Rubiana Adams, seorang perempuan jenius teknologi dan hacker anonim dengan nama samaran Cipher, terjebak dalam pernikahan palsu setelah dipaksa menggantikan saudari kembarnya, Vivian Adams, di altar.
Pernikahan itu dijodohkan dengan Elias Spencer, CEO muda perusahaan teknologi terbesar di kota, pria berusia 34 tahun yang dikenal dingin, cerdas, dan tak kenal ampun. Vivian menolak menikah karena mengira Elias adalah pria tua dan membosankan, lalu kabur di hari pernikahan. Demi menyelamatkan reputasi keluarga, Rubiana dipaksa menggantikannya tanpa sepengetahuan Elias.
Namun Elias berniat menikahi Vivian Adams untuk membalas luka masa lalu karena Vivian telah menghancurkan hidup adik Elias saat kuliah. Tapi siapa sangka, pengantin yang ia nikahi bukan Vivian melainkan saudari kembarnya.
Dalam kehidupan nyata, Elias memandang istrinya dengan kebencian.
Namun dalam dunia maya, ia mempercayai Cipher sepenuhnya.
Apa yang terjadi jika Elias mengetahui kebenaran dari Rubiana sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12. BERCERAI
Langit sore Los Angeles menggantung redup di atas horizon, semburat oranye melapisi gedung-gedung tinggi dan dedaunan yang bergoyang diterpa angin lembut musim semi. Di dalam ruang kerja yang luas, Elias duduk bersandar di kursi kulit hitamnya, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja kayu mahoni. Di hadapannya, berkas-berkas tebal bertumpuk: laporan, foto, dan catatan yang dikumpulkan Raven selama dua minggu terakhir.
"Semua yang kita butuhkan ada di sini," ujar Raven, suaranya rendah namun tajam. Ia menatap layar laptop di depannya. "Rekaman suara, bukti transfer uang, bahkan laporan medis dari rumah sakit lama tempat Rubiana pernah dirawat. Dokter yang merawat Rubiana akhirnya bersedia bicara setelah aku menunjukkan surat perintah pengacara."
Elias mengangkat pandangan, matanya gelap dan dingin. "Dan dia mengonfirmasi?"
"Ya." Raven menarik napas panjang. "Edward Adams bukan hanya bersikap kasar, tapi secara hukum bisa dikategorikan sebagai pelaku kekerasan berat. Ia pernah menolak pengobatan Rubiana setelah gadis itu pingsan akibat dipukul. Ada tanda-tanda trauma jangka panjang, psikologis maupun fisik."
Suasana di ruangan itu mendadak berat. Hanya bunyi jam dinding yang terdengar berdetak, pelan tapi menusuk. Elias menatap salah satu foto yang tergeletak di meja, potret Rubiana, dengan wajah pucat, bibirnya membiru di hari pertama ia ditemukan tak sadarkan diri di vila itu.
"Pria itu tidak layak disebut ayah," gumam Elias perlahan. "Aku sudah melihat banyak manusia busuk di hidupku, tapi dia ...," Ia berhenti, menahan amarah yang mulai mengalir di nadinya. "Dia bahkan tega menghancurkan putrinya sendiri."
Raven menatap Elias dengan cermat. Ia sudah lama bekerja untuk pria itu, dan tahu betapa jarang Elias membiarkan emosi menembus ketenangan wajahnya. Tapi sejak hari Elias menemukan Rubiana terkapar dengan tubuh penuh luka, ada sesuatu yang berubah, bukan sekadar rasa bersalah, melainkan sesuatu yang lebih dalam dari itu.
"Kau ingin aku teruskan ini ke pengacara?" tanya Raven.
Elias terdiam sejenak. "Tidak sekarang. Aku ingin memastikan Rubiana stabil dulu. Aku tidak mau dia tahu semua ini terlalu cepat. Dia sudah cukup menderita."
Raven mengangguk pelan. "Baik. Tapi cepat atau lambat, kebenaran ini harus sampai ke publik."
Elias menatap jendela besar di belakang Raven. Cahaya sore memantul di kaca, memantulkan wajahnya sendiri, wajah seorang pria yang dulu hidup dengan amarah dan dendam, namun kini dihantui oleh sesuatu yang tak pernah ia duga: penyesalan.
Tiga hari kemudian, di sebuah rumah sakit di pusat kota, Rubiana membuka matanya dengan lebih tenang dari sebelumnya. Wajahnya tidak lagi pucat seperti minggu lalu, dan matanya yang dulu selalu dihantui ketakutan kini mulai tenang, meski masih menyimpan sisa-sisa luka batin yang dalam.
Elias berdiri di tepi ranjang, masih mengenakan setelan gelap dan mantel panjang yang membuat sosoknya tampak begitu kontras di antara dinding putih rumah sakit. Ketika tatapan mereka bertemu, untuk pertama kalinya Rubiana tidak menunduk atau menjauh. Ia hanya menatapnya diam-diam, seolah berusaha memahami siapa sebenarnya pria yang kini berdiri di hadapannya.
"Bagaimana perasaanmu hari ini?" tanya Elias, suaranya lembut, nyaris seperti bisikan.
Rubiana menarik napas perlahan. "Sedikit pusing tapi jauh lebih baik."
Elias mengangguk. "Dokter bilang kau bisa pulang hari ini."
Rubiana tampak terkejut. "Pulang? Ke ... rumah?"
"Ya." Elias mengulurkan tangan, tapi berhenti di tengah udara, seolah ragu apakah ia pantas melakukannya. "Kita pulang, Ruby."
Ada keheningan beberapa detik sebelum Rubiana tersenyum samar, lalu mengangguk pelan. Ia tak tahu apa yang menunggunya di luar sana, tapi entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak hari pernikahan itu, kata 'pulang' terdengar menenangkan di telinganya. Walau ia harus berada di kamar kecilnya itu, tapi setidaknya ia aman.
Mobil hitam Elias melaju di jalanan panjang yang dikelilingi pepohonan maple yang mulai menggugurkan daun. Rubiana duduk di kursi penumpang, menatap keluar jendela. Ia mengenakan gaun putih sederhana, rambutnya digerai lembut hingga bahu, dan wajahnya terlihat bersih, jauh dari kepucatan yang dulu.
Selama perjalanan, keduanya nyaris tidak berbicara. Hanya suara mesin dan musik klasik yang mengalun pelan dari radio. Namun keheningan itu bukan keheningan yang canggung, melainkan tenang, damai, seolah keduanya sama-sama memulihkan diri dari badai panjang yang baru saja berlalu.
Setelah hampir satu jam, mobil mereka berbelok ke jalan yang asing bagi Rubiana. Bukan jalan menuju vila tempat mereka tinggal sebelumnya.
"Elias?" panggilnya pelan, menatap keluar dengan bingung. "Ini bukan jalan menuju ke rumah."
Elias meliriknya sekilas, kemudian tersenyum samar. "Kau benar. Kita pulang ke rumahku."
Rubiana mengerutkan kening. "Rumahmu? Rumah yang kita tempati itu, 'kan?"
"Bukan." Elias tersenyum menatap Rubiana. "Bangunan tempatmu tinggal sebelumnya hanyalah Villa pribadi. Tempatku menyingkir dari dunia ketika aku ingin sendiri. Aku tidak pernah berniat membawa siapa pun ke rumah yang sebenarnya ... sampai sekarang."
Rubiana tidak menjawab. Hanya diam, mencoba memahami kalimat itu. Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah gerbang tinggi dari besi tempa dengan lambang keluarga Spencer yang terukir di tengah. Gerbang itu terbuka perlahan, memperlihatkan pemandangan yang membuat napas Rubiana tercekat.
Rumah itu ... bukan rumah. Itu mirip seperti istana. Cukup besar. Bahkan lebih besar dari kediaman Adams.
Sebuah mansion megah berdiri di tengah halaman luas dengan taman bunga yang tertata rapi di kedua sisi jalan masuk. Dindingnya berwarna putih gading, dipadu ukiran batu alami yang indah, dengan jendela-jendela tinggi berlapis tirai krem. Di sisi barat, air mancur menjulang dengan patung malaikat di puncaknya, airnya berkilau diterpa cahaya matahari sore.
Rubiana terpaku, matanya bergetar. "Ini ... rumahmu?"
Elias menatapnya, lalu mengangguk. "Ini rumahku. Rumah kita, jika kau berkenan."
Rubiana memalingkan pandangan, matanya terasa hangat oleh sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia mengingat betapa kelamnya vila tempat ia pertama kali tinggal bersama Elias, dingin, sunyi, tanpa kehidupan. Tapi rumah ini ... seolah bernapas. Ada cahaya di setiap sudutnya.
Elias turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Rubiana. "Ayo. Aku akan memperkenalkanmu pada tempat ini."
Rubiana melangkah perlahan, ujung gaunnya menyapu kerikil di jalan masuk. Begitu melewati ambang pintu utama, aroma lembut lavender dan kayu menguar, menyambut mereka. Lantai marmer putih berkilau, chandelier kristal menggantung di langit-langit tinggi, dan di dinding terpajang lukisan-lukisan klasik yang indah.
"Aku tak tahu harus berkata apa," bisik Rubiana pelan, menatap sekeliling dengan takjub.
Elias menatapnya dari samping, ada kelembutan di matanya yang jarang muncul. "Tidak perlu berkata apa pun. Kau hanya perlu tahu, mulai hari ini kau tidak lagi harus takut untuk tinggal di rumah. Semua yang kau butuhkan ada di sini, bahkan makanan yang ingin kau makan."
Elias lalu mengajaknya berkeliling. Melewati ruang tamu besar dengan piano di sudut, perpustakaan luas dengan dinding penuh buku, dan taman belakang yang ditumbuhi mawar putih yang sedang mekar. Rubiana menatap semuanya seolah sedang berada di mimpi.
Namun kejutan sebenarnya datang ketika Elias membawanya ke lantai dua, menuju sebuah ruangan dengan pintu berwarna biru lembut.
"Aku ingin kau melihat kamar ini," kata Elias.
Begitu pintu dibuka, Rubiana tertegun.
Ruangan itu indah, bahkan lebih indah dari semua kamar yang pernah ia lihat. Langit-langitnya tinggi dengan jendela besar yang menghadap taman. Tirai lembut berwarna krem menggantung di sisi, tempat tidur putih besar terhias sprei halus, dan di sisi ruangan terdapat meja rias, lemari kaca, serta balkon kecil yang menatap ke arah air mancur. Seperti kamar seorang putri raja.
Rubiana memegang dadanya. "Kamar ini ... untukku?"
Elias mengangguk pelan. "Ya. Aku minta staf menyiapkannya sebelum kau keluar dari rumah sakit."
"Tapi ... kenapa? Aku tidak mengerti. Mengapa kau melakukan semua ini?" tanya Rubiana yang bingung mendapatkan semua kemewahan ini.
Elias menatap sang gadis lama, lalu berjalan mendekat. "Karena semua hal buruk yang terjadi padamu ... tidak seharusnya terjadi. Karena aku, Rubiana, telah memperlakukanmu dengan cara yang bahkan aku sendiri malu untuk mengingatnya. Aku hanya ingin membayarnya."
"Tapi kau melakukan itu karena salah paham," kata Rubiana.
Elias mengangguk. "Aku salah. Tapi aku terlanjur buta oleh amarahku, oleh kebencian terhadap saudari kembarmu, dan aku melampiaskannya padamu tanpa melihat keadaan. Maafkan aku, Ruby." Ia menunduk, suaranya rendah dan berat.
Keheningan panjang merayap di antara mereka. Rubiana menggenggam jemarinya sendiri, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku tidak tahu harus mengatakan apa, Elias. Aku tidak pernah membencimu. Aku hanya ... takut. Aku paham situasimu yang membenci Vivian setelah menghancurkan hidup adikmu. Pantas jika kau marah."
Elias mengangkat wajahnya, menatap Rubiana dengan tatapan yang kali ini penuh kesungguhan. "Tapi bukan berarti aku bisa melakukan hal jahat padamu, Ruby. Kau tidak pantas mendapatkannya."
Rubiana tidak menyangka kalau pria yang ia kenal dingin tak berperasaan ini justru memiliki hati lembut.
Elias melangkah sedikit lebih dekat. "Kau bukan Vivian. Kau adalah Rubiana, wanita yang terlalu baik untuk dunia yang sekejam ini. Aku tidak bisa menghapus semua yang sudah kulakukan, tapi aku bisa memastikan kau tidak akan merasakan sakit lagi. Aku akan memberikanmu tempat untuk berlindung, terutama dari keluargamu."
Rubiana menutup wajahnya, suaranya bergetar. "Kau tidak tahu betapa beratnya semua itu bagiku."
Elias menatapnya, lalu dengan hati-hati menyentuh bahunya. "Aku tahu, Rubiana. Dan mulai sekarang, aku tidak akan biarkan siapa pun menyakitimu, termasuk aku. Aku akan membayar hal jahat yang kulakukan padamu dengan melindungimu dari orang-orang gila yang kau sebut keluarga itu."
Mereka terdiam di sana, di bawah cahaya lembut sore yang masuk dari jendela besar. Tidak ada kata-kata lain yang perlu diucapkan. Hanya kesunyian yang dipenuhi pengertian dan rasa bersalah yang perlahan mulai berubah menjadi sesuatu yang lebih hangat.
Malamnya, Rubiana duduk di balkon kamarnya. Angin berhembus lembut, membawa aroma bunga mawar dari taman. Dari tempat itu, ia bisa melihat air mancur berkilau diterangi lampu taman. Semua terasa damai, seolah hidupnya baru saja dimulai lagi.
Pintu kamar terbuka pelan. Elias berdiri di sana, mengenakan kaos lengan panjang, wajahnya lebih lembut dari biasanya.
"Kau belum tidur?" tanya Elias.
Rubiana menggeleng. "Aku hanya belum terbiasa berada di tempat ini."
Elias berjalan mendekat, lalu berdiri di sampingnya. "Kau akan terbiasa. Ini akan menjadi rumahmu juga."
Mereka berdua menatap langit malam yang bertabur bintang. Lama sekali tak ada yang berbicara, hingga akhirnya Elias membuka suara.
"Aku pernah berpikir kebencian bisa menenangkan hati," kata Elias perlahan. "Tapi ternyata, kebencian hanya menambah kehampaan dan buta akan kebenaran. Kau membuatku belajar untuk berpikir dan mencari tahu dulu sebelum bertindak."
Rubiana menoleh, matanya memantulkan cahaya lampu taman. "Elias ...."
Elias menatap balik, lalu menghela napas panjang. "Aku ingin melakukan sesuatu yang benar kali ini, Ruby."
Rubiana mengerutkan dahi, bingung.
Elias menunduk sejenak, menatap cincin pernikahan di jarinya. "Pernikahan kita, dimulai dengan kesalahan. Dengan kebohongan, paksaan, dan luka. Kau tidak pernah memilihnya, dan aku tidak pernah memberimu kesempatan untuk memilih."
Rubiana membeku. Jantungnya berdebar tak karuan.
Elias mengangkat pandangan, tatapannya lembut namun tegas. "Jadi, aku ingin memperbaikinya."
"Memperbaiki?" ulang Rubiana.
Ia berhenti sejenak, jeda yang terasa panjang, seolah waktu sendiri menahan napas, sebelum akhirnya kata-kata itu keluar dari bibirnya.
"Aku ingin kita bercerai, Rubiana."
Angin malam seketika berhenti berembus. Dunia di sekitar mereka seperti membeku, air mancur di kejauhan berhenti terdengar, dan hanya suara detak jantung Rubiana yang memekakkan telinganya sendiri.
Elias menatapnya dengan mata yang tenang, tapi di balik ketenangan itu tersimpan sesuatu yang rumit, kesedihan, kelegaan, dan pengorbanan yang tak terucap.
Rubiana hanya menatapnya, bibirnya bergetar, tapi tak ada suara yang keluar.
Dan malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang, cerita mereka berubah arah, dari penyesalan menjadi keputusan yang akan mengguncang segalanya.
antara kasian n seneng liat ekspresi Rubi.
kasian karena d bohongin kondisi Elias,seneng karena akhirnya Elias tau siapa Rubi sebenarnya.
😄
hemmmm....kira kira Ruby mo di kasih
" HADIAH ' apa ya sama Elias....😁🔥
tapi tak kirain tadi Elies pura² terluka ternyata enggak 😁
Elias tau Rubi adalah chiper,,hm
apa yg akan Rubi katakan setelah ini semua
Rubiiii tolong jujurlah sama Elias,apa susahnya sh.
biar xan jadi punya planning lebih untuk menghadapi si adams family itu,,hadeeeh
syusah banget sh Rubi 🥺
makin penasaran dgn lanjutannya