Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan di Ujung Jalan
Amara dan Haris hening sepanjang perjalanan pulang, bergelut dengan pikiran masing - masing. Sesekali Haris melirik ke arah Amara, ke arah wanita yang selama ini dia cintai dalam diam.
Amara bersandar di kursi penumpang depan, matanya menatap kosong ke luar jendela. Ia baru saja menyelesaikan interogasi dari Alfian di markas, lalu di tambah kecurigaan oleh Raditya kepadanya dan Haris membuat tubuhnya terasa remuk oleh lelah.
“Terima kasih sudah mengantarku, Haris,” katanya pelan, memecah kesunyian. “Kau harusnya tak perlu repot-repot.”
Haris tersenyum singkat tanpa menoleh. “Bukan repot. Lagipula malam ini terlalu sunyi buat kau pulang sendiri. Aku tahu kau salah satu polisi wanita terhebat di negeri ini, tetapi wanita tetap butuh pria kan di sampingnya?”
Nada suara Haris terdengar tenang, tapi matanya sesekali melirik kaca spion tengah. Gerakannya halus, nyaris tak terlihat. Kebiasaan seorang polisi yang mencium sesuatu tak beres.
Amara memicingkan mata. “Ada apa?”
Haris tidak menjawab langsung. Ia memperlambat laju mobil ketika lampu merah menyala di perempatan. Lalu, tanpa berpaling, ia berujar datar, “Sejak tadi, ada mobil yang terus membuntuti kita.”
Amara menoleh cepat, jantungnya berdegup. “Plat?”
“Tidak jelas, kacanya gelap. Tapi aku tahu pola ekornya. Jaraknya selalu 40 meter, konstan. Profesional.”
“Bara?” tanya Amara dengan nada setengah berbisik.
Haris menggeleng. “Entahlah. Dia cukup berbahaya. Sebenarnya... aku sempat secara tidak sengaja menghubunginya untuk memberikan titik lokasi Lucian di klinik Juliet.”
Amara menatapnya lama. “Kau yang melapor?”
Haris tersenyum kecut. “Ya. Tapi saat itu informasi yang kudapat bukanlah nomor Bara. aku melapor ke pihak intelijen bayangan Komandan yang bekerja sama dengan kepolisian untuk memantau Lucian. Tapi ternyata itu adalah koneksi bawah tangan milik Bara.”
Amara terdiam, dia sadar ini adalah trik permainan Alfian sejak awal, atau mungkin orang dalam lainnya. Yang jelas saat ini dia tidak bisa mempercayai siapapun.
Hujan mulai turun lebih deras. Titik-titik air menabrak kaca depan, wiper berayun perlahan. Di spion, dua lampu putih kecil masih mengikuti, tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh. Seperti bayangan yang sabar menunggu waktu.
“Amara,” ucap Haris akhirnya, “Kita tidak bisa pulang langsung. Aku tidak mau mereka tahu alamat rumahmu.”
Amara mengangguk. “Kau mau ke mana?”
“Tempat yang tidak punya mata.”
Ia membelokkan mobil ke arah kiri, keluar dari jalan utama menuju area industri tua di pinggiran kota. Di sana, gudang-gudang kosong berjajar seperti bangkai besi raksasa yang ditinggalkan. Lampu jalan nyaris tidak ada, hanya sisa cahaya bulan yang menembus awan kelabu.
Mobil berhenti di depan gedung pabrik cat yang sudah lama ditutup. Plang karatan bertuliskan ’PT. Surya Chemical’ masih menggantung miring di gerbang.
Haris mematikan mesin. “Kau tunggu di mobil. Jangan keluar sebelum aku bilang.”
“Tidak bisa. Aku ikut!” tegas Amara. Suaranya tak bisa dibantah, tapi Haris hanya menatapnya sekilas lalu menghela napas.
“Baik, tapi tetaplah di belakangku.”
Mereka keluar bersamaan. Angin malam langsung menusuk tulang. Bau besi berkarat dan cat lembap memenuhi udara. Tanah di bawah sepatu mereka basah, memantulkan sedikit cahaya lampu mobil.
Dari kejauhan, suara mesin lain mendekat perlahan. Sebuah sedan hitam berhenti sekitar dua puluh meter di belakang mereka. Lampunya padam, tapi siluet seseorang terlihat keluar dari kursi pengemudi.
Lucian.
Langkahnya tenang, tapi aura di sekitarnya dingin dan mengancam. Ia mengenakan jas gelap yang tampak basah oleh hujan, rambutnya tertata rapi meski angin berembus kencang. Mata Hazelnya sayu namun tajam. Di tangan kanannya, sebilah pisau lipat berwarna perak memantulkan cahaya.
“Sudah lama aku ingin berbicara, Haris,” suaranya berat, serak, tapi setiap kata terdengar jelas menembus gemericik hujan. “Akhirnya kita bisa bertemu.”
”Aku kira kau menyelamatkanku dengan tulus di. klinik, tapi ternyata itu cuma jebakan! Kenapa kau memberi tahu Bara lokasi klinik itu? Bahkan saat ada Amara di sana?” Wajah marah Fai tidak bisa ia tutupi, ia begitu takut wanita itu yang menjadi sasarannya.
Haris berdiri tegap, tidak mundur. “Lucian. Aku hanya menjalankan tugas. Kau seharusnya sudah tertangkap pada malam operasi hitam dilaksanakan.”
Lucian tertawa pelan. “Tugas? Tapi bukankah kau juga yang memberi tahu polisi posisiku? Lalu kabar itu sampai ke Bara..”
Tatapannya berpindah ke Amara yang berdiri di belakang Haris. “Dan gadis kecil itu hampir terbunuh malam itu.”
Haris menggenggam pistol di balik jaketnya, tapi Amara menurunkan tangannya pelan, memberi isyarat untuk tidak menembak dulu.
“Kau tak seharusnya berasa di sini,” ujar Haris datar.
Lucian melangkah mendekat, sepatu kulitnya mencipratkan air. “Lucian seharusnya sudah mati, ya? Tapi kau gagal? Apa kau ingin mengatakan hal itu?”
Ia tersenyum miring. “Kau terlalu cepat menarik pelatuk, Haris.”
Haris menatap tajam. “Apa maksudmu?”
Lucian menatapnya lama, lalu berbisik, “Kau pikir aku datang untuk bertarung?”
Ia mengangkat kedua tangannya perlahan, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jas, sebuah flashdisk kecil berwarna hitam.
“Ini… semua data yang kalian cari. Tentang jaringan Operasi Hitam, tentang siapa yang menyuplai obat dan siapa yang menghapus nama kalian dari laporan intelijen.”
Hujan semakin deras. Amara dan Haris saling berpandangan cepat.
Lucian melempar flashdisk itu ke arah Haris. “Anggap saja hadiah perpisahan. Karena mulai malam ini, mereka tak akan membiarkan kita bertiga hidup.”
Tiba-tiba suara mesin lain meraung dari kejauhan. Dua mobil tanpa plat nomor memasuki area pabrik, menyorotkan lampu ke arah mereka. Dari dalam, belasan pria bersenjata keluar cepat, mengenakan jas hujan hitam panjang.
“Jebakan!” Amara berteriak, berlari ke samping mobil Haris untuk berlindung. Haris langsung menarik Amara ke belakang tembok beton, menembakkan beberapa peluru balasan.
Tembakan menggema di udara, memantul di antara dinding pabrik. Kilatan peluru menembus malam.
Lucian bergerak cepat, mengambil kembali pisaunya dan berlari ke sisi kanan. Ia menubruk salah satu penyerang, menusuk perutnya tanpa ragu, lalu menarik pistol dari tangan pria itu.
“Lain kali, jangan percaya pada siapapun!” teriaknya sambil membalas tembakan ke arah musuh.
Amara menunduk di belakang drum baja, menarik napas dalam-dalam. “Haris! Mereka dari mana?”
“Tidak tahu! Tapi sepertinya Lucian tidak bohong. Mereka menutup mulut semua pihak yang tahu operasi!”
Tiga penyerang maju mendekat, menembak ke arah mereka berdua. Suara peluru menghantam logam dan kaca pecah bersahutan. Hujan bercampur debu semen membuat pandangan kabur.
Amara berjongkok, menembak sekali, peluru tepat mengenai bahu salah satu pria bersenjata. Ia jatuh tersungkur. Haris menembak dua lainnya. Teriakan mereka menggema di udara dingin.
Lucian melintas cepat di depan mobil, berlari menuju sisi kiri pabrik. “Keluar dari sini lewat belakang! Aku tahan mereka!”
“Fai!” Amara hendak mengejar, tapi Haris menarik lengannya. “Dia pengalihan. Kita harus selamat dulu.”
Mereka berlari melewati jalur sempit di samping pabrik, melewati tumpukan tong cat berkarat. Hujan deras menutupi suara langkah mereka.
Saat mereka hampir mencapai pagar belakang, terdengar ledakan kecil dari arah depan. Api memantul di kaca basah, menerangi sekejap wajah Lucian yang berdiri di tengah kobaran, tubuhnya berdarah tapi masih tegak.
Amara berhenti sejenak, menatap ke belakang. “Fai...”
“Tinggalkan dia, Amara!” suara Haris keras. “Kalau dia selamat, dia akan tahu bagaimana cara menemukan kita.”
Mereka melompati pagar kawat, mendarat di tanah berlumpur di sisi jalan kecil yang gelap. Nafas keduanya memburu.
Amara menatap flashdisk yang kini digenggam Haris. “Apa itu benar-benar… data operasi hitam?”
Haris menatap benda kecil itu lama, lalu mengangguk pelan. “Kalau ini asli, maka kita bisa tahu mana sekutu mana musuh.”
fai selalu bisa diandalkan...
💪💪💪💪
hebat Amara ayo Brantas kejahatan polisi korup....
betapa lihainya memainkan perasaan mu Amara
good job thor
ini bisa jadi sekutu itu Raditya kira2 masuk gak ya
🤣🤣🤣
Raditya kah???
haduhhhh makin penasaran nih
wah dalam bahaya kau Amara.,..
ati ati y
kok bisa ya secerdik itu dia...
.
wah g nyangka sekalinya Amara dilingkungan toxic...
semoga Amara berhenti JD polisi aja deh, gak guna lencanamu kalau hidupmu sudah dikondisikan dgn mereka para penjilat uang haram...
yok yok semanggad thor
💪💪💪💪
🙏🙏🙏🙏