Hari yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan Eireen justru berubah menjadi neraka. Dipelaminan, di depan semua mata, ia dicampakkan oleh pria yang selama ini ia dukung seorang jaksa yang dulu ia temani berjuang dari nol. Pengkhianatan itu datang bersama perempuan yang ia anggap kakak sendiri.
Eireen tidak hanya kehilangan cinta, tapi juga harga diri. Namun, dari kehancuran itu lahirlah tekad baru: ia akan membalas semua luka, dengan cara yang paling kejam dan elegan.
Takdir membawanya pada Xavion Leonard Alistair, pewaris keluarga mafia paling disegani.
Pria itu tidak percaya pada cinta, namun di balik tatapan tajamnya, ia melihat api balas dendam yang sama seperti milik Eireen.
Eireen mendekatinya dengan satu tujuan membuktikan bahwa dirinya tidak hanya bisa bangkit, tetapi juga dimahkotai lebih tinggi dari siapa pun yang pernah merendahkannya.
Namun semakin dalam ia terjerat, semakin sulit ia membedakan antara balas dendam, ambisi dan cinta.
Mampukah Eireen melewati ini semua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eireyynezkim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyelamatkan
Merasa dalam bahaya, para musuh tidak jadi menembak, menoleh ke belakang serempak, kemudian melompat, karena takut tertabrak mobil dengan kecepatan tinggi itu.
Mobil itu bahkan sampai melakukan drift hingga posisinya menyamping dan berputar sekali, memaksa semua orang lebih menjauh dari jalan.
Hebatnya, mobil itu berhenti tepat di depan Xav.
Pintunya terbuka, Eireen berkata, "Cepat masuk!"
Xav tidak langsung bergerak, ia justru curiga. Jelas-jelas, tadi ia sudah peringatkan untuk tidak muncul lagi di tempat itu. Tapi, Eireen tidak berpikir demikian. Baginya, balas budi itu penting, jadi ia melawan bosnya dan mengamati situasi di sekitar kejadian, sampai keluar di waktu yang tepat.
"Kurang aja. Serang...!"
DOR! DOR DOR!
Suara tembakan membuat Xav mau tidak mau masuk juga ke dalam mobil, menutup pintu.
Eireen lantas melempar senjata laras pendek kepadanya. "Tuh!"
Belum pernah ia diperintah-perintah begitu oleh orang lain, kecuali keluarganya. Ia mau protes, tapi, lebih dulu dibuat kesal oleh musuh yang terus menembaki mobilnya. "Shit!"
CEKLEK!
Setelah mengokang senjatanya, Xav segera menembak lewat jendela.
DOR! DOR!
Mungkin tidak tepat sasaran, tapi, setidaknya itu membuat mobil mereka bisa lewat, karena para musuh menghindar dan dalam mode bertahan.
Eireen geleng-geleng kepala. "Di dalam mobil melaju cepat dia ketakutan, sampai pegangan erat sekali. Tapi, ada penembak di luar, dengan santai dia mengeluarkan kepalanya begitu. Gila dia?"
Xav tidak menyahut, justru seketika menodongkan ujung senjata laras pendeknya ke pelipis Eireen.
Seolah tidak takut, gadis itu mengemudikan mobil dengan kencang, tetap fokus ke depan. "Apa ini? Harusnya kau berterima kasih padaku karena sudah menyelamatkanmu tadi, malah todong-todong segala."
"Ingat, kalau tidak ada aku. Kau mungkin akan mati di tangan mereka. Lihat itu semua luka di tubuhmu!" imbuhnya melirik sekilas.
Sebenarnya, Eireen merasa jeri dengan pakaian dan wajah berlumuran darah begitu. Tapi, ia tidak tunjukkan, takut saja Xav salah paham kalau peduli, padahal, hanya sekadar balas budi.
Bukannya menjawab, Xav justru terlihat limbung. Tangannya bergetar, napasnya mulai terdengar seperti tersengal.
Merasakan ujung senjata api secara acak menempel dan lepas dari dahinya, Eireen curiga.
Ia melirik sekilas, hingga melihat bibir Xav yang memucat, tatapan matanya tidak fokus, sudah seperti akan pingsan.
"Hei, kau tidak apa-apa?" tanya Eireen dengan nada mulai cemas.
Xav menatapnya sekilas, sebelum kemudian pingsan, menyandar kursi, hingga senjata laras pendeknya terjatuh dari tangannya.
Eireen panik. "Sial, kalau dia mati bagaimana? Bisa gawat kalau aku yang disalahkan, bos dan lainnya bisa kena!"
Ia pun mulai menyesali, kenapa tadi tidak menaati perkataan bosnya hanya karena balas budi.
Lagi-lagi, niat baiknya mungkin akan berujung petaka. "Bagaimana ini? Hei, bangun!" ucapnya.
Nahas, Xav sama sekali tidak menunjukkan pergerakan apapun. Kondisinya cukup parah memang.
"Ayo, Eir! Pikir! Pikir! Jangan sampai dia mati, bisa gawat!"
Setelah kondisi aman, lolos dari pengejar. Ia pun mau tidak mau harus tanya Bosnya. Biasanya, Bosnya lebih hafal bagaimana menangani kondisi begini.
Toh, mau tidak mau, perusahaan milik Bosnya akan terseret, karena ia yang melakukan semua ini.
Eireen mengaktifkan kembali alat komunikasi yang sempat dimatikannya.
"Hei.... kau tidak apa-apa? Dasar anak nakal, dimana kau sekarang, hah?!" Suara marah-marah si Bos membuat Eireen sampai menyipitkan mata.
Tapi, ia masih bisa tersenyum tipis, karena Bosnya masih mengkhawatirkannya seperti itu.
"Cepat jawab, atau..."
"Ampun-ampun, Bos!" sela Eireen. "Marahnya tunda dulu. Ini gawat, si Tuan Muda pingsan, tampaknya dia luka parah. Aku harus apa?"
"Apa? Pingsan?"
"Ehm, seperti orang sekarat. Aku tidak tahu lukanya, tapi tubuh dan pakaiannya penuh darah."
Hening, Bosnya tidak menjawab apapun, karena juga sedang berpikir.
Eireen menjulurkan tangan, memegang dahi Xav. "Sial, demam dia."
"Bos? Kenapa diam saja? Dia..."
"Tunggu, sebentar."
"Tunggu apa?"
Bosnya tidak menjawab. Eireen benar-benar bingung harus bagaimana. Ia lirik kondisi Xav sesekali sambil masih fokus mengemudi.
"Kau memang bodoh, Eir. Kenapa pula, sampai mau susah-susah menolong tapi akhirnya membuat semuanya lebih rumit lagi?" gerutunya.
Sekitar sepuluh menit kemudian, suara bosnya terdengar. "Hei, pergi ke rumah sakit J sekarang juga! Cepat!"
"Ha? Itu kan rumah sakit umum? Tidak masalah?"
"Sudah jangan banyak tanya. Nanti akan ada dokter yang membantumu mengurus semuanya dengan rahasia."
"Ok!"
Eireen memacu mobil itu lebih kencang lagi. Setengah jam kemudian, ia sampai di rumah sakit yang dimaksud oleh Bosnya.
Tidak ia duga, seorang dokter sudah siap sedia menunggu di depan pintu masuk IGD, seolah sudah tahu dia siapa dan ada urusan apa.
Dokter itu bahkan sudah membuka pintu, mau membantu perawat untuk memindahkan Xav ke ranjang dorong.
Namun, melihat wajah Xav, dokter itu terkejut.
Eireen jadi penasaran. 'Apa dia kenal dengan si Tuan Muda?'
"Cepat-cepat!" Lebih-lebih dokter itu tampak panik, segera memindahkan Xav ke ranjang dorong.
Eireen mau mengikuti, tapi suara bosnya terdengar di alat komunikasi telinganya. "Kalau sudah cepat kembali ke markas, sekarang!"
"Tapi, Bos..."
"Cepat!"
Eireen yang keras kepala tidak mendengarkan bosnya lagi. Ia mematikan alat komunikasinya, menyembunyikan mobilnya di parkiran.
Entahlah, pikirannya masih merasa aneh dengan dokter tadi. Lebih-lebih, sejauh ini Xav sendirian dengan sudah adanya kejadian mata-mata pula.
Ia pun mau menunggui Xav. Tapi, Xav sudah dilarikan ke ruang operasi. Ada luka tembak, sayatan pisau yang harus segera ditangani katanya.
Di depan ruang operasi, Eireen tampak cemas, mengusap kepalanya sendiri dengan kasar.. 'Kalau dokter itu juga mata-mata, atau dari pihak musuh, bisa gawat, bos bisa dalam bahaya. Argh, semakin runyam saja!'
Di sisi lain, bosnya marah-marah di ruang komando markas mereka. "Kenapa dia keras kepala sekali?!"
"Kenapa, Bos?" Joey yang baru saja datang selesai melaksanakan misi tampak mendekatinya.
"Si Eireen, berulah lagi dia. Kubilang suruh kembali, dia malah mau menunggu si Tuan Muda."
"Memangnya si Tuan Muda kenapa?"
"Pingsan, katanya luka parah. Gila memang si Eireen, kubilang jangan ikut campur. Lihat sekarang, ck!"
"Tenang, Bos. Aku akan menyusulnya!"
Belum sempat si Bos menyahut, suara dobrakan pintu terdengar berdebam keras.
Joey dan si Bos saling tatap sekilas. Terlihat dari wajah masing-masing, firasat mereka sudah tidak bagus sekali.
BRAK!
Pintu ruang komando akhirnya bobol juga. Satu orang laki-laki berpakaian serba hitam terlihat, satu orang menodong senjata laras pendek ke arah mereka.
Satu orang lagi, yang wajahnya tidak asing, menyerobot ikut masuk.
"Tu-Tuan Besar?!" ucap si Bos terbata.
Laki-laki yang tidak lain adalah ayah dari Xav, suami dari Kepala Keluarga Alistair itu mendekat dan mencengkram kerah pakaian si Bos. "Aku melihat mobil dari anggotamu berlalu-lalang di tempat kejadian putraku terakhir kali terdeteksi. Kau.... pasti terlibat dengannya bukan?"
"Ti-tidak, Tuan. S-sungguh, justru anggota saya, yang menyelamatkan Tuan Muda."
Ayah Xav mengernyit. Ia tahunya, dari CCTV terakhir, memang mobil Eireen yang melewati dua jalur berbeda di dekat lokasi.
Jadi mencurigakan sekali, makanya ia langsung menyergap ke sana, saat tidak mendapati putranya di tempat kejadian.
Si Bos menjelaskan, bahkan memperdengarkan rekaman percakapannya dengan Eireen selama di mobil, termasuk rekaman suaranya dengan dokter yang dia percaya.
"Sungguh, Tuan. Kalau saya dan tim berniat buruk, buat apa, saya meminta bantuan Dokter Nathan? Beliau adalah anggota Keluarga Alistair juga bukan?"
Ayah Xav diam, tapi pandangan matanya meminta anak buahnya mengkonfirmasi, keberadaan putranya.
Selama itu, ia hanya menatap si Bos. Joey pun masih duduk bersimpuh di lantai, tangan menyilang ke belakang, wajahnya tampak waspada. Kalau misal Tuan Besar tidak percaya, ia harus punya langkah taktis, agar dirinya dan si Bos bisa menyelamatkan diri. Urusan dengan Keluarga Penguasa memang rumit, salah-salah, mereka bisa kehilangan nyawa, atau berakhir di penjara Pengadilan Dunia Gelap yang terkenal penuh siksaan.
Beberapa menit kemudian, anak buah Ayah Xav yang bernama Felix berkata, "Dokter Nathan tidak bisa dihubungi, Tuan Besar!"
Si Bos panik mendengarnya. "Bi-bisa jadi sedang mengawal operasi Tuan Muda, Tuan Besar. S-saya berani sumpah."
"Sekali kau terbukti bohong, kau akan tahu akibatnya!" Ayah Xav menatap nyalang dengan matanya.
"Sungguh, Tuan. Saya tidak berbohong. Prinsip kurir dunia gelap selalu bisa dipercaya, bukankah karena itu, Anda dan keluarga lainnya selalu menggunakan jasa kami selama ini?"
"Heh." Ayah Xav menghembuskan napas kesal, kemudian beranjak pergi. "Sandera mereka dan segel tempat ini sampai semua ucapannya terbukti!"
"Siap, Tuan Besar!"
Si Bos wajahnya memucat. Dalam benaknya, Eireen, entah gadis itu akan bagaimana nasibnya di sana nanti.
Sementara itu, di rumah sakit. Perawat keluar dari ruang operasi, tampak bingung sendiri. Eireen mencuri dengar percakapan mereka, yang ternyata, operasi Xav membutuhkan darah yang langka dan persediaan rumah sakit mungkin tidak cukup sampai selesai.
Eireen pun maju. "Maaf, Sus? Golongan darahku AB- juga, jika memang dibutuhkan."
Perawat itu saling tatap. Eireen berkata lagi. "Kebetulan, aku juga seorang pendonor aktif, setiap bulannya. Kalian bisa periksa sendiri dataku di bank donor darah kalau tidak percaya."
"Sebentar" Perawat itu masuk kembali ke ruang operasi, mengatakan kepada Dokter Nathan yang membantu operasi Xav, ditemani dokter bedah satu lagi.
Satu perawat lagi, memeriksa data Eireen di bank darah kota itu melalui panggilan 24jam. Eireen hafal nomor ID nya, walau dia tidak bawa.
Dan setelah dipastikan, perawat lagi keluar dari ruang operasi. "Benar, golongan darah AB- dan tercatat sebagai pendonor aktif."
"Baiklah, mari ikut saya!"
Eireen mengangguk, mengikuti perawat itu. Sementara, di dalam ruang operasi, Dokter Nathan terlihat berpikir sekilas. 'Apa hubungannya perempuan itu dengan Tuan Muda?'
Malam itu, Dokter Nathan menjadi asisten, seorang dokter kenalannya yang menjadi dokter utama operasi Xav kali ini.
Beberapa jam kemudian.
Setelah melalui proses skrining, uji coba kecocokan dan lainnya darah Eireen mulai diambil.
Beruntungnya, stock darah yang ada masih cukup, sampai darah Eireen siap digunakan.
Jam demi jam berlalu, Ayah Xav dan anak buahnya sudah sampai juga di rumah sakit itu, setelah mendapat halangan dari musuhnya di jalan.
Laki-laki tinggi tegap itu segera menuju ke ruang operasi. Bertepatan sampai di depannya, Dokter Nathan keluar ruangan.
"Oh, Tuan Besar?" ucapnya sambil menundukkan kepala.
Ayah Xav melihat ke sekeliling. Tidak ada orang berlalu-lalang, semuanya sepertinya sudah dikondisikan oleh Dokter Nathan.
"Saya baru mau menghubungi Anda. Maaf, tadi tidak sempat, karena kondisi Tuan Muda butuh penanganan cepat."
"Jadi Xav benar di sini?"
"Benar, Tuan Besar. Operasinya berjalan lancar, peluru sudah kami keluarkan, luka tusuk juga hanya menggores sedikit organ jadi kami sudah tangani. Tadi sempat kesulitan karena kami kekurangan stock darah, tapi, beruntung, ada pendonor yang siaga."
Ayah Xav mengernyit. "Pendonor?"
"Benar, Tuan Besar. Tadi, Tuan Muda datang ke sini dengan anak buah kenalan saya. Kebetulan dia menunggu dan golongan darahnya sama dengan Tuan Muda. Jadi..."
"Anggota kurir dunia gelap itu?" sela Ayah Xav.
Dokter Nathan menganggukkan kepala, wajahnya tampak berpikir. "Benar, Tuan Besar. Darahnya sesuai, tidak ada masalah, saya bisa pastikan itu. Maaf, apakah ada yang salah?"
Ayah Xav tidak langsung menjawab, wajahnya terlihat curiga. Lantas, setelah beberapa detik diam, ia berkata kepada Dokter Nathan. "Aku mau melihat putraku."
"Baik, Tuan Besar. Mari, saya antar."
Ayah Xav melirik sekilas kepada anak buahnya. Felix menganggukkan kepala mantap, paham.
Mereka berpisah, menuju tujuan masing-masing. Selagi Ayah Xav melihat kondisi Xav, Felix menuju ke ruangan dimana Eireen berada.
Kata perawat, gadis itu sedang istirahat. Benar saja, saat Felix sampai, Eireen sedang tidur.
Ia memang terbiasa begitu. Apalagi, hari ini, ia lumayan harus kerja keras, mengemudi ke sana kemari demi Xav.
Bangun-bangun, ruangannya sudah terkunci. Eireen mencoba membuka ruangan itu, berteriak, "Hei, ada orang di luar sana? Kenapa ini pintunya tidak bisa dibuka?!"
Tidak ada yang menyahut, walau di depan pintu, sudah ada dua orang berpakaian serba hitam berjaga.
Eireen jadi curiga sendiri. "Benar juga. Tidak mungkin Bos tidak ke sini menjemputku."
Terpikirkan sesuatu, ia mengumpat. "Sial, jangan-jangan, terjadi sesuatu dengan mereka di markas. Argh, aku harus segera keluar dari sini!"
Eireen menduga ia tidak akan bisa keluar lewat pintu. Lantas, perempuan itu mendekati jendela, melongok keluar.
Sialnya, ia justru melihat laki-laki berjaga tepat di bawah jendelanya. "Shit! Pasti ulah Keluarga Alistair."
Ia mengacak rambut kepala kasar. "Ck. Sial benar nasibku ini. Sok-sok an sih. Buat apa juga kau membalas budi kepada orang seperti mereka? Lihat kan sekarang, kau membuat susah diri sendiri dan orang lain!"
Eireen mulai menyesal. Ia acak-acak rambutnya, karena tidak tahu harus apa. Dalam pikirannya, kalau sudah begini, jelas, orang-orang di markas sana mungkin sudah ditangkap oleh Keluarga Xav.
Ia kabur pun, mungkin justru akan memperumit semuanya. Saat ia frustasi, pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka.
Eireen menatap ke arah pintu, hingga mendapati seorang laki-laki berbadan kekar masuk.
Dari wajahnya, ia pernah melihat, walau dari jauh. Ia menenggak ludahnya sendiri. Baru kali ini, ia berhadapan dengan laki-laki nomor satu di Keluarga Alistair itu.
Lebih-lebih, laki-laki itu menatapnya tajam.
"Mau kabur?" tanyanya.
Ia baru ingat, posisinya di dekat jendela dan terbuka. Tapi, Eireen berusaha tetap terlihat tenang. "Maaf, Tuan Besar. Saya pikir, ini ulah musuh yang kemarin."
"Oh, kau tahu siapa aku?" Ayah Xav berjalan mendekat ke arah Eireen.
Bekas luka di wajah, tatapan mata tajam mengintimidasi, Eireen mulai gugup. 'Sial, auranya beda sekali dengan anaknya?!'
Desas desus mengatakan, jika pimpinan keluarga Alistair, adalah yang paling kejam di antara pemimpin keluarga penguasa yang lain. Belum lagi, kabarnya, laki-laki itu juga pernah membumi hanguskan keluarga ayahnya demi balas dendam.
'Ternyata begini rasanya berhadapan langsung dengan Mantan penembak jitu terbaik yang ganas, melibas siapa saja lawannya?'
"Kenapa diam?" tanya Ayah Xav akhirnya menghentikan langkah, tepat di depan Eireen.
Walau sebenarnya gugup, Eireen coba tepis itu jauh-jauh. Ia menatap Ayah Xav. "Maaf, Tuan Besar. Saya memang pernah melihat Anda dari jarak jauh, saat menggunakan jasa bos saya dulu."
Kali ini ia harus sopan, karena takut kondisinya akan semakin runyam, sedang ia sendiri tidak tahu bagaimana kabar orang markas.
"Saya terbiasa mengingat apapun, karena itu bagian pekerjaan saya," imbuhnya.
"Lantas kenapa... kau kembali ke tempat tujuan putraku, sedang dia melarangmu?"
Perkataan Ayah Xav itu membuat Eireen sadar, jika laki-laki itu telah ke markas dan bosnya sudah menjelaskan. Perkara ia ke sini dan bertanya lagi padanya, mungkin karena masih ada kecurigaan.
"Bukankah di rekaman suara Anda sudah dengar? Kalau putra Anda membantu saya dari serangan musuhnya? Ya, karena itu, saya tidak bisa diam saja, ketika saya tahu, ada orang yang menyelamatkan saya dalam bahaya." Eireen mengatakan penuh keyakinan.
Ayah Xav tampak menelisik dengan pandangan mata, mencari gurat-gurat kebohongan di wajahnya.
"Bos saya, mendidik saya, agar menjadi seorang kurir dunia gelap yang memegang teguh prinsip kepercayaan dan loyalitas, Tuan Besar. Tuan Muda bukan hanya seorang pengguna jasa, tapi juga berjasa menyelamatkan nyawa saya, padahal itu bukan kewajibannya. Saya melakukan semua ini, hanya demi memegang teguh kedua prinsip itu saja."
Ayah Xav masih diam. Bahkan, kini tidak terlihat rasa takut lagi di wajah gadis di depannya.
"Apa Anda masih curiga? Kalau ya, saya mau diinterogasi, sampai Anda selesai melakukan penyelidikan menyeluruh, tapi dengan satu syarat."
Ayah Xav mengernyit. Ia semakin merasa jika Eireen ini unik, karena masih berani memberikan syarat segala.
"Saya hanya minta, jangan libatkan bos dan rekan saya saja. Tolong lepaskan mereka, karena saya adalah orang paling bertanggung jawab atas keputusan dan semua kejadian ini."
'Sungguhan loyal? Atau.. ada pencitraan? Tapi keberaniannya sungguhan, siapa sebenarnya gadis ini?' batin Ayah Xav justru semakin tertarik untuk ingin tahu.
Laki-laki di depannya diam saja, Eireen bertanya-tanya. 'Apa arti kediamannya ini? Apa dia tidak setuju? Apa kami akan diinterogasi semua? Argh, sial bagaimana ini? Ayo pikir, Ryn!'
Ayah Xav mau baru mau bicara, tapi, pintu ruangan sudah terbuka. Anak buahnya mendekat, berbisik ke telinganya.
Eireen penasaran, karena saat itu Ayah Xav menatapnya. Lantas, tanpa bicara apa-apa, Ayah Xav beranjak keluar dari ruangan itu begitu saja.
"Lho, Tuan? Saya boleh pergi, kan?" tanya Eireen yang tidak mau digantungkan.
Ayah Xav menghentikan langkah tepat di depan pintu. Tanpa menatap Eireen, laki-laki itu berkata, "Diam saja di situ, atau kau akan melihat mayat orang-orang di markasmu!"
Hanya mengatakan kalimat itu, Ayah Xav melanjutkan langkahnya. Pintu ditutup oleh sang anak buah, Eireen mengepalkan tangan.
Sekarang, ia tidak punya pilihan. Bahkan, ia sendiri tidak tahu, bagaimana kondisi Bos dan rekannya di markas sana. Ia tidak boleh gegabah lagi. 'Tenang, Eir. Tenang dulu. Ayo pikirkan baik-baik, cara agar kau bisa komunikasi dengan mereka di markas!'
Ia mulai beranjak mencari pakaiannya, menggeledah laci ruangan itu. Sayang, barang-barang yang ia tinggalkan sebelum menjalani serangkaian pemeriksaan semalam tidak ada di mana-mana.
Ia tidak tahu saja, jika semua barangnya telah disita oleh anak buah Ayah Xav untuk bahan penyelidikan.
Eireen menyugar rambut kepalanya sendiri dengan ekspresi wajah frustasi. "Lantas bagaimana? Mau sampai kapan terkurung di sini begini? Sial, kenapa juga dia tidak percaya padaku begitu? Sama saja seperti anaknya, menjengkelkan!"
Di sisi lain, orang yang Eireen omeli sudah memasuki ruangan rawat inap Xav.
Tadi, anak buahnya mengabari, kalau Xav sudah mulai sadar pasca operasinya.
Laki-laki itu berdiri di sebelah ranjang sang putra. Melihat wajah pucat anaknya, laki-laki yang wajahnya seram itu menghela napas. "Hmm. Lihat... apa yang terjadi, saat kau tidak mendengarkan ayahmu ini?"
Xav tidak menyahut, matanya bahkan mengalihkan pandangan. Ia sempat bertengkar hebat dengan ayahnya, sebelum semua ini terjadi.
Bahkan, ia nekad pergi menentang ayahnya, tanpa pengawalan, alat pelacak pun dimatikan, hanya demi satu tujuan. Melihat tabiat pemberontak yang istrinya wariskan ada pada anak mereka itu, Ayah Xav berdecak. "Kalau begini, kau sangat mirip ibumu. Tapi, bahkan ibumu masih memakai otaknya untuk berhati-hati dalam melangkah, Xav. Sedang kau... sekarang kau hanya berjalan sesuka hati, tak peduli jika hampir mati."
Xav tetap diam. Ia sudah hafal benar, bagaimana omelan ayahnya.
"Kau itu calon Kepala Keluarga, Xav. Tanggung jawabmu besar. Kau..."
"Maka dari itu!" sela Xav, akhirnya menyahut, membuat ucapan ayahnya tercekat. "Sudah jadi tanggung jawabku untuk memusnahkan pengkhianat itu!"
Ayah Xav terdiam. Mata itu, selain secara fisik mirip dengannya, tapi sorotnya, sudah seperti api dendam membara, yang juga pernah ada di matanya dulu.
"Aku tidak akan berhenti, Ayah. Tidak, sampai aku.... bisa membunuh perempuan itu dan semua komplotannya, dengan tanganku sendiri!" tandas Xav begitu dengan nada menggebu.
"Hah." Ayah Xav menghembuskan napas panjang. Ia tahu, Xav yang seperti ini, bukan hanya mirip istrinya, tapi juga dirinya.
Ia pun tidak bisa mengeluh, karena semua sifat itu ia dan sang istri yang menurunkan.
"Baiklah-baiklah. Kau bisa melakukan sesukamu, tapi nanti... setelah kau sungguhan pulih. Sementara, kita kembali ke markas, ibumu sangat mengkhawatirkanmu, kau tahu?"
Xav tidak menyahut, mengalihkan pandangan lagi. Ayahnya pun sudah menyerah bicara dengannya.
Laki-laki itu mendekati anak buahnya. "Siapkan air ambulance, kita pulang ke markas sekarang juga, Xav!"
"Baik, Tuan Besar. Lantas, gadis itu?"
Xav menoleh, ingat jika semalam, ia pasti diantar Eireen ke sini. Tapi, entah dimana gadis itu berada.
"Gadis siapa, Paman?" tanyanya, karena Felix dan Ayahnya hanya berbisik.
"Oh, gadis kurir dunia gelap itu, Tuan Muda. Dia masih ada di ruang perawatan, setelah mendonorkan darahnya untuk Anda."
Xav terkejut. "Mendonorkan darah?"
"Benar, Tuan Muda."
Xav semakin berpikir, wajahnya tampak curiga. Sang Ayah lantas bertanya, "Kau mengenal gadis itu sebelumnya?"
"Tidak," jawabnya dengan ekspresi masih berpikir. 'Kenapa dia sampai sejauh itu, mendonorkan darah segala? Siapa dia?'
"Hmm." Ayah Xav menghela napas. "Bawa gadis itu untuk interogasi di markas!"
Beberapa saat kemudian, saat tahu, harus ikut ke markas Keluarga Alistair, Eireen terperangah.
"Ke-kenapa harus ke markas segala, Tuan?"
'Astaga... jangan-jangan, aku akan diinterogasi di sana? Dengan semua penyiksaan metode mereka? Sial benar aku ini, tidak, aku harus kabur sebelum terlambat!'