Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.
Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.
Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.
Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34 Remake: Kelicikan Sang Guild Master
Suara langkah sepatu baja berderap keras di sepanjang koridor istana. Tiap dentumannya memantul di dinding-dinding marmer, membuat udara seolah penuh dengan tekanan.
Liora—atau lebih tepatnya, Heliora Vixen—ditarik oleh dua ksatria menuju ruang takhta yang megah. Matanya gelisah, keringat dingin membasahi pelipis, jantungnya berdetak begitu kencang seakan hendak meledak.
Ini sudah berakhir. Aku benar-benar sudah tamat... Pikirnya sambil menelan ludah.
Pintu besar berlapis emas terbuka perlahan, menyingkap ruangan yang dipenuhi bayangan pilar tinggi dan pancaran cahaya dari kaca berwarna. Di ujung ruangan, di atas singgasana megah, duduk sosok yang pernah menjadi mimpi buruk sekaligus sosok yang paling dirindukannya—Raja Noah Vixen.
Samping kanan sang Raja berdiri Zenith, wanita anggun berambut pirang panjang dengan tatapan dalam yang seolah dapat menembus lapisan jiwa. Senyum samar menghiasi wajahnya, seakan ia sudah tahu akhir dari pertemuan ini sejak awal.
Suasana ruang takhta begitu hening, nyaris tak terdengar apapun kecuali langkah maju para ksatria. Liora nyaris lumpuh oleh ketakutan. Dalam benaknya, ia sudah menyiapkan skenario terburuk: ditampar, dihajar, atau mungkin langsung dijebloskan ke penjara bawah tanah karena kelancangannya kabur dari istana tiga tahun silam.
Ketika para ksatria berhenti, Noah perlahan bangkit dari singgasananya. Sosoknya menjulang dengan jubah kebesaran kerajaan yang berat, namun mata yang tajam itu tidak dapat menyembunyikan emosi yang bergejolak.
“...Heliora.” Suara Noah berat, bergemuruh seperti guntur yang menahan diri agar tidak meledak.
Liora menunduk dalam-dalam. Kakinya gemetar. “Habislah sudah... aku akan dihajar habis-habisan.”
Namun sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan terjadi. Noah tidak mengangkat tangan untuk menamparnya, tidak juga menghardik dengan kata-kata tajam. Sebaliknya, ia berlari menuruni tangga singgasana, dan begitu sampai di hadapan Liora—ia langsung merengkuh putrinya ke dalam pelukan.
“Heliora... Anakku... Akhirnya kau kembali...” Suara Noah pecah, air mata mengalir tanpa bisa ditahan.
Liora membeku, matanya melebar. Otaknya berhenti bekerja sesaat. Bukankah seharusnya ia dipukul? Bukankah ayahnya adalah Raja Vixen yang terkenal keras dan tegas? Namun yang ia rasakan justru dekapan hangat yang begitu erat, seolah Noah takut jika ia melepaskan, putri yang lama hilang itu akan lenyap kembali.
“A-ayah...?” Suara Liora tercekat, hampir tidak percaya dengan apa yang terjadi.
“Aku mencarimu... Aku ingin mencarimu, tapi bahkan aku—raja negeri ini—tak mampu menembus penghalang Pulau Evergreen. Tiga tahun, Heliora. Tiga tahun aku hidup dengan bayangan kehilangan semua anakku...” Noah terisak, tubuh besarnya bergetar.
Kata-kata itu menusuk hati Liora. Ia yang tadinya bersiap untuk dihukum, kini justru merasa dadanya panas oleh rasa bersalah. Ia menunduk semakin dalam, perlahan membalas pelukan itu dengan tangan kecilnya.
Zenith yang berdiri di sisi singgasana hanya tersenyum tipis. Matanya yang hitam pekat memantulkan cahaya lembut ketika melihat pemandangan ayah dan anak yang akhirnya bersatu kembali. Senyuman itu bukan sekadar formalitas; ada ketulusan yang jarang terlihat dari wajah seorang peramal.
Ruang takhta yang semula mencekam kini berubah penuh dengan emosi haru. Para ksatria yang menyaksikan pun menunduk, sebagian dari mereka menahan napas agar tidak larut dalam suasana mengharukan itu.
Bagi Liora sendiri, dunia seakan terbalik. Ia masuk dengan hati yang dipenuhi ketakutan, tetapi kini ia justru terjebak dalam pelukan ayahnya yang hangat. Air matanya pun jatuh, meski ia mencoba menahan.
“Ayah... Aku... Aku bodoh sekali.”
Dan untuk pertama kalinya setelah tiga tahun lamanya, ruang takhta Vixen menyaksikan tangisan raja dan putrinya yang kembali bersatu.
Suasana Guild Vixen siang itu terasa jauh lebih ramai daripada biasanya. Papan misi penuh sesak dengan kertas gulungan yang hampir tidak muat ditempelkan, para petualang berisik dengan obrolan keras, dan aroma sup hangat bercampur dengan bau besi dari senjata yang baru saja diasah.
Sho, Aria, Kiyara, dan Kieran melangkah masuk melewati pintu kayu besar Guild. Derap langkah mereka langsung menyita perhatian beberapa petualang yang mengenali dua wajah lama di antara mereka—Sho Noerant dan Aria Pixis.
Dan tentu saja, sosok yang pertama kali menyambut adalah Levina, dengan senyum lebarnya yang khas, matanya menyipit licik seolah baru saja menemukan bahan candaan segar.
“Selamat datang kembali!” Seru Levina lantang, hampir seperti suara lonceng. Ia langsung melambaikan tangan dan berjalan cepat menghampiri. “Astaga, aku benar-benar merindukan kalian... Terutama kau, Aria!”
Sho tersentak kecil. “Eh, aku juga ada di sini, kau tahu?” katanya pelan, sedikit tersinggung.
Tapi Levina hanya mengibaskan tangannya seolah Sho hanyalah pelengkap latar belakang. Aria, yang mendapat sorotan berlebihan itu, hanya bisa tersenyum canggung sambil menggaruk tengkuknya.
Kiyara yang penasaran akhirnya maju selangkah. “Perkenalkan, aku Kiy—eh, panggil saja Yara. Dan ini kakakku, Kieran.”
Kieran mengangkat tangan malas-malasan. “Yo.”
Levina menatap mereka berdua dengan cepat, lalu senyumnya melebar lebih lebar lagi—senyum yang biasanya menandakan otak liciknya sedang berputar cepat.
“Ahhh... Jadi begitu,” gumam Levina sambil menepuk kedua tangannya. “Kebetulan sekali. Kalian datang di saat yang tepat. Karena, dengar baik-baik—kamar Guild penuh total.”
Sho mengangkat alis. “Penuh? Bahkan kamar biasa?”
Levina mengangguk mantap. “Betul. Hanya tersisa dua kamar VIP. Dan kebetulan sekali kalian berempat yang datang. Jadi...”
Ia sengaja menggantung kalimatnya, membuat Sho dan Aria langsung curiga.
“...Satu kamar untuk Yara dan Kieran, satu kamar lagi untuk Sho dan Aria. Selesai.”
“HAH?!” Sho dan Aria langsung bereaksi bersamaan, wajah mereka sama-sama merah padam.
Yara mengangkat bahu. “Aku tidak keberatan, toh aku sudah biasa tidur sekamar dengan Kieran.”
“Begitu juga aku,” timpal Kieran santai. “Selama dia tidak mendengkur.”
“AKU TIDAK MENDENGKUR!” protes Yara dengan cepat.
Levina pura-pura batuk, menahan tawa melihat kekonyolan itu, lalu menatap Sho dan Aria yang masih terdiam kaku.
Sho membuka mulut, suaranya terdengar kikuk. “Ta-tapi... Aku dan Aria... Bukan... Maksudku—”
“Tidak mungkin!” potong Aria dengan nada tinggi, wajahnya benar-benar memerah seperti tomat. “Aku—aku tidak bisa sekamar dengan dia!”
Levina hanya tersenyum manis, tapi matanya menajam penuh kemenangan. “Kalau begitu, kalian berdua punya dua pilihan. Tidur sekamar, atau tidur di jalanan depan Guild. Pilih sendiri.”
Hening sejenak. Lalu Sho dan Aria saling memandang, sama-sama panik, sama-sama tak bisa membantah.
“....Baiklah,” gumam Sho lirih, wajahnya tenggelam ke lantai.
“...Jangan kira aku setuju dengan mudah,” sahut Aria cepat, menoleh ke arah lain dengan pipi merah membara.
Levina menepuk tangannya sekali lagi, puas seperti kucing yang baru saja mencuri ikan. “Bagus, masalah selesai. Kamar sudah kusiapkan. Kamar VIP lantai dua, pintu paling ujung.”
Saat Sho hendak berjalan menaiki tangga, Levina mendekat, mencondongkan tubuhnya hingga hanya Sho yang bisa mendengar bisikannya.
“Omong-omong... Ada alat sihir peredam suara di kamar itu, lho.”
Sho langsung merinding, bulu kuduknya berdiri. “A-Apa maksudmu?!”
Levina terkikik pelan. “Kalau kalian ingin... Berisik... Tidak ada yang akan tahu.”
Sho hampir tersedak udara, wajahnya memucat, dan buru-buru menjauh sambil mengibas-ngibaskan kepalanya. “BERHENTI menggoda ku, Levina!”
Levina hanya tersenyum licik, sambil melambaikan tangan seperti ratu yang baru saja memenangkan permainan kecilnya.
Dimalam harinya, bulan dan bintang-bintang bersinar terang namun tertutup oleh awan.
Kamar yang mereka tempati sebenarnya tak seberapa mewah untuk disebut VIP, seingat mereka berdua kamar VIP lebih mewah dari kamar ini.
Hanya ada ranjang besar di tengah ruangan, meja kayu sederhana, lilin-lilin sihir yang redup, dan karpet yang entah sudah dicuci atau belum. Namun bukan itu yang membuat suasana jadi canggung—melainkan fakta bahwa Sho dan Aria duduk di atas ranjang yang sama, hanya berjarak sejengkal.
Suasana hening.
Begitu hening, bahkan suara detak jantung mereka berdua seperti genderang perang.
Sho menunduk, kedua tangannya mengepal di pangkuan. Wajahnya merah padam. Nafasnya pendek-pendek. Setiap kali ia mencoba menenangkan diri, suara lembut—yang jelas bukan miliknya—berbisik di telinganya.
“Lihatlah, Sho. Kau sudah cukup umur, dia juga. Kasurnya empuk, pintunya terkunci, dan...” Persephone terkikik, suaranya menggoda, “...Ada alat sihir untuk meredam suara, ingat?”
Sho hampir tersedak udara sendiri. “Berhenti! Aku tidak mau mendengar ini! Aku bahkan tidak bisa menatap wajahnya sekarang!” bisiknya pelan, sambil semakin merapatkan tubuh ke ujung ranjang.
Sementara itu, Aria tak kalah kacau. Jantungnya berdebar keras, seperti kuda yang berlari di padang terbuka. Nafasnya tersengal, sesekali ia bahkan lupa untuk bernafas. Tangannya gemetar, padahal biasanya ia bisa membidik busur di medan perang tanpa ragu.
Namun kini? Duduk di sebelah Sho saja sudah cukup membuatnya pingsan.
Dan tentu saja, Apollo tak tinggal diam.
“Aria, jangan sia-siakan kesempatan ini. Tatap matanya. Dekatkan dirimu. Kau tahu apa yang harus dilakukan—”
“DIAM!!!” Aria menjerit dalam bisikan, wajahnya merah menyala. “Aku... Aku tidak mungkin melakukan hal semacam itu! Bukan sekarang, bukan begini!!”
Suasana semakin tegang. Sepuluh detik... Dua puluh detik... Seolah waktu ikut berhenti.
Sho dan Aria masih duduk di tepi ranjang, hanya berjarak sejengkal, namun terasa seperti jurang yang tak terjembatani. Hening. Hanya ada detak jantung mereka yang menggema terlalu keras di telinga masing-masing.
Sho menunduk, wajahnya memerah sampai telinga. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Aria, lalu buru-buru mengalihkan tatapannya. Di dalam kepalanya, suara Persephone terus-menerus berbisik, bukan—lebih tepatnya, menggoda dengan nada yang hampir terasa seperti paksaan.
“Sho... sudah cukup. Kau sudah cukup umur. Lakukan saja itu. Tak seorang pun yang akan tahu. Tak seorang pun.”
Sho hampir menggertakkan gigi mendengar itu. Nafasnya menjadi berat, bukan karena lelah bertarung, tetapi karena tekanan yang aneh, memalukan, dan menggelisahkan.
Sementara di sisi lain, Aria memeluk lututnya erat-erat, wajahnya merah padam seperti bara api. Jantungnya berdegup tak terkendali, nafasnya tersengal-sengal. Suara Apollo menggema dalam benaknya, dengan nada mengganggu namun meyakinkan.
“Aria, kau hanya perlu sedikit menggoda. mendekat lah kepadanya. Kau tahu kau juga menginginkannya. Jangan menahan diri. Malam ini bisa menjadi milik kalian berdua.”
Aria menutup mata sejenak, berusaha mengusir suara itu, tetapi tubuhnya tak mau tenang.
Suasana hening. Hening yang terlalu mencekik, seolah-olah seluruh ruangan ini ditelan oleh rasa canggung yang begitu pekat. Hingga akhirnya, Sho menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia memberanikan diri membuka suara.
“Kau... Tetap setia ya, dengan rambut pendekmu itu,” katanya pelan. “Entah kenapa, aku selalu merasa... itu cocok sekali denganmu.”
Aria berkedip. “...Hah?”
Aria terperangah, matanya melebar. Kata-kata sederhana itu menghantam jantungnya lebih keras daripada ribuan panah cahaya yang pernah ia lepaskan.
“Dia... Memperhatikan rambutku?” pikir Aria, jantungnya semakin tidak karuan.
Namun di dalam ruang kesadaran Sho, Persephone langsung mendesis keras.
“APA?! Rambut pendek?! Itu saja yang bisa kau katakan di saat seperti ini?!”
Nada suaranya tak lagi menggoda, tetapi marah. Begitu marah sampai tubuh Sho ikut gemetar karena resonansi emosi sang Dewi. Persephone menggertakkan gigi, wajah cantiknya memerah oleh amarah, lalu akhirnya—ia melanggar aturan dirinya sendiri.
Dengan paksa, ia mengerahkan otoritasnya.
“Aku sudah muak denganmu, Sho!”
Dari kekosongan, sebuah akar hijau raksasa muncul dengan kekuatan yang menggetarkan jiwa. Bukan akar biasa—akar itu membawa pecahan kekuatan dewi musim semi dan ratu dunia bawah, menembus dimensi, dan menyeruak ke dunia fisik.
Sho berteriak kecil, tubuhnya tersentak keras ketika akar itu menghantam tubuhnya, mendorongnya jatuh menimpa Aria. Detik itu juga, jiwa Sho ikut bergetar, karena ia bisa merasakan nyeri samar di dalam tubuhnya—itu bukan rasa sakit miliknya, tetapi Persephone yang terluka.
Sang Dewi merintih, wajahnya pucat. “Huh... Meski harus melukai jiwaku sendiri... aku akan menuntunmu ke pilihan yang benar... dan ini benar-benar sepadan,” gumamnya lirih.
Akar itu lenyap secepat kemunculannya, meninggalkan Sho dan Aria dalam posisi yang begitu berbahaya. Sho kini tepat berada di atas Aria, wajah mereka hanya berjarak sejengkal. Napas mereka saling beradu, mata mereka saling mengunci, dan tak ada lagi jalan keluar.
Persephone tersenyum samar di balik rasa sakit yang merobeknya. “Ini... Pilihan terbaik yang bisa kuambil. Selanjutnya, terserah kalian...” Ucapnya. Lalu ia menutup paksa jalur kesadarannya, meninggalkan Sho sendirian.
Di sisi lain, Apollo mendesah kecil, nyaris geli. “Kerja bagus Persephone! Kalian berdua bersenang-senanglah. Aku tak akan ikut campur,” katanya sambil menutup jalur hubungannya dengan Aria.
Kini benar-benar hanya tersisa Sho dan Aria.
Sho membeku, tangan gemetar. Aria pun sama, wajahnya merah menyala, matanya bergetar.
Akhirnya, dengan suara hampir berbisik, Aria membuka mulut.
“Sho... Kau... Kau benar-benar akan melakukan itu dengan ku?”
Sho terdiam. Waktu seakan berhenti. Lalu ia mengangguk, perlahan tapi pasti.
Ia bangkit dari tubuh Aria, wajahnya masih merah padam, lalu berjalan ke arah sudut kamar, di mana alat sihir peredam suara berada. Tangannya terulur, dan menyentuh alat itu, seketika alat itu bersinar lalu membuat sebuah dinding yang terlihat samar-samar. Kini tak ada lagi yang bisa mendengar mereka berdua.
Cahaya peredam suara berpendar lembut, menyelimuti mereka berdua. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di dalam kamar itu—kecuali mereka berdua.
Dan momen yang takkan bisa untuk mereka berdua lupakan pun, dimulai.
semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/