Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.
Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?
Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.
Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 26 — Jeratan Aturan
Dua hari setelah artikel anonim itu diunggah, suasana kantor Vibe Media kembali hidup.
Orang-orang berjalan lebih santai, tawa kembali terdengar, bahkan HR mulai terlihat lebih “ramah” daripada biasanya.
Emma memperhatikan dari mejanya sambil menyeruput kopi.
Untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, ia merasa bisa bernapas lega.
Samantha mendekat sambil membawa donut. “Tuh kan, aku bilang juga tulisan itu kayak peluru emas. Semua orang ngomongin!”
Emma tersenyum kecil. “Aku cuma pengin mereka mikir dua kali sebelum percaya gosip.”
Samantha menatapnya tajam. “Jadi memang kamu yang nulis?”
Emma tersenyum samar. “Rahasia.”
---
Sementara itu, di ruangannya, Liam sedang berdiri di depan papan timeline proyek.
Trisha duduk di sofa, memainkan pulpen, wajahnya canggung.
“Kau tahu, Trish,” kata Liam tanpa menoleh, “kadang orang tidak perlu berteriak untuk membuat kekacauan. Cukup dengan tulisan anonim.”
Trisha mengangguk pelan. “Itu jelas tulisan Emma. Gaya bahasanya mirip banget.”
Liam akhirnya menatapnya. “Aku tidak peduli siapa yang menulis. Yang penting, aku bisa pakai itu.”
“Pakai? Gimana maksudnya?”
Liam berjalan ke mejanya, mengambil berkas. “Aku baru saja bicara dengan HR. Mereka punya kebijakan baru tentang ‘aktivitas media internal yang mengganggu reputasi perusahaan’. Dan kebijakan itu berlaku mulai minggu ini.”
Trisha menatapnya, mulai paham. “Kau mau menjebak Emma pakai aturan itu?”
Liam tersenyum tipis. “Aku tidak menjebak. Aku cuma... menegakkan aturan.”
---
Sore itu, Emma dipanggil ke ruang HR.
“Emma Wilson?”
Suara Mrs. Jenkins terdengar datar seperti biasa.
“Ya, saya,” jawab Emma, berusaha tetap tenang.
“Silakan duduk.”
Di dalam ruangan, sudah ada Liam duduk rapi dengan ekspresi profesional yang dingin.
Samantha sempat memegang bahu Emma sebelum ia masuk, berbisik, “Tenang, jangan kasih dia lihat kau gugup.”
Emma melangkah masuk, menutup pintu.
“Baik,” kata Mrs. Jenkins membuka map. “Kami ingin mendiskusikan artikel anonim yang beredar di forum internal minggu ini.”
Emma pura-pura bingung. “Artikel yang mana, Bu?”
“Yang berjudul ‘Kapan Kantor Jadi Tempat Gosip, Bukan Kerja?’.”
“Oh,” Emma tersenyum sopan. “Saya membacanya juga. Bagus, ya?”
Liam menatapnya tajam, tapi tetap tenang.
“Masalahnya, beberapa karyawan merasa isi artikel itu menyudutkan pihak tertentu di kantor—dan itu bisa melanggar pasal etika internal.”
Emma menatapnya balik. “Kalau menulis tentang budaya gosip dianggap pelanggaran, berarti perusahaan ini lebih suka rumor daripada kerja keras?”
Mrs. Jenkins meneguk air mineralnya pelan. “Kami tidak bilang itu pelanggaran. Tapi kami butuh konfirmasi—apakah kau menulisnya?”
Emma tersenyum. “Apakah ada bukti saya yang menulisnya?”
Liam menyela pelan, suaranya tenang tapi berbahaya.
“Sistem kami menyimpan log pengguna. IT menemukan bahwa artikel itu dikirim dari jaringan kantor pada pukul 10.24 malam… menggunakan ID login ‘emma.wilson’.”
Ruangan hening.
Emma merasakan darahnya turun ke kaki.
Tapi ia cepat pulih.
“Oh begitu,” katanya pelan. “Jadi sistem yang bisa diretas tiba-tiba jadi saksi?”
Mrs. Jenkins menatapnya dengan nada ragu. “Kau ingin bilang seseorang menggunakan login-mu?”
Emma menatap Liam lurus-lurus.
“Saya bilang... tidak semua yang terlihat di layar adalah kebenaran.”
Liam tersenyum tipis. “Kau pintar, Emma. Tapi perusahaan ini punya aturan jelas. Dan kalau kau melanggar—”
“Boleh saya tanya sesuatu, Pak Dawson?” potong Emma.
“Apakah ada satu baris pun dalam artikel itu yang menyebut nama Anda?”
Liam terdiam.
Emma melanjutkan, suaranya tegas tapi tenang.
“Kalau tidak, maka tidak ada dasar hukum untuk menuduh saya melakukan pelanggaran. Karena yang saya tahu, kebebasan berekspresi masih diizinkan selama tidak menyebut individu secara spesifik.”
Mrs. Jenkins menatapnya, lalu menatap Liam. “Dia benar.”
Liam menahan diri agar ekspresinya tidak berubah.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Kalau begitu, kami anggap ini peringatan informal.”
Emma menatapnya tajam. “Saya akan catat itu di email, agar ada bukti pernyataan.”
Liam tersenyum dingin. “Kau memang belajar cepat.”
Emma bangkit, mengambil mapnya. “Dan Anda masih terlalu lambat untuk menjatuhkan saya, Pak Dawson.”
---
Setelah keluar dari ruang HR, Emma berjalan cepat ke lift.
Tangannya gemetar, tapi wajahnya tetap datar.
Saat pintu lift tertutup, barulah ia melepaskan napas keras.
“Gila… nyaris banget.”
Tiba-tiba, seseorang menahan pintu dari luar — Ryan.
“Em?”
Emma terlonjak. “Kamu dengerin dari luar, ya?”
Ryan tersenyum kecil. “Aku khawatir aja. Kau oke?”
Emma mengangguk, meski matanya sedikit berair. “Ya. Tapi dia nggak bakal berhenti.”
Ryan masuk ke lift bersamanya, menatapnya serius.
“Kalau dia main licik, kita main lebih licik.”
Emma menatapnya, heran. “Kamu punya ide?”
Ryan tersenyum lebar, seperti anak kecil yang baru dapat inspirasi nakal.
“Dia pikir dia satu-satunya yang kenal IT kantor?”
“Ryan…”
“Aku masih punya teman di tim IT. Mereka nggak suka Liam. Aku bisa minta tolong mereka cek siapa yang terakhir login pakai ID-mu malam itu.”
Emma menatapnya, sedikit lega tapi khawatir. “Itu bisa bahaya.”
“Biar aku yang tanggung,” jawab Ryan mantap. “Kali ini, giliran aku nyelametin kamu.”
Lift berhenti di lantai bawah.
Emma menatapnya dengan ekspresi lembut tapi penuh rasa.
“Ryan…”
Ryan tersenyum, menepuk bahunya pelan. “Jangan khawatir. Aku janji nggak akan gegabah.”
Saat pintu lift terbuka, Emma hanya bisa menatap punggung Ryan menjauh — dengan campuran rasa bangga dan cemas.
---
Sementara itu, Liam berdiri di depan jendela kantornya, menatap hujan yang turun pelan di luar.
Trisha masuk diam-diam, membawa map.
“HR bilang Emma lolos,” katanya lirih. “Kau nggak marah?”
Liam tidak menjawab. Ia hanya menatap refleksinya di kaca.
“Tidak,” katanya akhirnya. “Permainan masih panjang. Dia cuma memenangkan satu babak.”
Ia menoleh ke Trisha, matanya tajam.
“Tapi kalau Ryan ikut campur… maka dia akan belajar apa artinya kehilangan segalanya.”
Trisha menelan ludah. “Kau mau apa?”
Liam tersenyum samar.
“Sudah waktunya menyerang lewat tempat yang paling tidak bisa dia lindungi: reputasinya di luar kantor.”
Dan dari balik kaca, pantulan lampu-lampu kota memantulkan wajah Liam yang dingin—seperti seseorang yang sedang menikmati catur yang baru memanas.