-laki? Kamu masih kelas tiga SMA! Tugasmu belajar, bukan pacaran!”
Wajahnya merah, matanya menyipit tajam ke arah Shinta.
Gadis itu tetap diam. Hanya memandangi sayur yang tersisa di piringnya.
Melihat sikap tenangnya itu, dada Haryo naik turun menahan amarah.
“Kalau kamu lebih pilih laki-laki itu daripada keluarga ini, keluar saja dari rumah ini! Jangan pernah menginjakkan kaki di rumah Bagaskara lagi! Kami nggak butuh anak seumur kamu yang pikirannya cuma diisi rayuan pria!”
Suara kerasnya menggema di ruang makan yang besar itu.
Dira menunduk, tapi di balik bayangan rambutnya, senyum puas tersungging jelas di sudut bibir.
Shinta perlahan meletakkan sendok dan garpu di atas piring. Ia sudah selesai makan sejak tadi, tapi memilih tetap diam sampai semuanya keluar dari mulut ayahnya.
Ia mengangkat kepalanya, matanya jernih, tapi dingin.
“Kalau begitu, tolong pindahkan nama saya dari Kartu Keluarga, dan buatkan surat pernyataan pemutusan hubungan keluarga.”
Kalimatnya pelan, tapi tajam.
“Kamu keterlaluan!” bentak Haryo keras. Napasnya terengah, urat di lehernya menegang.
Ia tidak pernah benar-benar berniat mengusir Shinta. Ia hanya ingin membuat gadis itu tunduk, menyesal, dan meminta maaf. Tapi ternyata, Shinta bukan tipe yang bisa dipatahkan dengan ancaman.
Tanpa menunggu izin, ia berdiri dan menaiki tangga.
Langkah kakinya terdengar lembut tapi tegas, sampai akhirnya menghilang di lantai dua.
Ruang makan mendadak sunyi.
Laraswati meletakkan sendoknya, kehilangan selera.
“Aku sudah kenyang. Sejak dia kembali, rumah ini tidak pernah tenang satu hari pun.”
Ia berdiri, berjalan pergi dengan langkah cepat. Dira langsung bangkit untuk mengikutinya, berpura-pura menenangkan sang ibu.
Tinggallah Pak Haryo sendirian di meja makan, menatap piring kosong dengan wajah muram.
Dalam hati, ia bertanya-tanya, bagaimana mungkin istri yang dulu lembut dan berkelas itu bisa punya anak seperti Shinta?
Dira memang anak angkat dari keluarga desa, tapi semua orang bilang dia sopan dan manis. Sedangkan Shinta... entah kenapa, rasanya sulit sekali baginya untuk disukai.
---
Di lantai dua, Shinta duduk di depan meja belajarnya. Lampu meja menerangi wajahnya yang datar tanpa ekspresi.
Tangannya perlahan membuka laptop, tapi pikirannya melayang ke masa lalu.
Di kehidupan sebelumnya, ia pernah membantu keluarga Bagaskara dalam urusan perusahaan. Ia mengatur data, menganalisis pasar, bahkan menemukan celah keamanan perusahaan tanpa pernah diberi kredit apa pun. Tapi dari sanalah ia mempelajari banyak hal, tentang dunia bisnis, dan tentang manusia.
Ia tahu, banyak pengusaha besar yang pernah jatuh, tapi kemudian bangkit dan menjadi legenda.
Shinta bukan hanya hacker. Ia seorang pebisnis sejati.
Kini, ia menulis satu nama di buku catatannya, Harry Subrata.
Ia ingat cerita pengusaha itu dengan jelas, seorang pria cerdas yang kehilangan segalanya karena dikhianati oleh adik iparnya sendiri, Deni Suteja.
Saat istrinya sakit parah, Harry Subrata menyerahkan urusan perusahaan pada sang adik. Tapi Deni Suteja justru memanfaatkan kepercayaannya, memalsukan laporan keuangan, merayu para petinggi, dan menguras habis aset perusahaan.
Ketika Harry Subrata sadar, semuanya sudah terlambat. Istrinya meninggal, perusahaan hancur, dan hidupnya porak-poranda.
Dua puluh tahun kemudian, ia bangkit, menumbangkan Deni Suteja, dan menjadi legenda bisnis.
Shinta menggigit ujung pena, matanya tajam.
“Sekarang adalah momen sebelum semuanya runtuh,” gumamnya pelan. “Kalau aku bisa menemui Harry Subrata lebih cepat, semuanya bisa berubah.”
Ia menulis beberapa nama lagi di bawahnya, nama-nama yang kelak akan membentuk fondasi perusahaan game miliknya.
Di kehidupan sebelumnya, ia pernah merancang satu game berbasis AI yang luar biasa. Tapi waktu itu, ia tak sempat mewujudkannya.
Kali ini, ia tidak akan membiarkan kesempatan itu hilang lagi.
Shinta menutup buku catatannya, lalu membuka laptop. Jemarinya menari cepat di atas keyboard, masuk ke jaringan Black Empire, komunitas hacker internasional yang paling disegani.
Targetnya malam ini: hacker F, peringkat satu di peringkat Black Empire.
F dikenal sebagai legenda hidup, ahli sistem komputer tingkat dewa. Jika bisa merekrutnya, Shinta tahu, itu akan jadi aset luar biasa untuk proyeknya.
Meski Shinta tahu bahwa peluangnya kecil. Karena para hacker top jarang mau bekerja sama dengan siapa pun, apalagi dengan seseorang yang menantang mereka secara langsung.
Shinta menarik napas dan mulai bekerja.
Ia menelusuri jejak digital hacker F, mencoba masuk ke sistemnya. Biasanya, ia selalu berhasil menyusup tanpa ketahuan. Tapi kali ini, baru beberapa detik, layar laptopnya berkedip.
Sebuah pesan muncul:
“Kau ketahuan.”